Gardaanimalia.com – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi mencatat sebanyak 72 konflik satwa dan manusia terjadi sepanjang 2020. Menurut Koordinator Polisi Kehutanan BKSDA Jambi, Jefrianto, konflik itu terjadi karena kerusakan habitat.
“Habitat mereka bisa dikatakan mulai rusak, mau tidak mau para hewan jadi berkonflik,” kata Jefrianto seperti dikutip dari laman Jambikita, Jumat (5/2/2021).
Selain itu, aktivitas perekonomian dan pemukiman yang terus tumbuh juga menjadi ancaman bagi habitat satwa liar.
Berdasarkan catatan, puluhan konflik satwa tersebut melibatkan satwa-satwa dilindungi. Setidaknya ada 19 konflik harimau (Panthera tigris sumatrae), 27 konflik yang melibatkan gajah (Elephas maximus sumatrensis), 17 konflik antara beruang madu (Helarctos malayanus) dan warga, dua konflik yang melibatkan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), empat kasus dengan buaya muara (Crocodylus porosus), dua konflik buaya senyulong (Tomistoma schlegelii), dan satu konflik macan dahan (Neofelis nebulosa).
Baca juga: Fakta Tragis di Balik Tren Pelepasan Burung untuk Acara Peresmian
Puluhan konflik dengan satwa liar itu tidak menimbulkan korban jiwa namun mengakibatkan kerusakan pada kebun warga. Ada juga beberapa ternak yang menjadi mangsa satwa liar.
Jefrianto memaparkan bahwa sebagian besar konflik terjadi di dekat Taman Nasional Kerinci Seblat tepatnya di Kabupaten Kerinci.
“Karena kekurangan makanan, mereka keluar (dari hutan). Dari sana terjadilah konflik,” imbuhnya.
Terkait konflik satwa yang tinggi ini, Kepala BKSDA Jambi, Rahmad Saleh menegaskan bahwa satwa liar bisa hidup berdampingan dengan manusia. Jadi, jangan sampai masyarakat maupun media membentuk prasangka buruk terhadap satwa liar. Menurutnya, konflik itu terjadi karena habitat satwa sedang terancam.