Menjarah
Menjarah
Menjarah
Opini

Mengapa Kita Masih Gagal Melindungi Kelestarian Alam?

2763
×

Mengapa Kita Masih Gagal Melindungi Kelestarian Alam?

Share this article
Mengapa Kita Masih Gagal Melindungi Kelestarian Alam?
Ilustrasi kerusakan alam. Foto: Lampung Media

Gardaanimalia.com – Di bawah terik matahari di pengujung musim panas yang tidak menentu ini, Sumini diam terpaku mengepit kedua tangan di antara lutut. Ia menyaksikan satu per satu pohon yang mengisut bersamanya bergiliran tumbang tergolek menemui ajal. Akar-akar kuat tercabut dari genggamannya yang menghunus jauh ke jantung tanah. Sorotan mata bersiap memberi aba-aba tanda dimulainya pertunjukkan orkestra sekelompok perangai-perangai hamba titahan sang dirigen, dengan dipandu kepasifan tuan mandor menyiratkan ketenangan yang mengerikan.

Pekingan sinso mengalun perlahan namun pasti merenggut hidup sang pohon berbalas guruhan monoton mesin pengeruk yang turut peran mengatur larik irama disusul cucuran keringat hitam yang jatuh membekas menciptakan simfoni singkat, kini, kanopi-kanopi lebat yang rimbun itu telah tiada. Pembabatan hutan dan alih fungsi lahan yang masif dilakukan oleh kapitalisme mencuatkan kembali. Kegagalan demi kegagalannya dalam mengatasi krisis lingkungan yang kian hari makin merisaukan.

Sepenggal potret keadaan yang telah kita ketahui kebenarannya niscaya akan dan tengah terjadi pada saat ini memperlihatkan bahwa manusia aktif mengubah bentang alam untuk memenuhi kebutuhan hidup. Berawal dari usaha perekayasaan alat produksi guna meringankan pekerjaan dan efisiensi terhadap kerja manusia, memicu peralihan corak produksi yang mulanya didasarkan pada tenaga kerja hewan dan manusia lalu berganti menjadi tenaga mesin. Sehingga, barang yang dihasilkan pun dapat berjumlah banyak dengan memangkas waktu produksi lebih cepat.

Perubahan berkembang pesat semenjak revolusi industri pada periode tahun 1790 silam yang kemudian berpengaruh bagi sosial politik dan ekonomi. Hal ini menjadi sebuah titik pijak meningkatnya aktivitas industri yang tidak terkendali dalam mengeruk, mengolah dan mendistribusikan sumber daya alam secara eksploitatif. Mengapa demikian? Seperti dua kutub berbeda namun terpaut satu sama lain untuk melakukan industrialisasi dibutuhkan kecukupan modal yang tidak sedikit maka kapitalis hadir di dalamnya.

Kapitalisme memfokuskan diri pada orientasi laba yang tindak-tanduk nya memiliki ciri khas yaitu pertumbuhan sehingga kapitalis dituntut melakukan efisiensi tenaga kerja dan pengoptimalan produktivitas pada kegiatan usahanya. Tujuannya menghasilkan pertumbuhan dari segi keuntungan laba maupun bentuk ekspansi usaha yang mengharuskan membuka pasar termasuk sumber-sumber energi baru.

Pertumbuhan tentu tidak dapat terjadi begitu saja, melainkan dalam hal ini dimungkinkannya peran serta pemerintah sebagai kepentingan untuk mendorong terjaminnya pertumbuhan tersebut. Dengan didukung melalui produk kebijakan maupun hukum manakala nantinya berdampak pada pemasukan daerah untuk peningkatan kapasitas dan pelayanan publik.

Selain itu permintaan pasar yang tinggi adalah prasyarat suatu pertumbuhan, karena selaras meningkatnya permintaan pasar maka semakin tinggi pula barang yang akan dihasilkan. Tak heran prinsip ini pun diwujudkan secara khusus dalam pola hidup yang konsumtif terhadap suatu komoditas memaksa kita untuk terus-menerus menggunakan plastik. Hingga tanpa disadari kebiasaan ini telah mengakar ke sendi-sendi kehidupan.

