Kebun durian yang berada di kompleks Guaesalo itu punya sebuah gubuk papan beratapkan seng bekas, dilengkapi jam dinding tak berfungsi dan satu pelita tergantung di teras depan. Jaring laba-laba silang-menyilang di antara tiang dan atap teras.
Di bawah gubuk di sudut bagian kanan, ada bekas penampungan air hujan, sementara di depannya, sebuah bivak berlantai bambu beratapkan baliho bekas, berdiri tepat di bawah pohon pala besar.
Rifal duduk melepas lelah, sesaat kemudian Erik pun muncul tanpa hasil apa-apa. Tidak jauh dari tempat mereka beristirahat, mesin pemotong gulma meraung pelan di antara lebatnya pohon rempah.
Erik memperkirakan, durian warisan kakeknya telah berusia ratusan tahun. Dan barangkali layak disematkan kepada kebanyakan pohon durian di Ternate saat ini.
Perkiraan itu sungguh tidaklah berlebih, sebab hal serupa diamini oleh Jauhar A. Mahmud, seorang warga di Kelurahan Tongole, Kecamatan Ternate Tengah. Kampung yang berada di ketinggian 500 meter di atas permukaan laut ini masih satu kecamatan dengan Moya.
Pekan kedua Februari lalu di rumahnya, Jauhar (61 tahun) ditemui. Sore itu, ia sedang menanti waktu magrib dengan setelan baju koko di ruang tamu–sebuah kofia–peci hitam mengkilap juga bersarang di kepalanya.
Ikut juga ketiga anaknya yang asyik menonton siaran di televisi. Salah seorang di antaranya terus mengayunkan tangan naik-turun mengikuti gerak ayunan bayi yang tergantung di hadapan mereka.
Jauhar yang baru saja kembali dari balai desa setelah menjamu sekelompok mahasiswa yang datang bertamu, bercerita; hampir semua penduduk di Tongole punya pohon durian. Dan pohon-pohon itu sudah ada sejak era penjajahan dulu.
"Kalau berbicara soal durian...” kata Jauhar, tangan kanannya menyusup ke saku celana, “... ada durian yang tong [kita] punya orang tua-tua tanam di era 70-an, tapi di zaman Belanda dulu juga sudah ada itu durian…”
“Jadi kalau tong lihat yang batang-batang besar sekali itu, di masa Belanda memang sudah ada jauh hari, tapi tidak ditebang to sampai sekarang," lanjut Jauhar, tanganya yang sempat masuk ke saku celana dikeluarkan, disusul sebungkus rokok yang tampak masih utuh.
Keterangan seperti yang Jauhar berikan sebenarnya sudah dicatat oleh Alfred Russel Wallace sejak abad ke-19. Naturalis Inggris yang punya jasa dalam penemuan teori “seleksi alam” ini menginjakkan kaki di Ternate pada 8 Januari 1858.
Ia begitu takjub dengan pulau vulkanis ini–tidak saja pada alamnya, tetapi penduduk juga hasil buminya. Dalam bukunya The Malay Archipelago, Wallace menulis:
“Bagian bawah gunung, di belakang Ternate, hampir seluruhnya ditutupi dengan hutan pohon buah-buahan, dan selama musim ini, ratusan pria dan wanita, anak laki-laki dan anak perempuan pergi setiap hari untuk memetik buah matang. Durian dan mangga, dua dari yang terbaik buah-buahan tropis, sangat melimpah di Ternate daripada yang pernah aku lihat, dan buah tersebut memiliki kualitas yang tidak kalah dengan yang di negara lain di dunia…”
Kalau dihitung dari catatan sang ilmuwan kelahiran Wales 1823 itu, durian di Ternate setidaknya sudah bertahan selama 167 tahun. Dan sampai sekarang, sisa-sisa kelimpahan masih bisa dinikmati–sekalipun–produksinya dari tahun ke tahun barangkali sudah tidak semarak saat itu–entah karena faktor usia atau satwa penyerbuknya yang mulai tersisih. Yang terakhir itu sangat jarang dihubungkan.
Bagi petani seperti Jauhar, berbuah tidaknya pohon durian bergantung pada musim. Ia mengumpamakan layaknya musim buah pada tanaman tahunan semacam cengkeh.
“Sebenarnya, kalau torang [kita] pelajari tentang iklim, tentang musim ini, dia ada pengaruhnya juga,” tutur Jauhar.
“Ada musim hujan, ada musim panas. Kalau musim hujan terus, pasti ujung muda tumbuh-tumbuhan juga akan tumbuh terus, dan itu tidak akan menimbulkan buah,” lanjut Jauhar, ia kemudian menarik rokok yang berada di sudut meja.
“Tapi kalau didominasi dengan panas, ujung muda tumbuhan tidak akan tumbuh, maka terjadilah bunga,” sebatang rokok sudah mengepul di ujung bibirnya.

