Gardaanimalia.com – Penanganan BKSDA Aceh terhadap konflik gajah sumatra di Trumon Timur, Aceh Selatan mendapat kritik dari pemerintah setempat, Sabtu (1/6/2024) lalu.
Camat Trumon Timur Husin menyampaikan bahwa kawanan gajah liar masuk perkebunan warga dan terjadi kerusakan. Hal tersebut kerap terjadi dalam beberapa bulan terakhir di wilayahnya.
“Namun, hingga kini belum ada solusi konkret dari BKSDA,” ujar Husin, Sabtu (1/6/2024) dilansir dari thetapaktuanpost.com.
Konflik teranyar terjadi pada Jumat (31/5/2024). Ia menyebut, dua ekor gajah liar kembali mengobrak-abrik perkebunan sawit warga di Desa Kapa Sesak, Kecamatan Trumon Timur.
“Sudah hampir dua bulan gajah itu berkeliaran di seputaran perkebunan dan pindah-pindah tempat ke kebun lainnya,” lanjut Husin.
Interaksi negatif antara gajah dan manusia, kata Husin, telah berlangsung sekitar hampir dua bulan. Tanaman di kebun dan aktivitas pertanian menjadi terganggu, sementara perekonomian masyarakat sangat bergantung pada hasil tani.
Konflik tersebut juga sudah disampaikan kepada BKSDA dan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan. Lalu, Pj. Bupati Aceh Selatan Cut Syazalisma juga sudah meneruskan kepada Kementerian Kehutanan di Jakarta baru-baru ini.
“Sampai saat ini belum ada tindakan konkret apapun. BKSDA pun tidak turun melihat langsung kondisi konflik gajah di Desa Kapa Sesak,” terang Husin.
Husin setuju bahwa satwa dilindungi dan alam mesti selalu dijaga dan dilestarikan. Akan tetapi, pada bagian lain juga harus dipikirkan terkait kelangsungan hidup masyarakat.
“Kementerian dan BKSDA harus melihat masalah konflik gajah dengan masyarakat secara arif dan bijaksana karena di situ ada kehidupan dan penghidupan manusia yang melahirkan generasi masa depan,” lanjutnya.
Hambatan BKSDA Hadapi Konflik Gajah di Trumon Timur
Merespons hal tersebut, Kepala BKSDA Aceh Ujang Wisnu Barata menyebut bahwa konflik gajah sumatra di Trumon Timur sekarang ini menjadi perhatian pihaknya.
“Tim kami di lapangan sampai saat ini terus melakukan upaya-upaya penanganan konflik satwa gajah,” ungkapnya kepada Garda Animalia, Rabu (5/6/2024).
Ia mengatakan, penanganan konflik tersebut memerlukan kontribusi dan partisipasi para pihak.
“Untuk itu kami terus membangun komunikasi dengan pihak-pihak terkait untuk bersama-sama mencari solusi penanganan konflik gajah di Trumon Timur,” sambungnya.
Ujang juga membeberkan mengenai hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh Tim BKSDA Aceh dalam penanggulangan konflik satwa liar.
“Dalam menangani konflik satwa liar khususnya gajah tidak bisa dikerjakan secara instan. Saat ini upaya penanganan yang dilakukan masih bersifat temporer, terutama dalam hal response emergency yang juga penting,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ia mengatakan, tidak jarang upaya atau solusi yang ditawarkan belum sepenuhnya diterima oleh beberapa pihak.
“Misalnya saja pembangunan power fencing atau pagar kejut pada areal jelajah gajah dan pengembangan bio-barrier berupa tanaman berkesesuaian,” katanya.
Masyarakat meminta pagar kejut tersebut dipasang pada areal yang membatasi fungsi kawasan hutan antara HL (Hutan Lindung) dan HP (Hutan Produksi).
“[Namun], prinsip pemasangan pagar kejut tidak seperti itu. Pagar kejut dipasang pada areal yang berbatasan antara APL (Area Penggunaan Lain) dan kawasan hutan yang menjadi jalur keluar masuk satwa gajah”.
Wilayah Konflik Dekat Habitat Gajah
Menurutnya, lokasi konflik gajah di Trumon Timur berdekatan dengan kawasan HL dan HP yang menjadi habitat gajah sumatra (Elephas maximus sumatrensis).
Di akhir, Ujang juga menawarkan solusi dalam penanganan konflik gajah. Di antaranya, penyadartahuan dan penguatan kelompok masyarakat peduli konflik gajah.
Kemudian, penyesuaian komoditi tanaman perkebunan masyarakat yang berada di sekitar areal jelajah gajah sebagai bio-barrier, serta pembuatan barrier fisik (pagar kawat kejut atau parit).
“[Selanjutnya], penguatan kolaborasi dan sinergi program para pihak, dan survei lokasi untuk translokasi gajah-gajah dispersal,” tulisnya melalui pesan WhatsApp.
Gajah sumatra adalah satwa yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi.
Apabila dilanggar, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.