Menjarah
Menjarah
Menjarah
Liputan Khusus

Menjenguk Bayi-Bayi Primata Jawa di The Aspinall Foundation

2859
×

Menjenguk Bayi-Bayi Primata Jawa di The Aspinall Foundation

Share this article
Dokter hewan dan keeper The Aspinall Foundation tengah memberi susu ketujuh bayi primata secara bergantian. | Foto: Putri Nur Aisyah
Dokter hewan dan keeper The Aspinall Foundation tengah memberi susu ketujuh bayi primata secara bergantian. | Foto: Putri Nur Aisyah

Gardaanimalia.com – Indonesia menjadi rumah bagi 40 dari 200 jenis primata di seluruh dunia. Itu artinya, hampir 25 persen jenis primata merupakan bagian dari kekayaan alam Indonesia.[1]https://www.mongabay.co.id/2019/01/31/selamat-hari-primata-selamatkan-dari-perburuan/

Sayangnya, 70% di antaranya menghadapi ancaman kepunahan akibat kerusakan habitat maupun perdagangan ilegal.
Termasuk tiga primata endemik Pulau Jawa yaitu owa jawa (Hylobates moloch), lutung jawa (Trachyphitecus auratus), dan surili (Presbytis comata). Ketiga satwa tersebut telah dilindungi oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 Tahun 2018.

pariwara
usap untuk melanjutkan

The International Union for Conservation of Nature Red List mencatat status owa jawa dan surili sebagai satwa endangered (terancam), sedangkan lutung jawa sebagai satwa vulnerable (rentan).

Ketiganya mengalami penurunan jumlah populasi akibat ancaman yang sama, yaitu perdagangan ilegal. Mereka kerap diperjualbelikan untuk dipelihara atau bahkan untuk dijadikan konten penyiksaan satwa, termasuk pada bayi-bayi mereka.

Mereka yang berhasil diselamatkan pihak berwenang, dikirim ke The Aspinall Foundation, pusat rehabilitasi primata endemik jawa yang terletak di Ciwiday, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Kira-kira apa saja upaya yang The Aspinall Foundation lakukan untuk menyelamatkan mereka? Mari kita jenguk mereka di klinik perawatan intensif bayi-bayi primata jawa di The Aspinall Foundation!

Bayi Primata Jawa

Seekor bayi lutung jawa bernama Amar sedang diperkenalkan dengan pakan alaminya yaitu daun muda. | Foto: Putri Nur Aisyah
Seekor bayi lutung jawa bernama Amar sedang diperkenalkan dengan pakan alaminya yaitu daun muda. | Foto: Putri Nur Aisyah

Sebagai satwa arboreal yang lebih banyak menghabiskan waktu di atas pohon dibanding di tanah, bayi lutung tidak akan lepas dari dekapan induk mereka, setidaknya hingga mereka berusia satu tahun.

“Itu artinya mereka diambil paksa dari induk mereka, para pemburu ini harus membunuh induknya supaya bisa membawa pergi bayinya,” papar dokter Ristanti, salah satu dokter hewan yang bertugas di The Aspinall Foundation.

Dokter Tanti menjelaskan tingginya kasus perdagangan, perburuan, dan pemeliharaan satwa ilegal menjadi ancaman serius bagi kelestarian primata jawa ini. Mereka bisa dibeli dengan mudah di pasar hewan bahkan di platform media sosial seperti Facebook.

“Biasanya dijual dengan harga Rp300.000 sampai Rp500.000, dan itu murah sekali. Tapi meski dibayar mahal sekalipun, sama sekali tidak ada harga yang layak untuk membayar kelestarian satwa-satwa ini di alam liar,” ujarnya.

Bayi-bayi yang baru datang akan langsung ditempatkan di klinik untuk menerima perawatan intensif. Mereka biasanya datang dalam keadaan rentan, entah kedinginan, malnutrisi, atau dengan tingkat stres yang tinggi.

“Periode rentan tersebut biasanya berlangsung antara dua hingga tiga minggu pascakedatangan mereka. Jika penanganannya tidak tepat dan tidak cepat, mereka bisa mati,” lanjut dokter Tanti.

Selanjutnya, mereka akan melakukan rangkaian pemeriksaan mulai dari penimbangan berat badan, diukur pertumbuhannya, hingga pengecekan feses dan urin untuk mengetahui kondisi kesehatannya. Setiap pagi, bayi-bayi ini juga akan dibawa ke luar klinik untuk berjemur.

Sama seperti bayi manusia, bayi primata harus diberi minum susu setiap dua jam sekali. Keeper dan dokter hewan di The Aspinall Foundation juga akan memperkenalkan bayi primata dengan pakan asli agar mereka tidak merasa asing saat dilepasliarkan kelak.

Tim The Aspinall Foundation juga mengajak bayi-bayi tersebut untuk bermain di kandang yang lebih luas. Mereka juga akan mengajarkan bayi primata memanjat pohon atau bergelantungan. Beberapa bayi yang belum berpengalaman bahkan akan berteriak ketakutan saat berdiri di atas dahan pohon.

“Kasihan kan, karena biar bagaimanapun perawatan dan pembelajaran terbaik datangnya dari induk mereka, di habitat asli mereka,” lanjutnya.

Saat ini, The Aspinall Foundation merawat tujuh ekor bayi primata jawa, enam ekor diantaranya adalah bayi lutung jawa dan satu ekor lainnya adalah bayi owa jawa. Keenam bayi lutung tersebut diberi nama Priya, Amar, Manta, Berlin, Dewo, dan Warna. Sedangkan sang bayi owa diberi nama Kresna.

Proses Rehabilitasi

"Owa

Satwa yang datang ke pusat rehabilitasi ini akan menjalani serangkaian proses rehabilitasi yang kompleks. Primata berusia dewasa yang baru datang akan menjalani proses karantina terlebih dahulu, proses ini berlangsung paling tidak selama tiga bulan.

Kemampuan mereka dalam beradaptasi baik terhadap lingkungan, pakan, dan perilaku akan dinilai selama proses karantina. Satwa yang menjadi korban perdagangan biasanya kehilangan insting liar mereka, karena itu proses adaptasi sangat penting untuk dilakukan.

“Mereka harus mulai adaptasi dengan lingkungan baru yang minim interaksi dengan manusia,” papar dokter Tanti.

Satwa korban perdagangan kerap diperlakukan secara tidak semestinya, mulai dari ditempatkan di kandang kecil, disiksa, hingga diberi makan selayaknya manusia. Dalam kasus ekstrim, seekor owa bahkan diberi makan nasi padang dan kopi.

“Maka saat kami beri pakan yang semestinya seperti buah dan daun, nafsu makan mereka akan turun dan tidak mau makan,” lanjut dokter Tanti.

Padahal saat dilepasliarkan kelak, primata-primata ini harus bisa memakan pakan alami mereka agar dapat bertahan hidup di habitat aslinya.

Setelah proses karantina selesai, primata di The Aspinall Foundation akan menjalani proses sosialisasi. Artinya, mereka akan ditempatkan di kandang bersama kelompok mereka.

Hal ini dilakukan untuk membiasakan interaksi sesama primata. Pasalnya, selama menjadi peliharaan manusia, para primata justru jarang berinteraksi dengan sesamanya.

“Owa jawa dewasa akan diletakkan di kandang berpasangan karena mereka adalah satwa monogami. Sedangkan lutung akan diletakkan secara berkelompok agar mereka dapat berinteraksi dengan sesamanya,” jelas dokter Tanti.

Selanjutnya, jika telah memenuhi indikator tertentu untuk dilepasliarkan, mereka akan penjalani proses habituasi sebagai persiapan prarilis. Lamanya seluruh proses rehabilitasi ini bergantung dengan kondisi tiap individu, mulai dari enam bulan, bahkan hingga tiga tahun.

“Proses ini jelas memakan tenaga, waktu, dan materi yang tidak sedikit. Oleh karena itu jangan kalian pelihara satwa liar. Memelihara satwa liar sama seperti menculik mereka dari alam,” tutupnya.

5 2 votes
Article Rating

Referensi[+]

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Burung perkici tengah bertengger di tiang besi yang disediakan oleh sang penjual di Pasar Burung Pramuka, Jakarta Timur. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia
Liputan Khusus

Gardaanimalia.com – Hiruk pikuk suara burung menyeruak dari kandang-kandang jeruji yang didisplai di depan-depan kios serta lapak para…