Gardaanimalia.com – September dini hari (06/09/2021), sebuah Inova hitam dihadang polisi ketika akan keluar dari gerbang tol utara Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan. Tumpukan kotak buah memenuhi seluruh bagian mobil. Namun, isi kotak itu bukanlah buah-buahan segar. Dia dijejali oleh 2.440 ekor burung liar. Gelatik batu, murai mancur, kepodang, hingga burung pelatuk dikurung dalam wadah-wadah sempit untuk diselundupkan ke Tangerang.[1]Novi, S.C. 2021. “Selundupkan Ribuan Burung ke Pulau Jawa, 2 Pelaku Ditangkap”. Garda Animalia. Diakses dari https://gardaanimalia.com/selundupkan-ribuan-burung-ke-pulau-jawa-2-pelaku-ditangkap/ … Continue reading[2]Immanuel. 2021. “Tim Gabungan Gagalkan Penyelundupan Ribuan Ekor Burung Tanpa Dokumen Asal Pekanbaru”. Kupas Tuntas. Diakses dari … Continue reading
Ini bukan pertama kalinya penyelundupan burung berhasil diringkus di Bakauheni, Lampung. Sebulan sebelumnya (01/08/2021), dalam sebuah mobil Daihatsu Xenia, pada kotak-kotak buah yang sama, 1.250 ekor burung hampir berhasil diselundupkan untuk diperjualbelikan di Solo.[3]Tim Pembela Satwa Liar. 2021. “2 Pelaku Penyelundupan Ribuan Burung di Pelabuhan Bakauheni Diamankan”. Garda Animalia. Diakses dari … Continue reading Lompat lagi satu bulan sebelumnya, 3.726 ekor burung diselamatkan dari usaha penyelundupan yang serupa.[4]Administrator. 2021. “Illegal smuggling of 3726 birds on the way to Java successfully thwarted”. FLIGHT. Diakses dari … Continue reading Dermaga ini seakan-akan menjadi jalur sutra untuk menyelundupkan burung-burung ilegal yang datang dari Sumatera dan Semenanjung Malaysia menuju Jawa.[5]Jaya, T.P. 2020. “Lampung “Jalur Sutra” Penyelundupan Burung Kicau dari Sumatera ke Jawa”. Mongabay. Diakses dari … Continue reading
Jalur sutra kedua adalah Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Pelabuhan ini terkenal menjadi pintu bagi burung-burung ilegal yang dibawa dari Indonesia bagian timur. Meringkus penyelundupan burung liar juga menjadi hari-hari biasa bagi petugas Tanjung Priok. Salah satu kasus terbaru terjadi pada Agustus 2021, ketika petugas Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok menyita sepuluh boks berisi burung kacer borneo dan murai kiriman dari Pontianak dengan total harga Rp 60 juta.[6]Administrator. 2016. “Petugas Karantina Gagalkan Penyelundupan Burung Senilai Rp. 60jt di Pelabuhan Tanjung Priok”. Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok Diakses dari … Continue reading
Pelabuhan Bakauheni dan Pelabuhan Tanjung Priok hanyalah dua dari banyak jalur yang digunakan para oknum untuk menyelundupkan burung ke Pulau Jawa. Bisnis ilegal ini memiliki sistem jaringan komunikasi dan transportasi yang kompleks. Chng dan Eaton (2016) mengilustrasikan dengan baik jaringan kompleks ini (Gambar 1).[7]Chng, S.C.L., dan Eaton, J.A. 2016. In the Market for Extinction: Eastern and Central Java. Petaling Jaya, Selangor: TRAFFIC, 98 hal.
Jawa: Surga bagi Pecinta Burung, Neraka bagi Burung yang ‘Dicintai’
Ribuan burung yang dilaporkan berita-berita di atas merupakan irisan kecil yang berhasil diselamatkan. Sisanya akan berakhir pada kurungan kecil di lorong-lorong sempit Pasar Pramuka, Pasar Turi, atau pasar-pasar burung lainnya yang umum ditemukan di seluruh penjuru Pulau Jawa. Sebagian burung akan dibeli oleh kolektor, tidak jarang juga ada yang diterlantarkan atau diabaikan hingga mati di koridor pasar.
