Gardaanimalia.com – BKSDA Kalimantan Selatan melakukan monitoring tahunan untuk mengidentifikasi karakteristik populasi bekantan di Suaka Margasatwa Kuala Lupak, Kabupaten Barito Kuala.
Monitoring tersebut menunjukkan keberadaan sekitar 300 ekor bekantan (Nasalis larvatus) di dalam wilayah SM Kuala Lupak.
“Saat ini bekantan yang terpantau diperkirakan berjumlah 300-an lebih dan sekitar ada sembilan kelompok,” catat akun Instagram BKSDA Kalimantan Selatan @bksda_kalsel yang diunggah pada 25 Juni 2024.
Untuk mencapai lokasi pengamatan, tim BKSDA Kalimantan Selatan harus berangkat menggunakan perahu kelotok selama satu jam dari Desa Tabunganen Kecil.
Desa tersebut merupakan lokasi kantor Resort KSDA SM Pulau Kaget dan Kuala Lupak.
“Perjalanan ke lokasi harus melewati muara Sungai Barito dan pinggir laut,” tulis akun Instagram BKSDA Kalimantan Selatan.
Dari referensi terbuka yang Garda Animalia dapatkan, populasi bekantan di SM Kuala Lupak terbilang fluktuatif.
Sumber paling tua berasal dari riset Rabiati dkk. (2016) yang melaporkan keterdapatan 77 sampai 158 ekor bekantan di SM Kuala Lupak.
Yang kedua didapatkan dari sebuah unggahan video YouTube salah satu anggota tim yang terlibat dalam monitoring populasi bekantan pada 2019.
Unggahan video tersebut melaporkan keterdapatan 331 ekor bekantan pada 2018 dan 477 ekor pada 2019.
Data terakhir didapatkan dari bagian buku yang ditulis oleh Iskandar dan Karina (2023) yang bertajuk “Tantangan dan Peluang Konservasi Bekantan di Kalimantan Selatan”.
Laporan ini menyebutkan, pada 2023 terdapat 170 ekor primata dilindungi tersebut di SM Kuala Lupak. Angka ini jauh di bawah populasi pada 2024.
Suaka di Samping Ibu Kota
SM Kuala Lupak berlokasi tidak jauh dari Banjarbaru, ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan. Jarak keduanya hanya terpaut sekitar tiga jam perjalanan kendaraan bermotor.
Suaka Margasatwa ini dibagi menjadi tiga blok, yaitu blok rehabilitasi seluas 2.405 hektare, blok perlindungan seluas 654 hektare, dan blok pemanfaatan seluas 338 hektare.
Berdasarkan citra satelit yang terbit pada 2004, terlihat bahwa blok rehabilitasi dan blok pemanfaatan didominasi oleh tambak udang. Sementara itu, blok perlindungan didominasi oleh hutan mangrove.
Kawasan hutan mangrove ini merupakan lokasi yang umum menjadi habitat bekantan. Primata tersebut umumnya tinggal di hutan dataran rendah yang elevasinya tidak lebih dari 350 meter di atas permukaan laut.
Selain bekantan, kawasan ini juga menjadi rumah bagi berbagai satwa lain, khususnya spesies-spesies elang.
Di antaranya adalah elanglaut perut-putih (Haliaeetus leucogaster), elang bondol (Haliastur indus), elang hitam (Ictinaetus malaiensis), elang tikus (Elanus caeruleus), dan elangular bido (Spilornis cheela).
Perlu diketahui, di Indonesia, bekantan merupakan spesies yang dilindungi dalam Permen LHK Nomor P.106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengategorikan Nasalis larvatus sebagai spesies genting (endangered) dengan populasi yang terus menurun.
Salah satu ancaman utama bekantan adalah penyusutan habitat. Lokasi tinggal mereka yang berada di daerah dataran rendah rentan dialihfungsikan menjadi kawasan peruntukan manusia.