Menjarah
Menjarah
Menjarah
FeatureLiputan Khusus

Cerita Bermula di Pulo Tareba: Bagaimana Andil Satwa terhadap Kehidupan Manusia?

178
×

Cerita Bermula di Pulo Tareba: Bagaimana Andil Satwa terhadap Kehidupan Manusia?

Share this article
tikus pendeteksi gempa
kuskus matabiru 2
observasi kuskus
poster burung
duduk di tareba
menunjukkan poster
menunjukkan poster
turis mancanegara
gerbang pulo tareba
Seekor kuskus mata-biru di kawasan wisata Pulo Tareba, Takome, Ternate Barat. | Foto Firman Yahya
Seekor kuskus mata-biru di kawasan wisata Pulo Tareba, Takome, Ternate Barat. | Foto Firman Yahya

Gardaanimalia.com – Berboncengan di sepeda motor tua buatan Italia, Benny Aladin Siregar dibawa ke arah utara kota, melintas di jalan kedaton kesultanan lalu menuju Pulo Tareba di Takome, Ternate Barat. Ia akan berbagi pengetahuan pada sejumlah mahasiswa Antropologi Sosial Universitas Khairun terkait biodiversity dan perannya terhadap kehidupan manusia.

Setengah jam berkendara dari areal parkir di sudut kota, mereka akhirnya tiba di tujuan.

Sepeda motor peot itu lalu diparkir sekitar lima meter di ujung gerbang bertuliskan “Pulo Tareba: Conservation and Camping Ground”.

Sejumlah pengunjung berswafoto di depan gerbang masuk kawasan wisata Pulo Tareba. | Foto: Rajuan Jumat/Garda Animalia
Sejumlah pengunjung berswafoto di depan gerbang masuk kawasan wisata Pulo Tareba. | Foto: Rajuan Jumat/Garda Animalia

Suasana Pulo Tareba tampak begitu ramai pada Minggu pekan kedua Oktober lalu. Orang-orang datang dan pergi secara berganti sepanjang sore. Ada yang naik sepeda motor pribadi, datang dengan mobil carteran atau ikut angkutan umum bersama kerabat dan sanak saudara.

Di bawah pohon jamblang yang tumbuh rapat-rapat, tenda-tenda kecil dibangun berdekatan dengan gubuk tempat menu yang dipesan disiapkan. Ada yang datang sekadar mampir lalu berpindah ke areal lain, atau duduk menyeduh kopi dan berbincang santai.

Bila memasuki areal Pulo Tareba menjelang magrib, pengunjung akan mendapati sepasang gosong kelam (Megapodius freycinet) mencari makan di antara pohon togololo di dekat-dekat gubuk, atau berpasang kipasan kebun (Rhipidura leucophrys) dan cala ibi berkicau lantas terbang dari satu ranting ke ranting lain. Cala ibi, merupakan sebutan lokal bagi jenis burung madu–satwa polinator bagi tanaman pisang yang dikonsumsi manusia.

Pulo Tareba dan Kehidupan yang Menghidupkan

Kawasan Pulo Tareba terbilang lengkap bagi penikmat wisata berbasis alam dan pencinta satwa liar.

Selain pohon jamblang yang tumbuh lebat, ada pula Danau Tolire yang menyimpan sejarah geologi hingga cerita rakyatnya. Potensi keanekaragaman hayati pun bisa disaksikan pada siang atau malam hari.

Sekitar sepuluh meter dari gerbang masuk, poster berisi informasi status burung di Indonesia menyambut kedatangan pengunjung. Sejumlah potret satwa endemik Maluku Utara ikut dipajang dan menjadi bahan tontonan hingga swafoto–dari bidadari halmahera (Semioptera wallacii), kasturi ternate (Lorius garrulus), berkik gunung-maluku (Scolopax rochussenii) hingga mandar gendang (Habroptila wallacii) tampil sempurna.

