Liputan Khusus

Menapak Transformasi Konservasi WRC Yogyakarta

166
×

Menapak Transformasi Konservasi WRC Yogyakarta

Share this article
  • riset genetika binturong
  • petugas WRC
  • Tojeiro Spijkstra
  • replika batuan
  • replika batuan
Seekor kura-kura bajuku yang dirawat WRC. Di fasilitas baru, WRC akan mengadakan program pengembangbiakan konservasi khusus untuk spesies ini. | Foto: Dokumentasi WRC
Seekor kura-kura bajuku yang dirawat WRC. Di fasilitas baru, WRC akan mengadakan program pengembangbiakan konservasi khusus untuk spesies ini. | Foto: Dokumentasi WRC

Gardaanimalia.com – Puing-puing, pepohonan yang meranggas, enam ekor kucing.

Tojeiro Spijkstra mengajak saya berjalan melewati pagar pembatas. Tanah seluas 13 hektare di luar pagar itu adalah lahan bekas sewaan Wildlife Rescue Centre (WRC) Yogyakarta.

pariwara
usap untuk melanjutkan

WRC merupakan Lembaga Konservasi (LK) Khusus yang mengelola satu-satunya Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) di tiga provinsi: DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Mereka melakukan penyelamatan, rehabilitasi, dan pelepasliaran terhadap satwa liar yang mengalami masalah, seperti satwa yang diselundupkan, terluka, dan berkonflik dengan warga.

Lokasi fasilitas WRC sebelumnya ada di Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Hampir 20 tahun WRC beroperasi di sana.

Sejak 2022, fasilitas tersebut tutup untuk sementara. Hampir seluruh lahannya telah dikembalikan kepada desa, sementara perawatannya diserahkan kepada alam.

Tertinggal di sana hanya satu hektare lahan untuk bangunan utama, Tojeiro selaku staf WRC Jogja, dan kucing-kucingnya.

Tidak, mereka tentu tidak bubar. Justru sebaliknya: WRC akan punya rumah baru, dengan lokasi dan kerja-kerja konservasi yang baru pula.

Puing sisa replika batuan yang membatasi kandang rehabilitasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan siamang (Symphalangus syndactylus). | Foto: Aditya/Garda Animalia
Puing sisa replika batuan yang membatasi kandang rehabilitasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan siamang (Symphalangus syndactylus). | Foto: Aditya/Garda Animalia

Pindah Rumah

“Memang luar biasa bagaimana alam bisa mengambil alih segalanya dalam satu tahun,” kata Tojeiro sembari melewati lautan daun kering yang telah menutupi jalan setapak menuju sisa bangunan dan kandang hewan.

Sisa dinding, fondasi, dan pagar besi berbaris di kiri kanan. Ada sisa fasilitas karantina, kolam-kolam kecil dengan pilar tempat elang bertengger, juga reruntuhan sebuah replika batuan yang membatasi kandang makaka dan siamang.

Di belakang, Kimi mengikuti kami dengan lincah. Kimi adalah salah satu kucing milik Tojeiro, sekaligus penguasa sementara bekas fasilitas WRC.

Tojeiro telah mengenal WRC sejak 2018. Ketika itu, dia datang jauh dari Belanda sebagai relawan. Meskipun latar belakang pendidikannya adalah teknik mekatronika, dia langsung merasa cocok dengan kerja-kerja konservasi.

Tidak perlu waktu lama sampai dirinya memutuskan untuk mendedikasikan karir di rehabilitasi satwa.

Saat ini, Tojeiro mengambil posisi sebagai Animal Welfare Coordinator, profesi yang berfokus di antaranya kepada kesejahteraan satwa, meliputi psikologi, genetika, kemampuan belajar satwa.

“Kalau dokter hewan merawat kondisi fisik satwa, saya bertugas merawat kondisi mental mereka [satwa],” jelasnya.

Namun, setahun ke belakang Tojeiro mengisi hari di depan laptop: membuat laporan internal dan belajar manajemen perawatan dan kesehatan hewan.