Jika berbicara tentang transaksi burung liar, Jawa adalah ibu kota dunia. Penelitian oleh Marshall dkk. (2020) melaporkan terdapat 74.321.000 ± 8.490.000 ekor burung yang dipelihara di Pulau Jawa per tahun 2018. Angka ini sama dengan satu ekor burung kurungan untuk setiap dua orang penduduk Pulau Jawa atau dua ekor burung kurungan untuk setiap keluarga.[8]Marshall, H., Collar, N.J., Lees, A.C., Moss, A., Yuda, P., Marsden, S.J. 2020. “Spatio-temporal dynamics of consumer demand driving the Asian Songbird Crisis”. Biological Conservation. 241: … Continue reading
Kecintaan penduduk Pulau Jawa mengurung burung-burung salah satunya berakar pada budaya Jawa yang melihat kepemilikan burung peliharaan sebagai salah satu prasyarat dari sebuah keluarga Jawa yang berada.[9]EAZA Silent Forest. 2017. Asian Songbird Crisis Campaign InfoPack 2017-2019. Asian Songbird Crisis Silent Forest.EAZA 40 hal. Chng dkk. (2015) mengutip sebuah pepatah Jawa yang berkata, “seseorang baru dianggap sebagai laki-laki sejati jika dia memiliki sebuah rumah, seorang istri, seekor kuda, sebilah keris, dan seekor burung”.[10]Chng, S.C.L., Eaton, J.A., Krishnasamy, K., Shepherd, C.R., Nijman, V. 2015. In the Market for Extinction: An inventory of Jakarta’s bird markets. Petaling Jaya, Selangor: TRAFFIC, 40 hal.
Gambar 2b memperlihatkan meningkatnya kepemilikan burung seiring dengan mengentalnya pengaruh kultur Jawa. Provinsi Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Timur berdiri sebagai konsumen tertinggi.[8]
Gambar 2b juga menunjukkan bahwa warga kota (batang abu-abu) lebih cenderung memiliki burung peliharaan dibandingkan dengan warga desa (batang hitam). Ini disebabkan karena akses kota ke pasar burung lebih mudah dan pendapatan orang kota lebih tinggi.[11]Marshall, H., Collar, N.J., Lees, A.C., Moss, A., Yuda, P., Marsden, S.J. 2020. “Spatio-temporal dynamics of consumer demand driving the Asian Songbird Crisis”. Biological Conservation. 241: … Continue reading Dengan meningkatnya laju urbanisasi penduduk Jawa, jumlah burung yang dipelihara juga berpotensi untuk meningkat.
Mayoritas burung-burung ini datang dari seberang barat Jawa, khususnya Sumatra dan Semenanjung Malaysia. Burung kicau merupakan jenis favorit untuk diselundupkan. Burung kicau semakin terkenal di Jawa seiring dengan naiknya popularitas kontes kicau burung, khususnya bagi penduduk Jawa bagian barat.[12]Marshall, H., Collar, N.J., Lees, A.C., Moss, A., Yuda, P., Marsden, S.J. 2020. “Spatio-temporal dynamics of consumer demand driving the Asian Songbird Crisis”. Biological Conservation. 241: … Continue reading Pada tahun 2019-2020, setidaknya satu juta burung kicau berhasil diselundupkan dari Sumatra.[13]Silalahi, M. 2020. “The deadly trapping of songbirds in Indonesia”. Earth Journalism Network. Diakses dari https://earthjournalism.net/stories/the-deadly-trapping-of-songbirds-in-indonesia pada 8 … Continue reading Di antaranya terdapat spesies-spesies burung kicau yang dilindungi seperti cicadaun sayap biru (Chloropsis cochinchinensis), tangkar ongklet (Platylophus galericulatus), dan serindit melayu (Loriculus galgulus).
