Gardaanimalia.com – Konflik antara manusia dan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Kabupaten Bener Meriah akhir-akhir ini kian memuncak.
Satwa dilindungi tersebut kerap masuk permukiman dan perkebunan milik masyarakat. Hal ini membuat warga merasa waswas.
Tidak hanya berimbas pada tanaman di kebun warga, kawanan gajah liar juga sering masuk pekarangan sekolah di daerah tersebut.
Puncak interaksi negatif terjadi beberapa pekan lalu, saat masyarakat sering mendapati bangunan dan lahan rusak karena kedatangan mamalia bertubuh besar tersebut.
Merespons hal ini, kelompok pemuda yang tergabung dalam relawan Tim Penanganan Flora dan Fauna (TPFF) mengupayakan penggiringan terhadap gajah yang masuk permukiman.
Daerah Jelajah Gajah Terganggu
Ketua TPFF Muslim mengatakan, dirinya dan teman-teman sangat banyak menerima laporan gajah liar masuk kawasan penduduk. Ia menduga hal tersebut terjadi disebabkan daerah jelajah (home range) satwa lindung itu sudah terganggu.
Menurutnya, keberadaan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan sawit menjadi penyebab konflik satwa dan manusia terjadi. Alih fungsi hutan menjadi rumah, dan tempat mencari makan satwa kini disulap menjadi perkebunan sawit.
“Dulu, kita masyarakat Desa Karang Ampar tidak pernah merasakan berkonflik dengan satwa. Sampai akhirnya perusahaan-perusahaan sawit masuk dan memicu konflik terjadi,” ungkap Muslim, Jumat (1/12/2023).
Ia menjelaskan, perusahaan sawit tidak berada di kawasan Kabupaten Aceh Tengah atau Bener Meriah. Namun, HGU berada dalam wilayah Kabupaten Bireun dan Pidie Jaya.
Akan tetapi, karena home range di kawasan tersebut terganggu, akhirnya gajah mencari jalan dan masuk ke kawasan permukiman di Aceh Tengah dan Bener Meriah.
“Saya dan beberapa tim patroli hutan pernah melakukan pemetaan home range gajah. Kami menemukan jalur lintas satwa itu mengelilingi hutan dari Kabupaten Pidie Jaya, Bireun, Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Aceh Utara,” jelasnya.
Ia berharap pemerintah bertindak tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak mengutamakan keberlangsungan ekosistem. Menurutnya, pemberian izin HGU di kawasan habitat satwa merupakan langkah yang sangat keliru.
13 Tahun Konflik, Belum Ada Solusi
Ketua Forum Reje Kecamatan Rime Gayo Farid Wajdi menyampaikan, konflik manusia dan satwa di Bener Meriah kian masif dan sudah berlangsung selama 13 tahun tanpa penyelesaian yang jelas.
Ia juga menyebutkan banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan imbas konflik yang terjadi.
“Usia saya sudah 60 tahun dan baru 13 tahun terakhir ini saya merasakan konflik dengan gajah,” kata Farid dalam konferensi pers di kantor Walhi Aceh, Kamis (30/11/2023).
Lanjutnya, konflik tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di Kecamatan Rime Gayo. Namun, hampir seluruh Desa di Bener Meriah, Aceh Tengah, Pidie Jaya, dan Aceh Utara.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Reje (Kepala Desa) Negeri Antara, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah Riskanadi.
“Desa kami memiliki luas 9 kilometer persegi, 90 persen masyarakat mata pencarian sebagai petani. Tapi, semua berubah setelah konflik dengan gajah ini terjadi,” jelasnya.
Riskananda melanjutkan, saat ini hanya 10 persen masyarakat yang bertani, itu pun hanya dilakukan di pekarangan rumah. Selebihnya, masyarakat memilih menjadi buruh perusahaan dengan gaji yang tak seberapa.
Tidak hanya itu, Ia juga menjelaskan saat ini anak-anak merasa ketakutan ke sekolah. Hal ini karena kerap ditemukan mamalia besar tersebut berkeliaran di sekitar jalan hingga masuk pekarangan sekolah.
Riskanadi mengatakan bahwa kondisi ini telah disampaikan ke pihak BKSDA Aceh. Namun, hingga kini belum mendapatkan kejelasan yang konkret.
“Saat ini kami sangat kesulitan. Selain tidak bisa bertani, anak-anak kami juga tidak bisa bersekolah karena gajah masuk pekarangan sekolah. Kami selaku orang tua tentunya tidak mau ambil risiko anak kami diserang satwa liar itu,” ungkapnya.
Dia menyampaikan, kedatangannya dan sejumlah reje lain ke Banda Aceh bertujuan untuk menyampaikan keluhan dan permasalahan konflik yang mereka rasakan kepada pemerintah provinsi selaku pemangku kebijakan.
“Kami datang ke Banda Aceh hari ini karena sudah sangat resah dengan konflik yang terjadi. Kami mau menyampaikan hal ini ke Pemerintah Aceh,” ujarnya.
“Jika apa yang kami sampaikan tidak didengar juga, maka kami akan turun dalam jumlah yang lebih ramai,” tegas Riskanadi.