Ketika pandemi menghantam, WRC tidak jadi pengecualian. Kala itu tim terpaksa melepaskan sewa lahan karena jumlah relawan yang menyusut dan donor yang menyurut.

Selama kurun tersebut, satwa yang lulus rehabilitasi dilepasliarkan. Sisanya dipindahkan ke lembaga konservasi lain, termasuk ke Gembira Loka Zoo, kebun binatang di Kota Yogyakarta.

Beruntung, WRC berhasil mendapatkan bentangan tanah baru. Lokasinya di Kecamatan Kalibawang, masih di Kabupaten Kulon Progo. Jaraknya sekitar 40 menit perjalanan ke utara dari lokasi lama.

Rencananya, fasilitas baru ini akan mulai beroperasi beberapa tahun ke depan.

“Saya rindu turun langsung ke lapangan dan beraktivitas dengan satwa,” kenang Tojeiro.

Tojeiro Spijkstra di markas WRC. Saat ini, dia satu-satunya orang yang tinggal di PPS Kecamatan Pengasih. | Foto: Aditya/Garda Animalia
Tojeiro Spijkstra di markas WRC. Saat ini, dia satu-satunya orang yang tinggal di PPS Kecamatan Pengasih. | Foto: Aditya/Garda Animalia

Kura-Kura dan Binturong: Langkah Baru WRC

Selama masa transisi, WRC juga merumuskan program konservasi yang lebih mutakhir.

Tidak hanya bergumul dengan kegiatan penyelamatan dan rehabilitasi satwa secara umum, mereka juga berencana melaksanakan proyek-proyek untuk kelestarian spesies terancam punah.

Salah satunya adalah bagi spesies kura-kura air tawar paling besar di Asia Tenggara, kura-kura bajuku (Orlitia borneensis).

Kura-kura ini juga dikenal sebagai kura-kura byuku, kura-kura sungai raksasa, atau Malaysian giant turtle. Panjang spesiesnya bisa mencapai 0,8 meter dan beratnya sampai 50 kilogram.

Di Indonesia, kura-kura bajuku terdapat di bagian dataran rendah Kalimantan dan pesisir timur Sumatra. Walaupun habitatnya luas, tetapi spesies ini umumnya hanya dapat ditemukan di dalam taman nasional saja.

Sejak 2018, International Union for Conservation of Nature (IUCN) mendeklarasikan kura-kura bajuku sebagai spesies kritis (critically endangered).

Dalam kurun tiga generasi, jumlahnya jadi tinggal 80 persen dari jumlah awal.

Penyebab utamanya, daging kura-kura ini digemari oleh pasar Asia Timur. Harganya bisa menembus ratusan ribu rupiah per kilogram.

Dengan beratnya yang bisa mencapai setengah kuintal, satu ekor kura-kura bajuku bisa sampai diborong jutaan rupiah.

Walaupun pemerintah mengategorikan spesies itu sebagai satwa dilindungi lewat Permen LHK Nomor P.106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, perdagangan ilegal daging kura-kura bajuku ditengarai masih terjadi.

Pada 2020, misalnya, perdagangan ilegal kura-kura bajuku di Kalimantan Barat melalui Facebook diekspos oleh organisasi Alliance Kalimantan Animals Rescue.

Sekitar 17 tahun sebelumnya, WRC juga mendapatkan 19 ekor kura-kura bajuku hasil sitaan usaha penyelundupan.

Tojeiro bercerita, setiap kali dia melintasi kandang rehabilitasi kura-kura bajuku, mereka langsung melompat masuk ke dalam air, bahkan sampai menyusup masuk ke dalam endapan lumpur di dasar kolam.

“Lumpurnya bisa sedalam ini,” katanya sembari melintangkan lengan di dada.

Tojeiro menganggap sifat penakut mereka sebagai perilaku yang baik. Hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak terbiasa melihat manusia, sifat yang memang semestinya dimiliki satwa liar.

Kesuksesan WRC dalam mengonservasi kura-kura bajuku tidak hanya terbilang dari munculnya sifat alami mereka di kandang rehabilitasi. Setelah 20 tahun konservasi, satwa dilindungi tersebut juga berkembang biak sampai populasinya berlipat ganda.