Baca juga: Mengenal Genus Corvus: Burung Gagak yang Cerdas dan Setia

Di saat yang bersamaan dengan terdongkraknya suatu kegiatan produksi menyebabkan kebutuhan untuk memenuhi permintaan pasar semakin melonjak. Oleh sebab itu agar tungku besi tetap mengepul sumber energi fosil tak terbaharukan pun menjadi pilihan utama dan memainkan peran dominan seperti batu bara, minyak dan gas selain murah tentu dapat menekan ongkos produksi.

Pada tahun 2019 sekitar 84% energi primer berasal dari batubara, minyak dan gas tentu penggunaan bahan bakar fosil ini merupakan pemicu naik nya suhu bumi. Di saat kegiatan tersebut menghasilkan gas emisi terutama Karbondioksida (CO2) lalu lepas dan terperangkap di lapisan atmosfer yang paparannya semakin terus-menerus memanaskan bumi melalui proses yang sering kita sebut efek rumah kaca. Merujuk data Global Carbon Project sejak tahun 1751, dunia telah mengeluarkan lebih dari 1,5 triliun ton CO2 dan Amerika Serikat bertanggung jawab atas 25% emisi CO2 yang hingga saat ini menghasilkan sekitar 400 miliar ton sejak tahun 1751.

Lantas jika emisi ini tetap berlanjut maka lebih 80% gletser akan mencair pada akhir abad ini yang menyebabkan muka air laut meningkat. Tentu hal tersebut adalah efek domino dari timbulnya dampak signifikan yang berimplikasi tidak seimbangnya ekosistem kehidupan, naiknya suhu dan permukaan air laut, yang dalam 50 tahun terakhir 3 kali lebih cepat serta perubahan iklim.

Fenomena ini pun mengancam nasib makhluk hidup di muka bumi termasuk satwa liar. Mereka tersingkir dan lalu punah satu per satu. Sebut saja burung kenari (canary). Spesies ini umum dipergunakan sebagai sistem peringatan dini penanda adanya gas beracun pada wilayah penambangan batu bara karena jenis burung ini yang cukup peka terhadap gas dan dapat mati lebih cepat jika  karbon monoksida, metana atau karbondioksida melebihi ambang batas muncul di dalam penambangan.

Satwa sebagai indikator terhadap perubahan lingkungan dapat memberikan banyak petunjuk letak penyebab kerusakan alam melalui perilaku dan menurunnya populasi yang menjadi peringatan bagi kita. Contoh lainnya adalah burung laut yang merupakan salah satu predator tingkat atas. Burung ini setiap tahunnya bermigrasi melakukan perjalanan antara Kutub Utara dan Antartika untuk mencari makan dan berkembang biak. Dalam perjalanan jarak jauh inilah burung laut memakan plankton dan ikan. Dengan demikian, dapat menyerap sinyal tentang kondisi laut, efek polusi dan pemanasan laut.

Harus kita ketahui peran penting predator tingkat atas sebagai pengendali ekosistem adalah kemampuan untuk mengontrol populasi jenis hewan lain agar tidak melewati daya dukung lingkungan. Dengan kata lain jika predator tingkat atas ini punah di alam maka akan berujung pada kerusakan ekosistem secara menyeluruh.

Sederet temuan-temuan tersebut menepis anggapan bahwa fenomena yang terjadi akhir-akhir ini lebih disebabkan oleh faktor alam. Maka peralihan energi fosil menuju energi terbaharukan ramah lingkungan patut segera dilakukan. Akankah Sumini hanya mampu menyaksikan kenestapaan di depan mata tanpa mampu berpartisipasi di dalamnya?

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Seekor harimau (Panthera tigris) sedang beristirahat di kandangnya di Medan Zoo. | Foto: Dok. Wildlife Whisperer of Sumatra
Opini

Gardaanimalia.com – Wali Kota Medan Bobby Nasution punya rahasia. Rahasia itu berhubungan dengan keputusannya menutup Medan Zoo pasca-insiden…