Menjarah
Menjarah
Menjarah
Edukasi

Hari Nelayan Nasional: Menjala Harapan, Penyu dan Cantrang

2402
×

Hari Nelayan Nasional: Menjala Harapan, Penyu dan Cantrang

Share this article
Ilustrasi sejumlah nelayan dalam prosesi melarungkan sesaji di laut selatan Palabuhanratu, Sukabumi. | Foto: Budiyanto/Antara
Ilustrasi sejumlah nelayan dalam prosesi melarungkan sesaji di laut selatan Palabuhanratu, Sukabumi. | Foto: Budiyanto/Antara

Gardaanimalia.com – Di suatu tempat, segerombolan nelayan tengah sibuk mendorong jukung ke tepian pantai. Tampak sisi jukung sudah mulai lapuk, bertaut dengan lapisan warna yang mengelupas dijilat teriknya panas.

Jukung setengah reyot itu, tanpa henti dipaksa bertaruh dengan hantaman ombak ganas. Sedangkan para perempuan dengan bertudungkan caping tampak piawai memilah-milah dan menjemur deretan ikan di atas anyaman bambu.

pariwara
usap untuk melanjutkan

Mungkin sebagian nelayan terlampau sibuk menjala harapan, hingga beberapa darinya lupa, bahwa hari ini tepat tanggal 6 April adalah peringatan Hari Nelayan Nasional.

Sebuah peringatan yang setiap tahunnya rutin dirayakan guna mengingat perjuangan mereka dalam bidang perikanan.

Seperti para nelayan di daerah Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Mereka menggelar peringatan hari nelayan sebagai bentuk syukur atas hasil tangkapan selama melaut.

Perayaan pun kerap diisi oleh rentetan acara hiburan rakyat dan budaya. Di antaranya ada satu prosesi pesta bahari -yang sayang jika terlewatkan- yakni pelepasan tukik (anak penyu) menuju lautan lepas.

Pelepasan tukik biasa dilakukan di penghujung acara, hal ini sebagai penanda bahwa perayaan telah usai.

Sedari pagi masyarakat umum berkumpul di pesisir pantai, menunggu puncak hari nelayan lekas tiba. Singkatnya, sore hari sudah menunjukkan pukul 17.45 WIB dan waktu yang tepat untuk tukik segera dilepasliarkan.

Pasalnya, tukik cukup rentan jika dilepasliarkan pada pagi hari lantaran hewan predator sedang aktif di waktu tersebut.

Sementara ketika mulai sore, panas matahari masih terik dan hal itu mampu menyengat tukik yang masih sensitif. Sehingga guna menghindari hal itu, sore menjelang senja pun dipilih sebagai waktu yang tepat.

Sejumlah tukik melangkah kecil dan beberapa lainnya saling bertubrukan, silih berebut siapa yang terlebih dahulu mencapai ujung pantai sebelum akhirnya mencecap gulungan ombak yang senantiasa menanti mereka.

Bagi nelayan Palabuhanratu sendiri, sebelumnya tradisi ini diawali pembuatan sesajen dan penyembelihan kerbau. Lalu, sesudahnya dilarungkan secara bersama-sama ke tengah laut dengan menggunakan congkreng (perahu khas).

Ternyata sejak tahun 2006, ritual larung saji itupun berhenti digantikan oleh ritual khusus yang berorientasikan konservasi penyu yaitu pelepasliaran tukik dan benur.

Pelepasan tukik nampaknya juga telah melekat menjadi ritual wajib di setiap perayaan hari nelayan tersebut.

Hal ini tentu beralasan, menurut nelayan tukik dipilih menjadi simbol keselarasan antara manusia dan alam. Karena dengan melepasliarkan tukik sama pula dengan menaruh harapan akan geladak jukung yang sesak tak karuan.

Patut diketahui, fauna laut yang termasuk dilindungi ini memiliki pola simbiosis dan ikan-ikan gemar berkumpul di sekitaran penyu.

Maka tak heran, nelayan menjadikan penyu sebagai indikator saat melaut, petunjuk bahwa ikan buruan sedang berseliweran di area tangkapan.