Mural Alfred Russel Wallace dan Ali yang berada di lorong Wallace, Kelurahan Santiong, Ternate Tengah, Maluku Utara. | Foto: Rajuan Jumat
Satwa Liar sebagai Penyerbuk Durian
Selain faktor musim, usia pohon juga turut menjadi penyebab. Sebagaimana studi yang dilakukan oleh Rasmi Hi Panu dalam Tesisnya “Konservasi Populasi Durian Varietas Lokal Biji Mati di Kebun Masyarakat Kota Ternate” enam tahun lalu.
Wilayah riset yang dilakukan Rasmi tersebar di sejumlah kelurahan di Ternate, termasuk Tobololo di barat, Moya di tengah, Gambesi-Sasa di selatan hingga Kelurahan Fora di Kecamatan Pulau Ternate. Hasilnya: pohon durian milik petani di empat wilayah itu mengalami penurunan produksi dalam beberapa kali musim. Faktor yang melatari timbulnya persoalan ini disebabkan oleh usia pohon yang dianggap sudah di atas 40 tahun.
Barangkali, apa yang diperoleh Rasmi dari riset lapangan dan yang dikatakan Jauhar selaku petani, ada benarnya. Hanya saja, keterlibatan satwa liar tidak boleh diabaikan. Mereka turut berperan dalam setiap buah durian yang dipanen setiap musimnya.
Studi tentang kontribusi satwa liar terhadap durian Ternate masih cukup langka. Namun, banyak literatur sudah menunjukkan, satwa yang punya andil besar terhadap buah durian adalah kelelawar, mereka menyerbuki bunga durian di saat malam hari dan berperan meningkatkan kualitas buahnya.
Riset yang dilakukan oleh Sheherazade di Sulawesi Barat pada akhir 2017 hingga awal 2018 misalnya, menyebutkan; dalam proses penyerbukan bunga durian, ada bantuan yang multispesies dari satwa liar seperti lebah dan ngengat.
Adapun kelelawar disebut-sebut sebagai vertebrata utama yang paling sering mengunjungi bunga durian untuk keperluan penyerbukan alami. Dengan begitu, pahlawan malam yang kerap dituduh sebagai perusak buah ini, justru punya peran kunci terhadap setiap durian yang dinikmati oleh penggemarnya.
Hanya saja, unsur pendukung yang bisa membuat kelelawar bertahan di wilayah urban seperti Ternate patut dipertanyakan. Sebab tanpa unsur pendukung seperti habitat yang aman dan pakan yang berlimpah, mereka bisa saja tersisih dari lingkungan yang didiami.
Ketergantungan kelelawar pada habitat dan pakan pun dikatakan oleh Sigit Wiantoro dan Anang Setiawan Achmadi dalam tulisan “Kelimpahan dan Keragaman Kelelawar dan Mamalia Kecil di Pulau Ternate,” terhimpun dalam bunga rampai Ekologi Ternate terbitan LIPI 2011 silam.
Bagi mereka, Pulau Ternate yang tidak begitu luas ditambah dengan pertumbuhan penduduk yang kian pesat, akan berpengaruh terhadap keberadaan satwa liar, termasuk kelelawar.
Alih fungsi lahan sebagai tempat permukiman dan pembukaan hutan untuk perkebunan sangat berpengaruh terhadap kerusakan habitat dan kelangsungan kelelawar.
Dengan rusaknya habitat, tidak menuntut kemungkinan pakan kelelawar pun akan ikut susut.
Kelelawar adalah satwa kunci, jika mereka menghilang, akan sangat berpengaruh terhadap jenis yang lain. Ular misalnya, adalah musuhnya kelelawar. Jika kelelawar menghilang dan ular melimpah, mau tidak mau dia akan mencari mangsa ke tempat lain, menyasar satwa lain. Dan bisa saja ternak warga yang menjadi sasaran.
Begitu juga pada tumbuhan, kelelawar punya andil yang cukup penting pada setiap tumbuhan berbunga yang dikonsumsi manusia.
Dari hasil penelitian terhadap 157 individu kelelawar yang dilakukan Sigit dan Anang, sedikitnya terdapat sepuluh jenis kelelawar di pulau Ternate. Kelelawar ini dikelompokkan ke dalam jenis pemakan serangga (Microchiroptera) dan jenis pemakan buah (Megachiroptera).
Adapun kelelawar pemakan serangga hanya ditemukan satu jenis; Emballonura nigrescens.
Sementara, kelelawar pemakan buah sebanyak sembilan jenis; Nyctimene sp., Rousettus amplexicaudatus, Dobsonia viridis, Pteropus personatus, Pteropus hypomelanus, Eonycteris spelaea, Macroglossus minimus, Nyctimene albiventer dan Dobsonia moluccensis.