Beberapa kali para turis mancanegara berdatangan dan menyaksikan sejumlah spesies penghuni Pulo Tareba; julang irian (Rhyticeros plicatus), cekakak biru-putih (Todiramphus diops), walik topi-biru (Ptilinopus monacha), sampai kakatua putih (Cacatua alba)—spesies paruh bengkok yang terancam kritis karena perburuan dan perdagangan liar.

Wisatawan mancanegara melihat poster sejumlah satwa liar yang bisa dijumpai di kawasan Pulo Tareba pada Sabtu, 19 Oktober 2024. | Foto: Rajuan Jumat/Garda Animalia
Wisatawan mancanegara melihat poster sejumlah satwa liar yang bisa dijumpai di kawasan Pulo Tareba pada Sabtu, 19 Oktober 2024. | Foto: Rajuan Jumat/Garda Animalia

Para traveler pun sempat menyaksikan bagaimana kehidupan hewan berkantong yang aktif di malam hari merayap dari satu dahan ke dahan lain; kuskus mata-biru (Phalanger matabiru) atau disebut kuso, merupakan hewan endemik Maluku Utara yang tersebar di Pulau Ternate dan Tidore.

Beberapa kali mamalia pemakan daun, buah, dan serangga itu menjadi korban kejahatan makhluk mulia bernama manusia.

Organisasi konservasi internasional IUCN (Internasional Union Conservation of Nature) bahkan memasukkan kuskus ke dalam status rentan (vulnerable). Itu berarti salah satu maskot Kota Ternate ini rentan punah.

Junaidi Abas (30), warga asal Takome yang juga pengelola kawasan Pulo Tareba bilang, ketika para turis itu datang, yang ingin dilihat cuma hal-hal unik yang belum mereka temukan di tempat lain. Salah satunya dengan menyaksikan margasatwa khas Maluku Utara.

Kalau sudah seperti itu, teman-teman Pulo Tareba seakan menjadi guide dadakan. Mereka menemani para turis berkeliling melihat sejumlah satwa liar yang hidup di kawasan itu–imbalan yang akan mereka terima berupa sekian nilai rupiah untuk harga rokok, katanya.

Junaidi dan Benny menunjukkan poster mengenai sejumlah satwa yang bisa dijumpai di kawasan wisata Pulo Tareba. | Foto: Rajuan Jumat/Garda Animalia
Junaidi dan Benny menunjukkan poster mengenai sejumlah satwa yang bisa dijumpai di kawasan wisata Pulo Tareba. | Foto: Rajuan Jumat/Garda Animalia
Dua turis mancanegara melakukan pengamatan malam untuk melihat kuskus mata-biru di kawasan wisata Pulo Tareba pada Sabtu (19/10/2024). | Foto: Rajuan Jumat/Garda Animalia
Dua turis mancanegara melakukan pengamatan malam untuk melihat kuskus mata-biru pada Sabtu (19/10/2024). | Foto: Rajuan Jumat/Garda Animalia
Seekor kuskus mata-biru di kawasan wisata Pulo Tareba, Takome, Ternate Barat. | Foto: Firman Yahya
Seekor kuskus mata-biru di kawasan wisata Pulo Tareba, Takome, Ternate Barat. | Foto: Firman Yahya

Sebuah Perbincangan untuk Memahami Koneksi antara Manusia, Satwa, dan Alam

Duduk di dipan sebuah gubuk sederhana, Junaidi dan Benny bergatian bercerita terkait satwa.

Gubuk yang baru dibangun tahun lalu itu tidak saja menjadi tempat semua menu pesanan dimasak, tetapi merangkap peran untuk ajang berbagi pengetahuan.

Bangunan berbahan kayu jati tersebut dilengkapi sejumlah aksesoris; ada belasan potong kayu berjejer dan menjadi lantai gubuk, ada teko blirik hijau hingga gelas keramik bergambar menampati sudut kanan pintu menuju dapur.

Di sudut-sudut gubuk, belasan tumbuhan liar merayap beralih fungsi jadi tanaman hiasan. Sementara duplikat burung goheba—sejenis elang berkepala dua yang menjadi lambang Kesultanan Ternate—berdiri dan turut menjadi aksesoris.

Dua bulan sebelumnya, sekitar setengah meter di atas kepala, di salah satu bagian dinding gubuk, sempat dipajang dua buah senapan angin. Itu milik pemburu kuskus mata-biru yang disita oleh Junaidi dan teman-teman Pulo Tareba.

Merasa luas gubuk tak akan sanggup menampung peserta, ajang berbagi pengetahuan seputar satwa digeser sekitar lima belas meter ke sebelah gubuk.

Benny Aladin sedang berbagi pengetahuan bersama sejumlah mahasiswa antropologi sosial Unkhair terkait peran satwa liar dalam kehidupan manusia pada Minggu (13/10/2024). | Foto Rajuan Jumat/Garda Animalia
Benny Aladin sedang berbagi pengetahuan bersama sejumlah mahasiswa antropologi sosial Unkhair terkait peran satwa liar dalam kehidupan manusia pada Minggu (13/10/2024). | Foto Rajuan Jumat/Garda Animalia

Di atas panggung sederhana beratap terpal itu, Junaidi bercerita; burung, katanya, kerap dijadikan sebagai tanda suatu peristiwa alam maupun yang berhubungan dengan manusia.

Di Takome sendiri, ada beberapa jenis satwa yang memang dijadikan sebagai penanda jika sebuah peristiwa akan terjadi.

Karakalo australia (Scythrops novaehollandiae), misalnya.

“Kalau dia basuara (bersuara) dari dua arah: utara-selatan, selatan-utara, maka diprediksi akan datang musim penyakit. Maka hal yang akan dilakukan oleh masyarakat adalah membuat ritual, ziarah kubur hingga tawaf kampung. Pasca dari tiga hal itu, langsung ditutup dengan tahlilan di masjid,” kata Junaidi.

Adapun burung jenis lain akan memberi kabar baik, ditandai dengan kipasan kebun (Rhipidura leucophrys) membuat sarang di karang, ranting, atau akar kayu dekat pantai. Itu bertanda air laut akan tenang.

“Mulai dari proses pembuatan sarang, bertelur sampai menetas hingga anaknya bisa terbang, itu sudah membutuhkan proses berapa lama coba? Itulah yang dipakai orang-orang tua kita saat itu untuk menentukan air laut tenang,” tukas Junaidi.

Sejalan dengan itu, Benny juga menyinggung bagaimana satwa ikut andil ketika terjadi peristiwa. Namun, hal itu kadang tidak disadari oleh manusia.

“Di Aceh, misalnya,” kata Benny. “Sebelum terjadi tsunami, hewan-hewan sudah merasakan lebih dulu perubahan lingkungan. Jadi cerita teman-teman yang di Aceh itu, kucing, anjing, semua sudah gelisah, menggonggong satu kampung. Sampai di rumah-rumah keluar tikus-tikus. Tapi manusia cuek. Setengah jam kemudian gempa. Abis gempa mereka makin gelisah, ternyata tsunami,” lanjut Benny yang juga Koordinator Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia wilayah Maluku.

Baik yang Benny maupun Junaidi kisahkan seakan memberi peringatan dini; jika kelak hal-hal tak terduga seperti gempa dan tsunami menerjang, tanda-tanda dari alam seperti itu patut dipelajari oleh manusia.

Satwa Memberi Tanda

BBC News Indonesia, salah satu media yang berkantor di Jakarta merilis sebuah karya jurnalistik bertajuk “Gempa dan tsunami: Jika hewan dapat merasakan bencana alam akan terjadi, dapatkah mereka menjadi sistem deteksi dini yang efektif?”.

Artikel itu pertama kali dimuat pada Maret 2020. Dari situ, kita bisa mendapati bagaimana korban selamat dari musibah dahsyat yang menimpa Serambi Mekah bersaksi—termasuk negara tetangga, Thailand.