Artinya, semakin banyak tukik yang dilepasliarkan di laut, maka semestinya menandakan bahwa semakin banyak pula ikan yang bisa didapat di sana.

Namun, sudah berulang kali sejumlah tukik dilepasliarkan oleh kita. Alih-alih populasinya meningkat, justru rasio hidup tukik dari tahun ke tahun malah semakin mengkhawatirkan.

Terang saja, dari 100 ekor yang dilepaskan ke habitatnya, hanya sekitar 3 ekor tukik yang sukses tumbuh dewasa. Kadang kala jumlah tangkapan nelayan pun nasibnya tidak jauh berbeda dengan kondisi tukik yang tak banyak di alam.

Di sisi lain, penggunaan alat tangkap nelayan berupa cantrang masih pula sering terdengar. Meskipun pada tempo lalu pelarangan cantrang sempat dicabut, kini aturan itu telah kembali diterapkan oleh pemerintah.

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan.

Meski begitu, kenyataannya di beberapa daerah masih ditemukan penggunaan alat tangkap tersebut. Pada penghujung tahun 2021 lalu, aparat berhasil menindak tegas 5 kapal nelayan asal Probolinggo yang kedapatan tidak memiliki izin sah dan mengoperasikan alat tangkap cantrang.

Selain itu yang baru saja terjadi, nelayan asal Lamongan ditetapkan menjadi tersangka setelah melakukan pelanggaran alat tangkap cantrang di perairan Pulau Bawean.

Umumnya cantrang dimanfaatkan sebagai jalan pintas, alat itu dilirik karena memiliki tingkat produktivitas tinggi serta memakan waktu yang lebih singkat untuk berhasil menangkap ikan.

Padahal dibalik kemampuannya tersebut, cantrang mempunyai dampak buruk bagi ekologi maupun sosial. Sebab, alat tangkap satu ini menjerat segala apapun yang dilalui secara acak dan rakus.

Lagi pula cantrang bukanlah alat baru melainkan hasil dari modifikasi trawls (pukat hela). Dilengkapi dua tali penarik yang cukup panjang dikaitkan pada ujung sayap, dengan bagian utama yang terdiri dari kantong, badan, sayap atau kaki, mulut jaring, tali penarik, pelampung dan pemberat.

Alat ini menyerupai kantong besar yang semakin mengerucut saat ditarik. Pada pengoperasiannya jaring ditebar ke perairan hingga menjalar ke dasar laut.

Kemudian, setelah waktu yang ditentukan selesai, maka cantrang akan ditarik saat kapal dalam keadaan tetap diam atau berjalan lambat.

Cantrang sendiri memiliki sifat selektivitas yang rendah terhadap ikan, hal ini memicu peluang spesies diluaran target serta ragam ukuran pun turut tertangkap.

Kondisi itu secara langsung memutus biota-biota muda untuk berkembang biak lebih lanjut. Alhasil, ketersediaan sumber daya ikan pun menurun.

Hal itu juga berakibat pada hasil tangkapan nelayan yang semakin berkurang. Tak hanya itu, sapuan cantrang saat ditarik pun dapat menimbulkan kerusakan pada terumbu karang.

Selain dampak lingkungan, penggunaan cantrang turut memicu konflik sesama nelayan lantaran saling berkompetisi wilayah tangkapan ikan. Dan paling dirugikan adalah nelayan yang tidak menggunakan alat tangkap tersebut.

Maka, upaya penyuluhan kepada nelayan patut diperhatikan serta diberikan dukungan terhadap perempuan nelayan guna mendorong peningkatan produk olahan hasil tangkapan.

Mengapa demikian? Agar keberlanjutan ekosistem menjadi seimbang terutama ketersediaan biota laut.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
FATWA: Orangutan juga merantau! | Ilustrasi: Hasbi Ilman
Edukasi

Gardaaniamlia.com – Garda Animalia mengeluarkan FATWA (Fakta Satwa) pertama. Sebuah seri fakta singkat di dunia persatwaliaran. Yuk, simak!…