Menjarah
Menjarah
Menjarah
BeritaHukum

Berita Duka Pegiat Konservasi: Pemilik Taman Satwa Ilegal Divonis Lebih Rendah di Tingkat Banding

4149
×

Berita Duka Pegiat Konservasi: Pemilik Taman Satwa Ilegal Divonis Lebih Rendah di Tingkat Banding

Share this article

 

Berita Duka Pegiat Konservasi: Pemilik Taman Satwa Ilegal Divonis Lebih Rendah di Tingkat Banding
Petugas mendatangi taman satwa ilegal “kampoeng tuhu” yang menyimpan satwa-satwa dilindungi

Gardaanimalia.com – Pemilik taman satwa ilegal “Kampoeng Tuhu”, Orisza Dimas Anom (25) dijatuhkan putusan hukuman pidana penjara selama 6 bulan dan denda Rp 5 juta oleh Majelis hakim Pengadilan Tinggi Pontianak pada 8 Oktober 2020. Hukuman itu dijatuhkan atas permohonan banding Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang diajukan pada tanggal 24 September 2020.

pariwara
usap untuk melanjutkan

JPU Joharca Dwi Putra, SH. mengajukan banding karena tidak puas dengan putusan majelis hakim pengadilan negeri yang terbilang jauh dari tuntutan yang diajukannya atas Orisza yaitu 2 tahun 6 bulan penjara dan denda sebesar Rp. 5 juta.

Putusan banding yang dijatuhkan oleh Majelis hakim diketuai oleh H. Sunaryo Wiryo lebih rendah dari putusan Pengadilan Negeri (PN) Sanggau. Senin (14/9/2020), Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sanggau, Kalimantan Barat menjatuhkan pidana terhadap Orisza Dimas Anom dengan 1 tahun 3 bulan penjara dan denda sebesar Rp 5 juta. Majelis Hakim menyatakan bahwa Orisza Dimas Anom telah terbukti melanggar hukum dengan menyimpan satwa dilindungi tanpa memiliki ijin dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Orisza terbukti menyimpan satwa berupa, 1 ekor Beruang madu (Helarctos malayanus), 2 ekor Kukang kalimantan (Nycticebus managensis), 1 ekor binturong (Arctictis binturong), 4 ekor Buaya muara (Crocodylus porosus), 1 ekor landak (Hystrix javanica), 1 ekor Tiong emas (Gracula religiosa) dan 1 ekor Elang bondol (Haliastur indus) secara ilegal. Selain, menyimpan satwa dilindungi secara ilegal, taman satwa miliknya pun juga terbukti tak berijin.

Kasus ini ramai bergulir sejak adanya pengaduan dari masyarakat mengenai keberadaan taman satwa di area rumah makan milik Orisza. Dalam pengakuan pemilik, taman satwa ini dibangun selain sebagai aktualisasi diri dalam hobinya memelihara satwa juga sebagai upaya menarik pengunjung untuk mampir ke warung makan miliknya. Pengaduan dari masyarakat ini kemudian ditindaklanjuti oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Polda Kalbar dengan melakukan penindakan.

Orisza sendiri berprofesi sebagai mahasiswa. Ia diketahui sebagai Founder Pontianak Snake Kipper yang didirikan tahun 2015 sekaligus Owner Taring Babi Reptil yang merupakan usaha miliknya dibidang jual beli reptil.

Baca jugaPelihara Binturong, Elang dan Kucing Hutan, Seorang Pemuda Ditangkap Polisi

Perkembangan Modus Kejahatan dan Benang Kusut Penegakan Hukum

Koordinator Advokasi Garda Animalia, Ratna Surya mengatakan rendahnya putusan hakim membawa berita duka bagi para pegiat konservasi. Menurutnya, sejauh ini upaya penegakan hukum sebagai solusi memberantas dan memutus rantai perdagangan ilegal satwa liar tidak berjalan dengan sesuai harapan.

“Putusan-putusan pengadilan yang cenderung sangat rendah membuat para pelaku kejahatan perdagangan ilegal satwa liar tidak “kapok.” Hasilnya, angka kejahatan perdagangan ilegal satwa liar tidak menurun justru semakin melesat tinggi,” ujarnya.

Ratna menuturkan kejahatan perdagangan ilegal satwa liar berkembang sangat cepat dalam beberapa tahun terakhir. Perbandingan situasi perdagangan yang ditemukan saat ini sangat berbeda dengan situasi di jaman dulu.

“Jika dulu orang menjajakan satwa jualannya dengan membuka kios-kios di pasar, kini media sosial menjadi sarana paling dominan. Meski berdagang satwa di pasar tidak ditinggalkan, namun prosentase orang berdagang satwa melalui daring jauh lebih banyak. Facebook menjadi platform paling diminati para pedagang untuk menjual satwa-satwa liar dilindungi,” tutur Ratna.

Menurutnya, setiap bulan akun-akun dan forum grup jual beli satwa baru bermunculan. KLHK dan Kemeninfo telah bekerjasama dengan otoritas Facebook untuk melakukan pembatasan iklan perdagangan satwa.

“(Pembatasan iklan) Ternyata tak membuat para pedagang jera. Take down akun pun pernah dilakukan, namun mereka tak hilang akal. Akun lama hilang, dengan mudah mereka membuat akun-akun baru,” ujarnya.

Kini tak hanya melalui Facebook, lanjutnya, para pedagang juga banyak membuka lapak melalui Instagram dan Whatsapp. Cara lain yang berkembang, mereka mengubah nama grup jual beli satwa menjadi grup pecinta satwa. Transaksi jual beli satwa dilindungi beralih pada grup-grup tertutup melalui grup Whatsapp atau melalui komunitas-komunitas pecinta satwa.

“Modus lain yang tak kalah terampil dengan mendirikan taman satwa dan lembaga penangkaran satwa. Melalui taman satwa dan lembaga penangkaran satwa, perdagangan ilegal satwa liar semakin “brutal.” Tidak sedikit taman satwa yang terkoneksi dengan jaringan internasional. Kasus Taman Safari menjadi salah satu contoh dari sekian banyak kasus yang belum terungkap,” kata Ratna.

Ironisnya, sindikat jaringan perdagangan ilegal satwa liar dilindungi ini tak banyak yang dihadapkan di meja hijau. Sekalipun diproses, hasilnya pun tak cukup menggembirakan.

“Kasus Taman Satwa Ilegal Kampoeng Tuhu misalnya. Majelis hakim hanya berkutat pada kepemilikan satwanya secara ilegal, tanpa mengusut lebih dalam asal muasal satwa yang dimilikinya, motif memiliki, dan aktivitasnya memperniagakan reptil. Penegak hukum nampaknya juga lalai dalam mempertimbangkan bahwa kepemilikan satwa dilindungi bagian dari kejahatan besar dalam rantai perdagangan ilegal satwa liar,” katanya.

Dia menambahkan konteks memiliki satwa dilindungi secara ilegal seharusnya ditempatkan dalam kerangka jaringan kejahatan yang tidak berdiri sendiri. Perbuatan ini bertalian erat dengan kejahatan berburu, menangkap, dan memperjualbelikan satwa, sebab semakin banyak orang menginginkan memiliki satwa-satwa ini maka aktivitas berburu dan memperjualbelikan satwa dilindungi juga tidak akan berhenti.

“Sementara jika kejahatan ini tidak segera dihentikan akan berdampak pada kepunahan satwa-satwa ini di alam dan memicu persoalan ekologis yang lebih besar,” tambah Ratna.

Ratna mengatakan penegakan hukum yang setengah hati tak akan membawa perubahan besar dalam memberangus kejahatan luar biasa ini. Penangkapan dan proses persidangan hanya akan menjadi deretan angka dalam jumlah penindakan namun tak memberikan efek gentar dan jera bagi para pelaku dan masyarakat.

“Padahal harapan besar memutus rantai perdagangan ilegal demi kelestarian satwa-satwa dilindungi ini ada pada upaya penegakan hukum,” tutupnya.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments