Menjarah
Menjarah
Menjarah
Investigasi

Balada di Balik Gurih Kerupuk Belida (Bagian 1)

2374
×

Balada di Balik Gurih Kerupuk Belida (Bagian 1)

Share this article
Ilustrasi balada di balik gurih kerupuk ikan belida alias ikan pipih. | Karya: rdy/rideka
Ilustrasi balada di balik gurih kerupuk ikan belida alias ikan pipih. | Karya: rdy/rideka

Gardaanimalia.com – Pagi datang bersama matahari yang menyingkap selimut awan di ufuk timur. Di Kelurahan Ulu Benteng, Kecamatan Marabahan, Kabupaten Barito Kuala (Batola), Kalimantan Selatan, aktivitas warga mulai berjalan selepas salat subuh.

Di teras belakang rumah yang rata-rata berhadapan langsung dengan Sungai Barito, Nely bersama suami dan satu orang pekerja menyiapkan adonan kerupuk berbentuk silinder di atas meja kayu. Lincah jemari perempuan yang sudah empat tahun menekuni usaha kerupuk ikan belida atau dikenal di Kalimantan Selatan sebagai kerupuk ikan pipih ini, menggenggam pisau dan memotong adanon tipis.

pariwara
usap untuk melanjutkan

Sebagai pelaku Industri Kecil Menengah (IKM) dengan jenis usaha kerupuk ikan belida, aktivitas ini rutin dilakukan Nely saban pagi. Hasil potongan tipis bahan yang masih basah ini kemudian dijemur di atas alas tikar berbahan anyaman purun saat matahari mulai terik.

Penjemuran kerupuk di atas anyaman purun diyakini mempercepat pengeringan kerupuk pipih, lantaran tekstur dari anyaman yang sedikit renggang dan berongga.

Jika hari panas dan tidak ada mendung, pengeringan kerupuk hanya membutuhkan waktu sehari. Kerupuk yang sudah benar-benar kering, selanjutnya siap di-packing lalu dijual.

Nely menjemur kerupuk ikan belida di atas tikar anyaman purun di bawah terik sinar matahari. | Foto: rdy
Nely menjemur kerupuk ikan belida di atas tikar anyaman purun di bawah terik sinar matahari. | Foto: rdy

“Dalam sekali produksi biasanya saya memerlukan bahan 10 kilogram untuk membuat adonan, dengan komposisi 5 kilogram daging ikan pipih dan 5 kilogram tepung. Sedangkan setiap minggunya biasa dapat memproduksi 2 hingga 4 kali, ya tergantung permintaan pasar,” aku Nely.

Nely mengatakan, dalam sekali produksi kerupuk ikan pipih dengan brand “Mama Laras”, setiap 10 kilogram bahan baku dapat menghasilkan 45 bungkus dengan kemasan 200 gram. Kerupuk ikan berduri punggung ini kemudian dijual ke pasar hingga warung-warung pinggir jalan dengan harga Rp27 ribu per bungkus.

“Harusnya dari 10 kilogram adonan itu bisa jadi 50 bungkus isi 200 gram. Namun, karena ujung adonan kerupuk itu tidak bisa dipakai, lantaran bentuknya tidak bulat sempurna, jadi sisanya tidak kita jual. Alhamdulillah, setiap kali produksi di hari biasa saja kerupuk pipih ini selalu habis terbeli. Terlebih jika pada bulan puasa dan hari raya, itu pasti kami kewalahan memenuhi permintaan,” katanya.

Sayangnya, dalam beberapa bulan belakangan, Nely mengaku kesulitan mendapatkan ikan pipih yang biasa dijual di pasar dan terkadang diantar langsung nelayan langganannya. Ia menduga, ketersediaan ikan belida di pasar tradisional Marabahan sudah tidak menampung banyaknya permintaan usaha tradisional ini.

“Biasanya kami membeli daging ikan pipih dari pasar di Marabahan. Juga bisa membeli ikan kiriman dari nelayan di hulu sana (Kecamatan Kuripan, Kabupaten Batola),” akunya.

Hamdatul Aisyah dan kelompoknya membuat adonan kerupuk nasi. | Foto: rdy
Hamdatul Aisyah dan kelompoknya membuat adonan kerupuk nasi. | Foto: rdy

Hal serupa disampaikan Hamdatul Aisyah, salah satu anggota Kelompok Pengelola dan Pemasar (Poklahsar) Berkat Usaha yang berdiri sejak 2008. Poklahsar ini beranggotakan 10 orang di Kelurahan Lepasan, Kecamatan Bakumpai, Kabupaten Barito Kuala.

Ditemui pada Kamis 9 Juni 2022, Aisyah, pemilik pelaku usaha kerupuk dengan brand terkenal dan olahan produksi besar bermerk “Jembatan Rumpiang” mengatakan, usahanya sempat terpuruk sejak puncak Covid-19 melanda Kabupaten Barito Kuala.

Namun, beberapa bulan terakhir usahanya kembali bangkit, hingga sekarang hampir setiap hari di tempat Aisyah dapat memproduksi kerupuk dengan berbagai jenis olahan bahan baku.

“Di sini kita mengolah kerupuk dengan total 30 kilogram setiap harinya. Berselang-seling setiap harinya, ada kerupuk ikan sanggang, kerupuk nasi, kerupuk ikan gabus, kerupuk ikan saluang dan kerupuk ikan puyau, hingga yang paling terkenal itu kerupuk ikan pipih. Kerupuk yang sudah di-packing biasanya diambil untuk kembali dijual di warung-warung dan pasar, hingga dikirim keluar daerah,” jelas Aisyah usai membuat adonan dan mengolah kerupuk berbahan dasar nasi dan ikan.

Aisyah mengaku, daging ikan pipih biasanya diperoleh sebagian dari luar kota. Tapi ada juga yang langsung diantar nelayan dari hasil tangkapan di Sungai Barito.

“Bahan baku untuk daging ikan pipih biasa kita ambil di Kabupaten Batola, ikannya masih tersedia, ada sajalah sedikit-sedikit. Paling tidak kita membutuhkan 15 kilogram daging pipih untuk sekali produksi 30 kilogram kerupuk. Bahan baku kerupuk ikan pipih ini paling mahal jika dibanding kerupuk ikan lainnya,” akunya.

***

Tiara, penjual ikan hasil tangkapan alam di Pasar Wangkang Marabahan, salah satu yang dijual adalah ikan belida atau pipih. | Foto: rdy
Tiara, penjual ikan hasil tangkapan alam di Pasar Wangkang Marabahan, salah satu yang dijual adalah ikan belida atau pipih. | Foto: rdy

Hiruk-pikuk pedagang dan pembeli di pasar baru Marabahan -kecamatan sekaligus ibu kota Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan, sejak Senin sore hingga Selasa siang. Pasar rakyat yang menjadi tujuan masyarakat Barito Kuala membeli berbagai keperluan, terutama sembako hingga ikan segar.

Ramai sekali dalam sepekan, didatangi pengunjung dan pedagang yang berasal dari dalam dan luar kota Kabupaten Barito Kuala. Di kawasan pasar inilah, terpantau setiap pekan ada saja didapati pedagang yang menjual ikan belida segar.

Seperti yang ada di kawasan Pasar Ikan Wangkang. Di pasar yang masih satu wilayah dengan Pasar Marabahan ini, berbagai jenis ikan segar baik hasil tangkapan alam maupun hasil budidaya dijajakan. Pedagang menggelar lapak di bahu jalan sepanjang jalur utama akses keluar masuk pasar.

Termasuk satu di antaranya Tiara, pedagang yang menjual ikan belida segar membuka lapak di depan gerbang pasar. Di atas nampan plastik berwarna hijau muda berdiameter 60 sentimeter itu, Tiara menawarkan belida bersama ikan jenis lainnya.

Ikan pipih yang tersedia Selasa pagi itu tidak begitu besar, namun tampak masih segar. Ikan pipih ini diakui baru didapat dari hasil tangkapan alam di Sungai Barito.

“Ikan pipih ini ikan hasil tangkapan di Sungai Barito oleh nelayan setempat. Mereka antarkan ke kami, tapi tidak setiap minggu ada, ya tergantung nelayannya,” katanya.

Tiara mengaku tidak memiliki pemasok tetap. Nelayan yang menjual ikan pipih kepadanya tidak hanya satu, karena memang tidak pasti mereka mendapatkan ikan belida tiap harinya. Ikan pipih biasanya didapat oleh nelayan tidaklah secara disengaja. Entah itu nyangkut di jaring para nelayan atau ditangkap dengan cara dikail, dengan target menangkap ikan tertentu.

Ikan Belida atau Pipih dan ikan lainnya, hasil tangkapan nelayan dari Sungai Barito. | Foto: rdy
Ikan Belida atau Pipih dan ikan lainnya, hasil tangkapan nelayan dari Sungai Barito. | Foto: rdy

Masih di hari dan lokasi sama, ketika mencari pedagang ikan belida, tidak jauh dari lapak dagangan Tiara, berjarak tidak lebih 30 meter dari Pasar Wangkang arah ke Pasar Baru Marabahan, tepat di depan kios sembako, pedagang ikan pipih dengan stok lebih banyak dijumpai menggelar lapaknya. Sedikitnya ada sebanyak 7 ekor ikan pipih dengan ukuran bervariasi.

Ikan pipih yang dijual oleh pedagang ikan di Pasar Marabahan ini juga hasil tangkapan alam, di sepanjang aliran Sungai Barito. Pedagang bernama Noor Lia ini mengaku, ikan pipih diantarkan langsung oleh para nelayan tradisional setempat.

Berbeda dengan Tiara, Noor Lia menjual ikan pipih tidak secara utuh, bagian kepala dipisahkan dari badan ikan yang biasanya dibeli masyarakat untuk membuat sayur gangan asam. Sementara bagian badan dagingnya diambil sebagai bahan baku kerupuk, biasanya dibeli oleh para pembuat kerupuk ikan pipih.

“Kepala ikan pipih dijual dengan harga Rp15 ribu per kepala dan untuk dagingnya saja Rp140 ribu per kilogramnya,” jelas Noor Lia sambil sibuk melayani pembeli yang minta dua potong kepala ikan pipih berukuran sedang.

Lebih jauh Noor Lia menceritakan, nelayan tangkap ikan tradisional biasanya membawa pipih ini untuk dirinya jual kembali dalam sepekan bisa 2 hingga 3 kali. Tergantung ketersediaan dan hasil tangkapan di alam, kadang kala ikan yang diantar ke tempatnya banyak, kadang juga sedikit.

Noor Lia sibuk membersihkan ikan hasil tangkapan alam siap untuk dijual. | Foto: rdy
Noor Lia sibuk membersihkan ikan hasil tangkapan alam siap untuk dijual. | Foto: rdy

“Biasanya saya langganan ikan pipih pada hari Kamis, Selasa dan Minggu. Ya seminggu 3 kali dia (Nelayan, red) itu datang, ada saja ikan pipih itu, namun tidak hanya pipih, kadang juga bersama ikan baung dan ikan lais,” katanya.

***

“Tidak tahu kalau ikan pipih dilindungi dan tak boleh dijual belikan”. Sebagai pelaku IKM (Industri Kecil Menengah) kerupuk ikan pipih, Nely maupun Aisyah mengaku tidak tahu jika ikan belida termasuk jenis ikan yang dilindungi. Dan begitu juga dengan banyak nelayan tangkap tradisional yang biasanya mencari rezeki di Sungai Barito.

Pada tiap sesi akhir wawancara, ketika ditanya mereka mengaku tidak mengetahui, kalau ikan belida yang sering mereka pergunakan untuk membuat kerupuk, masuk perangkap ikan, hingga dijual di pasaran itu berstatus dilindungi.

Terbukti memang, ketika mereka dengan polosnya menangkap, menjual secara terbuka ikan belida tersebut. Seakan menganggap ikan belida adalah jenis ikan yang sama dengan ikan lainnya. Di mana mereka sekadar mencari rezeki dengan menjual ikan belida hanya untuk keperluan asap dapur rumah masing-masing.

Status dilindungi semua ikan jenis belida tertuang dalam peraturan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 tentang Jenis Ikan yang Dilindungi, juga melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

Minimnya pengetahuan para pelaku IKM, pedagang ikan tradisional di pasar, dan nelayan tangkap ikan di Sungai Barito, tidak lepas dari usaha pemerintah daerah hingga penegak hukum di wilayah Barito Kuala yang diduga masih jarang disebarluaskan kepada masyarakat.

Ikan belida segar hasil nelayan tangkap ikan tradisional yang dijual oleh pedagang di Pasar Baru Marabahan. | Foto: rdy
Ikan belida segar hasil nelayan tangkap ikan tradisional yang dijual oleh pedagang di Pasar Baru Marabahan. | Foto: rdy

Data Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag) Kabupaten Barito Kuala menyebut ada sebanyak 11 IKM kerupuk ikan pipih tersebar dan terdaftar aktif hingga sekarang.

“Semua IKM kerupuk pipih ini aktif hingga sekarang, terbanyak memang ada di Kecamatan Bakumpai. Namun di luar itu masih banyak lagi yang juga belum terdata oleh kita,” kata Kabid Perindustrian Diskoperindag Batola, H Irwan Noor.

Aneh bin ajaib, ternyata Irwan Noor sendiri sebelumnya tidak mengetahui jika ikan belida yang dagingnya sering digunakan untuk bahan baku pembuatan kerupuk. Pejabat ini tak tahu ikan belida dilindungi secara penuh oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI (KKP RI).

Ke depan jika ada kesempatan, kata Irwan Noor, pihaknya akan melakukan pendekatan dan rencana sosialisasi khusus terkait ikan yang terancam punah tersebut kepada pelaku IKM.

“Kita berharap pelaku IKM ini mengubah bahan bakunya dalam mengolah kerupuk. Jika biasa menggunakan ikan pipih, mulai sekarang kita imbau mengganti dengan ikan jenis lainnya. Kita juga tidak tahu kalau ikan pipih ini sebelumnya dilindungi, lantaran masih belum ada pemberitahuan secara resmi dari dinas terkait, mungkin nantinya akan ada pemberitahuannya itu disampaikan,” pungkasnya.

Sebelumnya, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Barito Kuala, Rahmanuddin Murad, mengaku sudah melakukan sosialisasi kepada para nelayan akan status dilindunginya ikan belida yang habitatnya semakin minim.

“Memang sudah juga kita sosialisasikan itu di setiap kesempatan, penangkapan ikannya saja itu dilarang apalagi dilakukan pengolahan,” singkatnya.

***

Seri liputan tentang Ikan Belida di Kalsel ini hasil kerja sama antara Kanal Kalimantan dengan Garda Animalia dan Auriga Nusantara dalam Lokakarya Jurnalisme Investigasi dan Hibah Liputan “Mengungkap Praktik Kejahatan terhadap Satwa Liar di Indonesia”.

4.5 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments