Gardaanimalia.com – Kura-kura baning sulawesi (Indotestudo forstenii) termasuk dalam satwa yang sebarannya terbilang sempit. Selain karena endemik atau hanya ada di Sulawesi, satwa ini kini mengalami penurunan populasi di alam karena perburuan dan perdagangan yang marak terjadi. Hal ini menyebabkan hewan ini dianggap terancam punah di alam.
Penelitian Baning Sulawesi
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Qayyim DI dkk (2018) pada Maret-April 2018 tentang Perdagangan dan Pemanfaatan Kura-Kura di Palu, Sulawesi Tengah dan Sekitarnya, mengungkapkan bahwa ada kecenderungan jika salah satu populasi kura-kura endemik Sulawesi, yaitu baning Sulawesi terancam perdagangan liar. Informasi ini didapatkan melalui wawancara terhadap mantan pemburu dan pedagang kura-kura di Palu.
Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan tentang tawar-menawar kura-kura yang selalu terjadi dalam proses transaksi. Harga penawarannya tidak pasti. Hal ini dikarenakan adanya kecenderungan para penjual untuk menawarkan harga dua kali lipat atau bahkan lebih. Keragaman harga ditentukan dari jenis, ukuran serta kondisi kura-kura. Semakin banyak kerusakan maka harga akan turun. Selain dari ketiga faktor tersebut, kelangkaan jenis kura-kura juga dapat memengaruhi harga pasar.
Baning sulawesi termasuk jenis kura-kura dengan harga mahal karena sudah sangat sulit ditemukan di alam. Untuk yang ukurannya tiga jari, harganya bisa mencapai Rp 1,5 juta. Sedangkan di tingkat pengepul, kura-kura tersebut dijual seharga Rp 450 ribu hingga Rp 500 ribu per ekor.
Kasus perdagangan liar terhadap baning sulawesi yang sempat menyita perhatian terjadi pada 14 Mei 2019. Petugas karantina pelabuhan Tanjung Perak Surabaya menggagalkan penyelundupan ini dan menyita sebanyak 34 ekor satwa, termasuk di dalamnya baning sulawesi.
Maraknya perburuan dan perdagangan baning Sulawesi disebabkan tingginya permintaan terhadap satwa ini. Biasanya satwa ini dimanfaatkan untuk dikonsumsi atau sebagai hewan peliharaan dan obat-obatan. Maraknya perburuan dan perdagangan tersebut mengancam eksploitasi berlebihan sehingga menyebabkan penurunan populasi baning Sulawesi di alam. Satwa tersebut baru berhasil dipulangkan ke habitatnya kurang lebih satu tahun kemudian yakni pada Februari 2020.
Baca juga: Pasar Hewan Jatinegara: Tempat Perdagangan Satwa Dilindungi Hingga Penganiayaan
Seorang conservationist, Sheherazade, yang merupakan alumni Ekologi dan Konservasi Satwa Liar University of Florida, Amerika Serikat, melakukan survei bersama pemuda lokal di Lembah Palu, Kabupaten Sigi, Sulawesi untuk mengetahui keberadaan baning sulawesi di habitat aslinya. Hasil survei yang dilakukan sejak Desember 2019 mengungkapkan bahwa mereka sangat sulit menemukan baning Sulawesi di alam.
Berdasarkan wawancara yang ia lakukan dengan masyarakat lokal, juga mengungkapkan bahwa satwa dengan nama ilmiah Indotestudo forstenii ini kerap kali diburu untuk keperluan konsumsi dan hewan peliharaan. Ia kemudian menyimpulkan bahwa satwa ini kini mengalami eksploitasi berlebihan dan nasibnya menjadi sangat terancam punah di alam.
Ciri dan Habitat
Baning sulawesi dewasa tubuhnya berukuran 18-25 sentimeter dengan berat kurang lebih 2,5 kilogram. Karapasnya memiliki kombinasi warna hitam dengan garis tebal kekuningan atau bervariasi antara warna karamel dengan bercak hitam.
Satwa ini termasuk dalam omnivora. Makanannya antara lain buah-buahan yang jatuh, daun, kaktus, rumput, cacing dan siput.
Di alam, hewan ini hidup di daerah teresterial, tepatnya dalam hutan perbukitan hingga ketinggian 200 meter di atas permukaan laut. Namun, satwa ini dapat dijumpai juga di perbukitan lembah Palu yang tandus yang dipenuhi Opuntia nigrican atau kaktus.
Satwa ini menyukai habitat yang memiliki serasah serta kayu tua yang rebah untuk tempat bersembunyi dan berlindung. Selain membuat tanda bekas cakaran untuk tempat istirahat sementara, satwa ini juga memiliki keunikan lain seperti membuat lubang di tanah untuk tempat beristirat.
Perlindungan Hukum
Sejak tahun 2009, baning sulawesi termasuk dalam kategori terancam punah (Endangered) oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan termasuk ke dalam Appendiks II oleh the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).
Meski belum berstatus dilindungi di Indonesia, pemanfaatan satwa liar ini diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Aturan itu juga untuk melindungi satwa asli Sulawesi tersebut dari ancaman kepunahan.