“Sejumlah saksi mata menyatakan melihat gajah-gajah lari ke daratan yang lebih tinggi. Di desa pesisir Bang Koey di Thailand, warga lokal mengatakan, sekumpulan kerbau yang sedang berada di pinggir pantai tiba-tiba menegakkan telinga, memandang waspada ke arah laut, kemudian berlarian ke atas bukit beberapa menit sebelum tsunami menerjang,” tulis media yang bermarkas di London tersebut.

Bencana geologi serupa juga pernah menimpa Tangshan, Tiongkok, pada Juli 1976 dan China pada Mei 2008. Dikatakan dalam sebuah artikel berjudul “Tanda-tanda Aneh Menjelang Gempah Dahsyat 7,8 SR di Tangshan yang Rengut 250 Ribu Jiwa,” ada sejumlah hewan yang merasa gelisah dan memberontak.

Tikus-tikus berlarian pada siang bolong, ikan-ikan di akuarium gelisah dan mencoba melompat keluar. Sebelum fajar 28 Juli 1976 menyingsing, para peternak memberi pakan hewan ternak. Bukannya makan, kerumunan kuda dan keledai justru mengamuk. Mereka melompat dan menendang sejadinya. Setelah berhasil menjebol kandang, hewan-hewan itu lari tunggang langgang”.

Di artikel yang berbeda, tempo.co juga menulis: ketika Cina didera lindu berkekuatan 7,8 skala richter pada 2008, sejumlah hewan di kebun binatang yang sudah merasakan lebih dulu berlagak aneh. Zebra membenturkan kepalanya ke pintu kandang. Semua singa berkeliaran dan gelisah. Sementara lusinan burung merak mengeluarkan suara melengking sebelum petaka terjadi.

Menurut Benny, jika kehidupan manusia dengan alamnya sudah menyatu, maka akan ada banyak kehidupan yang terselamatkan. Sebab, pada dasarnya, di mana pun manusia tinggal, mereka punya relasi dengan alam.

Ilustrasi tikus, sebagai satwa yang diyakini peka terhadap perubahan lingkungan bahkan dapat mendeteksi gempa. | Foto: Christian Fischer/Wikipedia
Ilustrasi tikus, sebagai satwa yang diyakini peka terhadap perubahan lingkungan bahkan dapat mendeteksi gempa. | Foto: Christian Fischer/Wikipedia

Relasi Masyarakat dengan Alam dari Kacamata Antropologi

Apa yang dikatakan Benny sejalan dengan keterangan Safrudin Amin, dosen Antropologi Sosial Universitas Khairun Ternate.

Seusai mengajar, saya mendatangi dosen pengampu mata kuliah antropologi kebencanaan itu pada Senin, 21 Oktober siang.

“Masyarakat itu, selalu ada hubungannya dengan alam, dengan lingkungan. Termasuk hewan dan vegetasi. Masyarakat membangun afiliasi secara simbolik dengan objek-objek itu di lingkungannya,” kata Safrudin Amin yang biasa disapa Pak Saf.

“Ada spesies ikan tertentu yang tidak boleh dimakan oleh masyarakat. Orang Ternate mengenalnya dengan ikan goranggo. Cerita yang mereka ciptakan itu katanya, goranggo pernah membantu nenek moyang mereka ketika di laut sehingga tidak boleh disakiti, tidak boleh dimakan, boboso. Semacam pantangan. Dan itu disosialisasikan ke generasi dengan asumsi kepercayaan; kalau memakan ikan tersebut, akan melanggar sumpah nenek moyang yang sudah dibuat.”

Cerita-cerita dari masyarakat semacam itu kata Safrudin Amin, tentu tidak ada dalam kehidupan nyata. Namun, jika menggunakan perspektif lain, hal seperti itu sebenarnya adalah upaya dari kelompok masyarakat tertentu, marga tertentu untuk menghubungkan diri dengan suatu satwa sebagai konsep konstruksi identitas mereka.

Di Halmahera Timur juga terdapat tradisi serupa. Ada kelompok masyarakat yang tidak makan spesies burung tertentu. Bahkan melarang siapa saja untuk berburu atau menyakiti mereka. Sebab, masyarakat dengan kepercayaan Yamtoa itu sangat menyakralkan satwa jenis julang irian atau yang disebut burung taong.

“Kalau sampai ada yang tangkap atau lempar burung taong, katapel, dan sebagainya, keluarga itu akan jadi masalah, tersiksa dan sakit,” katanya.

“Dari sisi konstruksi identitas, …” kata Safrudin, ” … mereka sebenarnya membentuk suatu identitas bahwa mereka adalah keluarga Yamtoa, kami tidak makan ini, kami tidak makan burung taong. Kaya begitu. Jadi itu membentuk identitas mereka sehingga ketika ada hajatan, orang sudah tahu; oh, dia tara (tidak) makan ini, tidak makan barang ini. Kasih makanan lain. Jangan kasih makan barang itu. Barang itu kalau dong (mereka) makan, akan jadi gatal-gatal,” lanjutnya.

Sekalipun begitu, ada perbedaan cara pandangan dari para ahli antropologi kesehatan. Mereka justru menganggap gejala gatal-gatal jika memakan hewan tertentu dilatari oleh persoalan genetik–gen tertentu saja yang alergi terhadap protein hewani.

Kalangan antropologi ekologi justru mengganggap itu bagian dari mekanisme proteksi terhadap lingkungan, terhadap satwa.

“Jadi jangan makan ini, jangan tebang ini, itu adalah bagian mekanisme kultural. Semacam kita sebut “kearifan budaya” untuk tidak merusak kehidupan satwa.

Dengan cara seperti itu, mereka sebenarnya mengonservasi, melindungi lingkungan dan satwa dari ancaman pembunuhan, penangkapan dan bahkan kepunahan,” tegasnya.

Ada banyak peran satwa liar dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Mulai dari layanan penunjang (supporting services), penyedia (provisioning services), pengaturan (regulating services), hingga layanan budaya (cultural services). Yang terakhir itu seperti dijalankan oleh masyarakat di Maitara, Kota Tidore Kepulauan.

Pulau di depan Kota Ternate itu punya ritual tahunan untuk menolak bala. Mereka sebut Dumai.

Sebelum proses ritual berlangsung, beberapa macam sumber daya hutan dimanfaatkan. Satu di antaranya ialah tuak, minuman tradisional yang disadap dari pohon aren–salah satu jenis pohon yang penyebar utamanya adalah Julang irian atau si petani hutan.

Dalam kajian antropologi, ritual tahunan semacam itu dibuat untuk membangun solidaritas dan mempererat silaturahmi dalam masyarakat dan keluarga.

“Supaya keluarga yang so (sudah) jarang-jarang datang saling baku kenal lagi,” kata Safrudin.

“Fungsi ritual yang lain, … ” lanjutnya, ” … mungkin untuk menjaga identitas tertentu supaya tidak tergelincir, tidak terkuras dan tidak tereliminasi oleh penetrasi global,” tandasnya.

Jumlah burung di Kawasan Pulo Tareba

Berdasarkan hasil pengamatan beruntun yang dilakukan teman-teman Halmahera Widlife Photography (HWP), sebuah komunitas pelestarian satwa liar berbasis fotografi di Ternate, sedikitnya ditemukan 30 jenis burung yang ada di kawasan Pulo Tareba.

Beberapa di antaranya termasuk endemik Maluku Utara dan dilindungi pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Poster sejumlah burung khas Maluku Utara yang terpajang di kawasan wisata alam Pulo Tareba, Ternate Barat. | Foto: Rajuan Jumat/Garda Animalia
Poster sejumlah burung khas Maluku Utara yang terpajang di kawasan wisata alam Pulo Tareba, Ternate Barat. | Foto: Rajuan Jumat/Garda Animalia
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments