Gardaanimalia.com – Pernahkah kalian mendengar lirik lagu Navicula yang berjudul Orangutan?
Lagu ini menggambarkan emosi pelik yang dihadapi orangutan, dibalut distorsi tebal dengan tempo yang lambat.
Navicula menghadirkan ekspresi emosi satwa dilindungi orangutan saat berkonflik dengan manusia.Â
Dia rindu habitatnya di rimba
Orangutan murka mengamuk serang manusia
Manusia bawa senjata
Orangutan tertawa terbang ke surga
Dari sepenggal lirik lagu di atas, Navicula menghadirkan emosi amarah yang mungkin dirasa oleh orangutan akibat tingkah laku manusia yang menculik dan mengomersialkan dirinya.
Amarah menghadirkan hasrat untuk membalas dendam. Ekspresi emosi yang lazim ada pada manusia, tetapi dapatkah satwa juga mengekspresikan emosinya?
Pablo Herreros seorang antropolog sekaligus ahli primata yang berasal dari Spanyol menjelaskan dalam bukunya The Emotional Intelligence Of Animals bahwa satwa memiliki beragam emosi manusiawi yang tak jauh berbeda dengan manusia. Di antaranya berupa rasa keadilan, hasrat untuk balas dendam, kasih sayang tehadap keluarga, patah hati, dan empati[1]https://www.bbc.com/indonesia/majalah-47533392.
Dari beragam penelitian ilmiah lainnya, peneliti turut menemukan bahwa satwa juga dapat merasakan rasa cemburu, sedih, hingga humor yang lazim dirasa oleh manusia.Â
Ingin diperlakukan secara setara atau adil
Penelitian Yerkes Primate Center di Atlanta yang melibatkan monyet kapusin atau capuchin (subfamili Cebinae) sebagai objek pengamatannya, menemukan bahwa satwa primata memiliki kesadaran ingin diperlakukan secara adil dan setara.Â
Dalam pengamatan yang dilakukan, satwa primata dilatih untuk menukarkan token plastik dengan makanan.
Sekelompok monyet diberi hadiah berupa potongan mentimun, sedangkan seekor monyet dengan tugas yang sama diberi buah anggur (makanan yang lebih mereka sukai) sebagai hadiah.
Menemukan perbedaan tersebut, sekelompok monyet menolak bekerja sama bahkan melempar potongan mentimun kepada peneliti[2]https://www.bbc.com/indonesia/majalah-47533392https://www.bbc.com/indonesia/majalah-47533392.Â
Hasrat untuk balas dendam
Rasa ingin balas dendam nyatanya tak hanya dirasakan oleh manusia saja.
Satwa juga memiliki hasrat untuk balas dendam atas luka yang mereka derita. Seperti simpanse (Pan troglodytes), mereka bisa membedakan mana lawan, mana kawan.
Hal ini tampaknya juga dialami oleh gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus).
Pada 2010 silam, tepatnya di Desa Petani, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau, 20 ekor gajah sumatra mengamuk, merusak tanaman palawija, dan memakan dahan kelapa sawit.
Dua orang warga menderita luka usai berusaha menghalau kawanan gajah.
Warga setempat menyakini, kawanan gajah mengamuk sebagai bentuk balas dendam atas kematian seekor bayi gajah beberapa hari sebelumnya.Â
Pasalnya, berdasarkan kesaksian seorang warga, gajah-gajah itu hanya merusak kebun tanpa memakan buah-buahan yang ada di sekitar lokasi.
“Herannya, biasanya gajah menyantap buah-buahan seperti pisang, kali ini malah tidak. Mereka hanya merusaknya saja dan sempat mengepung kampung kami,” ujar seorang warga bernama Bayu[3]https://nasional.kompas.com/read/2010/04/18/04565288/balas.dendam.para.gajah.
Berduka dalam kesedihan dan patah hati
Rasa sedih akibat patah hati kerap dirasakan manusia, apalagi saat kehilangan seseorang.
Begitu pula satwa. Mereka bisa patah hati ketika kehilangan pasangan ataupun seseorang yang penting baginya, bahkan beberapa satwa kehilangan hasrat untuk bertahan hidup.
Seperti burung makaw, jenis aves yang satu ini memang dikenal setia tehadap pasangannya.
Jika pasangannya mati, hasrat mereka untuk bertahan hidup kian menipis.
Mereka akan menolak makan hingga menjadi semakin melemah dan tak mampu bertengger.
Martin Meredith dalam bukunya Elephant Destiny, menggambarkan interaksi kawanan gajah tehadap induk gajah yang telah meninggal.
Anak gajah akan menangis dan mengeluarkan suara seperti tangisan. Kawanan gajah akan menyentuh tubuh, mencoba mengangkat, kemudian melemparkan tanah dan ranting ke atas tubuh gajah yang mati seakan mencoba menguburnya.Â
Dalam dokumentasi lainnya, sekawanan gajah akan berhenti sejenak dalam diam di lokasi kematian salah satu anggota kawanan gajah yang telah meninggal bertahun lamanya[4]https://awionline.org/awi-quarterly/2014-fall/animals-and-emotions.
Meskipun belum diketahui sebab perilaku gajah tersebut, tetapi melihat perilaku kawanan gajah dalam menghadapi kematian menunjukan bahwa satwa memiliki ekspresi emosi saat menghadapi rasa duka dalam kesedihan dan patah hati.
Empati dan kesadaran untuk menghiburÂ
Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan di jurnal Science (2016), disebutkan bahwa satwa memiliki dorongan untuk bersikap empati bahkan beberapa akan dengan sadar berusaha menghibur satwa lainnya.Â
Dalam penelitian tersebut, dua ekor tikus padang akan ditempatkaan di tempat yang berbeda. Salah satunya, akan diberikan rangsangan yang mengejutkan.
Selanjutnya kedua tikus padang rumput tersebut disatukan kembali. Hasilnya, salah satu tikus padang rumput dengan kesadaran penuh berusaha menghibur tikus lainnya yang terlihat tertekan. Â
Tikus yang tidak diberikan rangsang kejut akan menjilati kawannya yang baru dirangsang rasa kejut lebih lama daripada tikus lain yang tidak terkejut.
Menurut peneliti, perilaku itu akan memicu lepasnya hormon oksitosin atau hormon cinta dari otak tikus yang terkejut sehingga meningkatkan perasaan baik-baik saja dalam diri tikus itu[5]https://www.bbc.com/indonesia/majalah-47533392.
Reimert et al dalam The Veterinary Journal (2016), menunjukan korelasi sejumlah perilaku pada sejumlah babi.
Dalam artikel tersebut, menemukan bahwa perilaku positif tehadap seekor babi berpengaruh pada emosi positif babi lainnya, begitupula sebaliknya.
Dampaknya tidak terbatas pada perilaku yang terlihat. Dalam penghitungan kadar kortisol (hormon stres) dalam air liur babi, dapat dikonfirmasi bahwa secara emosional para babi secara efektif menunjukkan rasa empati pada babi di sekitarnya[6]Reimert, Inonge et al. 2012. Indicators of positive and negative emotions and emotional contagion in pigs. Physiology & Behavior … Continue reading.
CemburuÂ
Rasa cemburu kerap muncul saat pikiran memperoleh rangsangan dari rasa ketidakamanan, takut, hingga cemas yang terjadi saat merasakan krisis akibat kemunculan hal yang tidak diduga dalam suatu hubungan.
Rasa cemburu bukan saja dirasa oleh manusia, dalam penelitian yang dilakukan oleh Harris et al (PloS One, 2014) dengan mengadaptasi paradigma dari penelitian terhadap interaksi bayi manusia dan hewan peliharaan, menunjukkan bahwa satwa juga memiliki rasa cemburu.
Dalam penelitian tesebut, sebuah boneka berbentuk anjing realistis ditempatkan didepan satwa peliharaan (anjing) dan diberi perhatian dengan sedemikian rupa oleh sang pemilik.
Dari hasil pengamatan, hampir semua interaksi dan respon anjing menunjukkan kecemburuan.
Beberapa anjing mendorong boneka anjing atau pemiliknya, dan hampir sepertiga mencoba berada di antara objek dan pemiliknya[7]Harris, Christine R dan Caroline. 2014. Jealousy In Dogs. PloS One (https://doi.org/10.1371/journal.pone.0094597.
BahagiaÂ
Rasa bahagia senantiasa beriringan dengan suara tawa.
Charles Darwin dalam berbagai penilitiannya telah mendokumentasikan vokalisasi menyerupai tawa pada sata primata besar, seperti simpanse dan kera besar lainnya.
Selanjutnya, Rygula et al dalam artikelnya berjudul Laughing Rats Are Optimistic (PloS One, 2012), berhasil memunculkan suara menyerupai tawa saat mendapat rangsangan gelitik[8]Rygula, Rafal et al. 2012. Laughing Rats Are Optimistic. Plos One (https://doi.org/10.1371/journal.pone.0051959.
Mereka menemukan bahwa gelitik menghasilkan emosi positif. Temuan serupa juga disampaikan oleh Dr Sylvie Cloutier dan Ruth Newberry, penerima Hibah Penyempurnaan AWI dalam AWI Quartely, pada edisi musim semi 2019.
Beragam penelitian ilmiah berhasil mengonfirmasi, kompleksitas ekspresi emosi manusiawi yang ada pada satwa.
Satwa liar dapat merasakan dan dapat mengekspresikan emosi mereka, tidak berbeda jauh dengan manusia.
Referensi