Saking maraknya kasus penyelundupan burung kicau ini, dia sampai diberi nama sendiri, yaitu Krisis Burung Kicau Asia (Asian Songbird Crisis). Bukan hanya nama, bahkan dua konferensi, Asian Songbird Crisis Summit pertama dan kedua, sudah dilakukan untuk membahas parahnya penyelundupan burung kicau liar ke dalam maupun menuju luar Indonesia.[14]Lee, J.G.H., Chng, S.C.L., Eaton, J.A. (ed). 2016. “Conservation strategy for Southeast Asian songbirds in trade”. Recommendations from the First Asian Songbird Trade Crisis Summit 2015. Jurong … Continue reading[15]Chng, S.C.L., Eaton, J.A., Miller, A.E. 2017. “Second South-East Asian Songbird Crisis Summit”. TRAFFIC Bulletin, 29(1): 1-6.
Sebagai konsumen terbesar, Pulau Jawa adalah tokoh antagonis utama krisis ini. Pulau Jawa bukan sekadar importir. Dia juga punya produk-produk lokalnya sendiri. Spesies seperti murai batu (Copsychus malabaricus), jalak putih (Acridotheres melanopterus), dan cekakak jawa (Halcyon cyanoventris) ditangkap dari habitatnya untuk diperjualbelikan dengan harga tinggi. Sebagai contoh, seekor jalak putih dapat dihargai hingga Rp 2.250.000 di pasar-pasar burung Surabaya.[16]Chng, S.C.L., dan Eaton, J.A. 2016. In the Market for Extinction: Eastern and Central Java. Petaling Jaya, Selangor: TRAFFIC, 98 hal.
Sebagian besar burung yang diselundupkan berakhir di pasar burung. Lokasi ini merupakan titik utama bisnis perdagangan burung liar dan dilindungi. Pengamatan oleh Chng dkk. (2015) menemukan lebih dari 20 ribu ekor burung yang dijual di pasar-pasar Jakarta. Pada pengamatan lain di pasar-pasar burung sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Chng dan Eaton (2017) menemukan dan menekankan kekhawatiran pada sembilan spesies burung yang dijual di sana, yaitu celepuk (Otis lempiji), kasturi ternate (Lorius garrulus), cendrawasih hitam (Epimachus fastosus), cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), poksay sumatra (Garrulax bicolor), poksay kuda (Garrulax rufifrons), kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), jalak putih (Acridotheres melanopterus), dan cica daun besar (Chloropsis sonnerati). Di antara sembilan spesies ini, poksay kuda merupakan spesies terancam punah sedangkan jalak putih merupakan spesies krisis terancam punah.
Tim Pembela Satwa Liar juga aktif melakukan investigasi pada pasar-pasar burung. Di Pasar Pramuka, Jakarta, salah satu pasar burung terbesar di Indonesia, tim menemukan masih banyak spesies burung dilindungi dijual. Burung dilindungi ini di antaranya adalah serindit jiwa, nuri baluku, perkici dora, nuri aru, nuri kelam, betet ekor panjang, tiong emas, jalak blambangan, dan gagang-bayam belang.[17]Tim Pembela Satwa Liar. 2021. “Satwa Dilindungi Dijual Terbuka di Pasar Burung Pramuka”. Garda Animalia. Diakses dari … Continue reading Pada investigasi lain, tim mengidentifikasi 14 spesies dilindungi dijual bebas di pasar burung Sukahaji, Bandung.[18]Tim Pembela Satwa Liar. 2021. “Mengungkap Sisi Gelap Perdagangan Burung Ilegal di Pasar Burung Sukahaji”. Garda Animalia. Diakses dari … Continue reading
Pasar-pasar Burung, Makam-makam Burung
Pada tanggal 2 Desember 2015, 2.711 ekor burung disita di Pelabuhan Tanjung Priok. Di antara semua burung itu, hanya 308 individu (11%) yang berhasil dikembalikan ke Kalimantan Timur. Sebanyak 1.192 burung lainnya mati di perjalanan karena dehidrasi, kekurangan gizi, stres, dan kekurangan ruang gerak dalam pengiriman. Sisanya terlalu sakit untuk bisa diselamatkan, jangankan untuk dilepaskan ke alam liar. Burung-burung yang sakit rencananya, dalam bahasa Chng dan Eaton sendiri, akan dimusnahkan.[19]Chng, S.C.L., dan Eaton, J.A. 2016. In the Market for Extinction: Eastern and Central Java. Petaling Jaya, Selangor: TRAFFIC, 98 hal.
Banyak observasi menunjukkan tingginya tingkat mortalitas burung-burung liar yang ditangkap. Shepherd dkk. (2004) menemukan beberapa spesies burung seperti bondol (Lonchura sp.) menderita tingkat mortalitas setinggi 50% dalam kurun waktu 24 jam pasca penangkapan.[20]Shepherd, C.R., Sukumaran, J., Wich, S.A. 2004. Open Season: An analysis of the pet trade in Medan, Sumatra 1997-2001. Petaling Jaya, Selarong, 67 hal. Ini berarti, setengah dari seluruh burung bondol yang ditangkap sudah mati bahkan sebelum sampai ke pasar.
Dalam bisnis ini, burung adalah barang. Kejahatan terhadap nyawa-nyawa burung tidak hanya terjadi saat kegiatan penyelundupan, tapi juga di pasar-pasar ketika burung dipajang untuk diperjualbelikan.
Ini merupakan beberapa contoh kejahatan yang teramati di pasar-pasar burung. Banyak burung cica daun besar (Chloropsis sonnerati) sudah kehilangan pigmen hijaunya karena burung itu tidak diberi pangan kaya karotenoid yang mereka dapatkan di alam liar. Banyak juga burung-burung migrasi seperti kedasi australia (Chrysococcyx basalis) yang dikurung dan tidak mampu melakukan siklus migrasinya lagi.[21]Chng, S.C.L., dan Eaton, J.A. 2016. In the Market for Extinction: Eastern and Central Java. Petaling Jaya, Selangor: TRAFFIC, 98 hal. Burung lain, seperti bondol peking (Lonchura punctulata) disemproti oleh cat warna agar terlihat lebih menarik. Setidaknya 30% dari seluruh burung bondol peking mati atau sekarat dalam hitungan menit.[22]Chng, S.C.L., dan Eaton, J.A. 2016. In the Market for Extinction: Eastern and Central Java. Petaling Jaya, Selangor: TRAFFIC, 98 hal.[23]Chng, S.C.L., Eaton, J.A., Krishnasamy, K., Shepherd, C.R., Nijman, V. 2015. In the Market for Extinction: An inventory of Jakarta’s bird markets. Petaling Jaya, Selangor: TRAFFIC, 40 hal. Ini belum menghitung jumlah burung yang mati karena faktor lain seperti dehidrasi dan stres. Belum lagi ditambah dengan ruang gerak yang sangat sempit.
Semua hal ini sangat mengkawatirkan karena sangat mungkin spesies-spesies dilindungi juga tidak terhindar dari perlakuan-perlakuan serupa. Burung-burung terancam punah yang harusnya dilindungi dengan ketat justru dikurung dalam sangkar kecil dan diberi pangan yang tidak layak. Kegiatan ini menjadi katalis ampuh dalam mempercepat kepunahan banyak spesies.
Sebelum menjadi mitos dan lambang negara, bisa jadi dahulu burung garuda benar-benar ada. Tapi dia punah karena terlalu banyak dijerat, ditangkap, dan diselundupkan. Mungkin spesies terakhirnya mati kehausan di salah satu kios Pasar Pramuka.
Referensi