Kelimpahan jenis kelelawar dijumpai di areal danau Laguna, Ternate Selatan pada ketinggian 100-200 meter di atas permukaan laut.
Sumber lain yang menyinggung terkait kelelawar hanya sebatas pada ulahnya yang bikin listrik padam di Morotai atau penyelundupan daging kelelawar yang berhasil digagalkan oleh Petugas Karantina Pertanian Ternate Wilayah Kerja Sanana.
Daging sebanyak dua boks yang berasal dari Ambon, Maluku, hendak dibawa ke Manado, Sulawesi Utara–kota dengan peringkat pasar daging satwa liar terbesar di Asia Tenggara.
Sumber terbaru justru datang dari Pulau Obi, tempat salah satu raksasa industri Harita Nickel bercokol–judulnya bikin geleng kepala; “Menjaga Warisan Alam Obi: Harita Nickel Lestarikan Flora dan Fauna Endemik lewat Pemantauan dan Edukasi Karyawan.”
Mendapati berita ini di grup WhatsApp, salah seorang teman justru berkomentar sinis, meragukan apa yang disebut sebagai “menjaga”, “lestarikan”, “warisan-alam” yang justru keluar dari mulut pelaku perusak lingkungan.
Kapasan halmahera, kelelawar buah dan madu sahul, merupakan spesies hewan yang resisten terhadap perubahaan lingkungan–punya daya hidup yang tinggi, katanya begitu membaca isi berita yang menyebutkan sejumlah satwa di areal bekas pembongkaran hutan ‘tetap stabil’–itu yang kemudian dijadikan sebagai indikator untuk mengukur keseimbangan ekosistem.
“Kalau itu yang dipakai sebagai tolak ukur, masuk akal saja, orang spesies itu tahan banting! Hahaha. Spesies tara (tidak) tahan perubahan ini yang tidak disebutkan. Padahal, indikator lingkungan itu harusnya “dialamatkan” kepada spesies yang sangat rentan terhadap perubahan,” komentarnya.
Pulau Ternate saat dipotret dari Tidore. | Foto: Rajuan Jumat
Antisipasi “Kemungkinan” yang akan Terjadi ke Depan
Karena merupakan wilayah urban, Ternate bisa kehilangan kelelawarnya di masa depan karena keberadaan manusia. Maka, untuk mengantisipasi itu, edukasi penting untuk terus dikoarkan dan melibatkan partisipasi masyarakat dari tingkat tapak.
Anak-anak dari sekolah dasar sudah harus tahu pentingnya menjaga keanekaragaman hayati seperti kelelawar yang mendukung kehidupan pulau Ternate. Begitu juga di tingkat yang lebih atas; perguruan tinggi misalnya harus ambil peran, menjadi motor penggerak utama.
Jangan sampai, kekhawatiran para peneliti bisa saja terwujud di tahun-tahun akan datang. Sulawesi yang katanya dihuni oleh sekitar 70 jenis kelelawar dari 239 jenis di Indonesia, sekarang dalam ancaman–diburu untuk memenuhi meja perayaan hari besar di Manado.
Pemburu dan pengepul mengambil untung dari situ meskipun dengan cara-cara yang lancung.
Dalam riset yang dilakukan oleh Liana dkk (2019), dikutip oleh Liana dan Witno yang terbit di Jurnal Penelitian Kehutanan Bonita (2021), menyebutkan; sebanyak 189 ton daging kelelawar dikonsumsi di Sulawesi Utara per tahun. Jumlah itu setara dengan 569.515 ekor kelelawar yang diburu dari alam setiap tahunnya.

Kelelawar di Pasar Tomohon, Kota Tomohon, Sulawesi Utara. | Foto: Rajuan Jumat
Semua provinsi di Sulawesi sudah disebutkan sebagai dapur pemasok daging kelelawar ke pasar-pasar ekstrim di Kota Manado, dari Kendari di tenggara, Sidrap di selatan, atau Desa Karya Baru dan Pulau Idaman di Gorontalo. Begitu juga di Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah, telah menjadi ladang perburuan.
Ketika kelelawar di daerah-daerah itu terus diburu dan populasinya di alam semakin susut, maka jumlah yang diinginkan pengepul tidak akan lagi terpenuhi. Dengan begitu, wilayah lain harus diincar. Dan saat ini, hutan Kalimantan, Papua juga Ambon telah menjadi areal berburu kelelawar.
Tidak menutup kemungkinan, Maluku Utara yang hanya berjarak sekian mil dari Sulawesi, atau hanya berkisar 15 jam dari Ternate ke Manado lewat jalur laut, akan disasar untuk memenuhi pasar-pasar di sana.
Para pengepul bisa langsung datang sendiri atau kalau itu dianggap terlalu repot, kucuran modal bisa mengalir diam-diam dan pemburu atau peminat di Ternate yang akan bertindak. Kemungkinan-kemungkinan seperti itu harus diwaspadai.