Pendataan terakhir mencatat jumlah kura-kura bajuku di fasilitas WRC mencapai 40 ekor. Karena kesuksesan inilah, WRC membuat program fokus pengembangbiakan kura-kura bajuku.

Seorang petugas WRC sedang memindahkan kura-kura bajuku dari satu kolam ke kolam lain. | Foto: Dokumentasi WRC
Seorang petugas WRC sedang memindahkan kura-kura bajuku dari satu kolam ke kolam lain. | Foto: Dokumentasi WRC

“Kita mau membangun koloni jaminan ke kura-kura ini lewat conservation breeding. Hasilnya murni untuk dirilis, direintroduksi,” kata salah satu Executive Board WRC Irhamna Putri Rahmawati atau yang akrab disapa Irna.

Investigasi Perdagangan Beo Nias di Pasar Burung Sukahaji dan Facebook

Irna menjelaskan, koloni jaminan merupakan populasi satwa di luar habitat asli yang menjadi jaminan bagi spesies yang populasinya terancam. Seluruh individu pada koloni jaminan nantinya akan dilepasliarkan.

Dia mengatakan, WRC saat ini sedang mendesain program di habitat reintroduksi potensial di Pulau Belitung, Provinsi Bangka Belitung.

Selain merupakan salah satu wilayah distribusi alami kura-kura bajuku, Irna menjelaskan bahwa di Pulau Belitung juga terdapat satu komunitas nelayan yang sadar dengan keterancaman populasi satwa tersebut.

Sampai fasilitas WRC di Kalibawang efektif beroperasi, seluruh kura-kura bajuku yang dirawat oleh WRC sedang berada di Gembira Loka Zoo.

“Jadi kita co-manage populasi itu bareng [Gembira Loka Zoo]. Nanti, ketika lokasi kita siap, harapannya beberapa akan ada yang kembali ke kita untuk dikembangbiakkan,” jelas Irna.

Selain pengembangbiakan kura-kura, WRC juga akan fokus menggeluti riset genetik binturong (Arctictis binturong) untuk menunjang kegiatan rehabilitasi. Kebetulan Irna juga turut aktif dalam riset identifikasi subspesies binturong di Indonesia.

“Kita sudah memetakan di Indonesia itu ada beberapa subspesies [binturong]. Yang belum kita tahu adalah metode rehabilitasinya. Asesmen dia bisa lepas liar itu apa aja karakternya, kriterianya,” kata Irna.

Sisanya, WRC akan tetap melakukan kerja-kerja konservasi yang sama dengan dahulu: menyelamatkan satwa yang mengalami masalah, merehabilitasi mereka, dan berharap satwa tersebut bisa dilepasliarkan di habitat asli mereka masing-masing.

Tantangan Administrasi dan Birokrasi

Namun, jangan kira merawat satwa adalah hal yang mudah, apalagi di Indonesia.

Konservasi bukan cuma memberi pakan, mengecek kesehatan, dan melepasliarkan satwa. Urusan satwa baru setengah perjalanan.

Setengahnya lagi adalah pergulatan dengan urusan administrasi: mengetik berita acara, menyodorkan perizinan, menunggu surat rekomendasi.

WRC pun perlu melimpahkan banyak waktu untuk mengurus hal-hal tersebut. Ganjalan administrasi bahkan pernah sampai membahayakan satwa yang sedang dalam proses rehabilitasi genting.

Salah satu kasusnya terjadi ketika WRC baru saja mendapatkan satu individu elang hasil sitaan penyelundupan. Kemudian, mereka melakukan pengecekan kesehatan jika ada penyakit menular yang menjangkit elang tersebut.

Ketika akan mengirimkan sampel untuk diagnosis, mereka masih harus berkutat dengan urusan dokumen bernama Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri (SATS-DN).

SATS-DN merupakan dokumen yang wajib dipegang oleh pihak mana pun yang ingin melakukan transportasi individu, bagian tubuh, bahkan material genetik satwa liar.

“Kirim sampel untuk tujuan diagnosis itu harus ada SATS-DN, dan itu berbayar. Satu lembar itu 35 ribu,” terang Irna.

Irna sempat menegaskan kepada pihak pemerintah bahwa aktivitas seperti pengiriman sampel untuk diagnosis tidak boleh dipersulit, apalagi aktivitas tersebut merupakan hal yang mendesak dalam konteks penyelamatan satwa.

Irna (kiri) sedang melakukan pencatatan untuk riset genetik binturong. | Foto: Dokumentasi WRC
Irna (kiri) sedang melakukan pencatatan untuk riset genetik binturong. | Foto: Dokumentasi WRC

Itu baru perihal administrasi. Beda lagi perihal birokrasi.

Menurut Irna, hal lain yang menjadi tantangan dalam kerja penyelamatan satwa adalah koordinasi dengan badan-badan pemerintah lain yang tidak memiliki pengetahuan khusus mengenai penanganan satwa liar.

Kondisi yang umum terjadi adalah ketika satwa disita sebagai barang bukti.

“Belum tentu [penegak hukum] itu paham kalau hewan yang dibawa ke pengadilan untuk verifikasi justru malah membahayakan, memberikan potensi penyebaran penyakit, atau berdampak ke welfare hewan itu sendiri,” jelas Irna.

Hal tersebut berkaitan dengan luputnya kebijakan pemerintah yang mengatur koordinasi penyelamatan satwa antarbadan pemerintah secara rinci.

Ini berdampak pada perbedaan perspektif antara aparat penegak hukum yang melihat satwa sebagai barang bukti dan pegiat konservasi yang melihatnya sebagai makhluk hidup.

Walhasil, kerap ada kasus seperti burung sitaan yang dipaksa tetap berada di dalam botol penyelundupan sebagai barang bukti, alih-alih segera dilepaskan untuk proses penyelamatan.

Resah akibat luputnya peraturan ini, Irna pun sempat terlibat dalam perumusan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang mengatur tentang penyelamatan satwa.

Setelah usaha panjang, dokumen itu dikukuhkan dalam SOP Dirjen KSDAE Kementerian LHK Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelamatan Satwa Liar Hidup Temuan, Sitaan, dan Rampasan Hasil Penegakan Hukum.

Jalan Panjang Konservasi

Kekhawatiran Irna terhadap masalah administrasi dan birokrasi berkelindan dengan cita-citanya membangun proyek-proyek di fasilitas baru kelak.

Jika WRC ingin melaksanakan pengembangbiakan konservasi kura-kura bajuku, mendesain lokasi reintroduksi satwa, maupun mendalami riset rehabilitasi binturong, mereka mau tak mau perlu berjuang di medan administrasi dan birokrasi.

Tojeiro yang jauh-jauh datang dari Belanda pun sempat syok saat pertama kali terjun langsung di kegiatan konservasi Indonesia yang sesak dengan surat menyurat.

“Pertama kali datang ke sini, saya merasa gila mengurus dokumen. Hal kecil yang perlu dikerjakan oleh satu orang perlu menunggu keputusan sepuluh orang dahulu. Masalahnya, belum tentu sepuluh orang itu sepakat,” ujar Tojeiro.

Masalah ini juga hadir bersamaan dengan minimnya pengetahuan publik terhadap bentuk-bentuk organisasi konservasi satwa yang ada di Indonesia.

Umumnya, publik sekadar tahu lembaga konservasi umum seperti kebun binatang, taman safari, dan museum zoologi yang punya unsur komersial.

Menurut Irna, lembaga-lembaga tersebut punya peran krusial dalam koridor edukasi masyarakat.

Namun, kegiatan rehabilitasi satwa yang diperjuangkan oleh WRC dan LK Khusus lainnya juga merupakan tubuh utama pelestarian satwa, apalagi mengingat Indonesia masih sangat empuk digerogoti para oknum perdagangan satwa ilegal.

“Penyelamatan dan penyitaan satwa itu baru sepersekian kecil dari konservasi. Masih panjang banget jalannya setelah itu,” tegas Irna.

5 3 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments