Gardaanimalia.com – Sampai maut memisahkan, ikrar para pasangan. Namun, Sekar dan Dwiki justru dipertemukan oleh kematian.
Sekar yang bermata sayu itu sebelumnya tinggal bersama suaminya di Semarang Zoo yang masih berlokasi di Tinjomoyo. Sayang, tak lama suaminya mati dan mendadak sungai di sebelah rumahnya meluap tanpa henti.
Pindahlah Sekar ke Mangkang Kulon, sebuah koridor sempit yang menjembatani metropolis Semarang dan Kendal. Di selatan rumah baru Sekar, belantara bernama Wadas Malang terbentang. Di utaranya, lautan. Di sana dia bertemu Guntur yang hampir 20 tahun lebih muda darinya.
Sekar sudah masuk umur setengah abad waktu itu, tapi usia sekadar angka. Dan begitulah, keduanya hidup bersama sampai Sekar mati–menyambangi pasangan lamanya, barangkali.
Sementara itu, Dwiki adalah pengembara tanah Sumatra. Dia hidup dalam pergerakan tanpa henti, menjelajahi sehampar padang yang orang sebut sebagai Barumun Nagari.
Dwiki sering bermain ke alam liar mencari makanan bersama rekan-rekannya. Kadang pula mereka tidur di sana. Satu hari, karena alasan yang tidak diketahui, pipi kanan Dwiki tercabik. Luka kecil. Namun, sejak hari itu Maut mengintip dari balik pepohonan dan mulai mengikutinya.
Belakangan, Dwiki berpamitan dengan rekan-rekannya di Barumun Nagari menuju Aek Nauli, sebuah pencilan di pesisir Danau Toba, untuk menyambut penjelajahan yang segar. Tak terduga, di sanalah justru Maut menyambut. Dia mengelus bekas luka itu dan Dwiki pergi seketika.
Kematian mereka terpaut dekat. Dwiki di hari Selasa, Sekar di hari Jumat pada minggu yang sama. Cara mereka bertemu Maut pun cukup serupa. Diawali dengan sakit gigi, lalu keduanya merasa tidak nafsu makan, perlahan menjadi begitu lemas, kemudian mati.
Dokter sempat merawat keduanya dengan intensif. Infus yang sampai ratusan kantung disalurkan ke dalam tubuh mereka. Keduanya tidak kunjung pulih. Setelah mati, tubuh mereka dibelah dan organnya–paru, ginjal, sampai hati–diambil untuk diperiksa. Hasilnya menunjukkan sebab yang sama: malnutrisi.
Walaupun hidup Sekar dan Dwiki dijeda jarak ratusan kilometer, kematian mereka yang beruntun dan identik membuat kisah keduanya seperti satu cerita yang menerus. Dan setiap cerita yang menerus pasti dikemudikan oleh sebuah latar belakang yang tidak terlihat, tetapi berkuasa. Ini adalah usaha menyelisik dan membaca latar belakang apa yang berkuasa terhadap kematian Sekar dan Dwiki.
Perjalanan kita menemukan latar ini akan cukup panjang. Dimulai dari anatomi gigi mamalia itu, hingga konflik rekan-rekan mereka dengan para pekebun sawit. Tetapi, tidak sulit menebak latar yang pertama: Sekar dan Dwiki, keduanya sama-sama seekor gajah sumatera.
Kuasa Anatomi
Abad ke-16, seorang Ahli Anatomi Prancis bernama Ambroise Paré menulis: “Sakit gigi, dari yang lainnya, adalah rasa sakit paling keji yang dapat menyiksa manusia, diikuti oleh (rasa sakit) kematian”.
Padahal manusia dewasa punya 32 gigi yang masing-masing tidak sampai sebesar ruas jari. Gajah, di lain sisi, punya enam. Dan hanya empat yang mereka gunakan untuk mengunyah makanan. Dua lainnya berevolusi menjadi begitu panjang hingga bisa mengeruk tanah. Kita menamainya gading untuk gajah jantan dan caling untuk gajah betina.
Empat gigi lainnya adalah geraham raksasa, satu di setiap sudut rahang. Ukurannya mencapai 30 cm dan beratnya 3 kg; mengangkatnya akan terasa seperti mengangkat bata. Geraham ini dikerubungi oleh jejaring saraf, termasuk yang mendeteksi nyeri.
Kita tidak tahu apakah nyeri sakit gigi bagi gajah berlipat ganda ketimbang sakit gigi yang kita rasakan. Yang pasti, pedihnya mampu membuat mereka enggan makan dan memilih kelaparan, layaknya Sekar dan Dwiki. Ambroise Paré mungkin tidak mampu menuliskan kata-kata untuk nyeri yang dirasakan oleh kedua gajah itu.
Setiap geraham gajah akan tanggal lima kali dan paket geraham keenam biasanya menjadi gigi yang terakhir. Setelah gigi itu aus, rusak, atau patah, gajah rentan kelaparan.
Padahal, gajah butuh asupan sepersepuluh berat tubuhnya per hari. Sekitar 200 sampai 300 kilogram pakan setiap hari. Begitu banyak, hingga hampir setengah waktu hidup mereka dihabiskan untuk makan. Puasa, bagi gajah, bisa berakibat fatal.
Sebagai penelaahan lebih rinci mengenai kondisi gigi gajah, saya berdiskusi dengan drh. Maria Ulfa, dokter hewan yang mengawasi kesehatan gajah di Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat, Bengkulu.
“Untuk penyebab dari penyakit gigi sendiri itu bervariasi. Bisa saja trauma, atau menggigit (benda keras), atau juga dari faktor usia itu sendiri,” terang Maria.
Kematian Sekar dan Dwiki diawali oleh dua muasal yang berbeda. Sekar adalah seekor gajah sepuh. Saat kematiannya, dia berusia 67 tahun. Dekat dengan rata-rata harapan hidup gajah sumatera di penangkaran, yaitu 70 tahun.[1]https://gardaanimalia.com/lagi-gajah-mati-diduga-karena-sakit-gigi/
Layaknya para lansia, organ tubuh gajah, dari hati sampai gigi, sudah tidak berfungsi dengan baik. Jika sekadar melihat faktor umur, dapat dikatakan Sekar mati pada usia yang wajar.
“Dari segi usia, semakin bertambah semakin menurun juga fungsi dari tubuh, termasuk gigi. Dari kepadatan email gigi udah berkurang juga. Kemudian, kalsium juga kan memengaruhi dari kekokohan gigi itu,” jelas Maria.
Kasus Dwiki berbeda. Usianya ketika mati adalah 43 tahun, jauh lebih muda dari Sekar. BKSDA Sumatra Utara pun menyatakan Dwiki berada dalam kondisi relatif sehat. Namun, hasil nekropsi jasadnya menunjukkan posisi gigi rahang kanan yang asimetris. Geraham bagian bawah terjangkit infeksi sehingga geraham atas yang sehat tumbuh secara tidak normal.[2]https://gardaanimalia.com/gajah-dwiki-mati-di-penangkaran-karena-infeksi-gigi/
“Memang kalau di hewan itu ada penyakit pertumbuhan gigi atau alat-alat mengunyah yang kurang sempurna. Misal, (gigi) asimetris. Gigi gajah itu kan bentuknya lebar, cuma geraham bawah geraham atas. Kalau dia asimetris, dia gak bisa melumatkan makanan dengan benar. Itu bisa jadi gangguan makan,” ujar Maria.
Padahal, mayoritas aktivitas gajah mereka habiskan dengan makan. Maria menyebutkan, makan mencakup sekitar 50 persen dari seluruh aktivitas kehidupan gajah. Ketika gigi–organ pertama yang berinteraksi dengan makanan–rusak, maka kesehatan gajah menjadi sangat rentan.
EleAid, salah satu lembaga konservasi gajah asia, menerangkan bahwa kelaparan dan malnutrisi akibat kehilangan gigi adalah faktor utama kematian gajah dewasa.[3]https://www.eleaid.com/elephant-information/elephant-teeth/
Isu Pakan di Penangkaran
Gajah tidak serta-merta mati kelaparan ketika gigi mereka rusak. Maria menerangkan, mereka akan mencari opsi makanan alternatif, misal makanan yang lebih lembut seperti buah-buahan.
Akses terhadap variasi makanan adalah kunci bagi kesejahteraan hidup gajah. Habitat alami yang sehat, seperti hutan alam dan semak belukar menyediakan opsi ini.
“Dari daya jelajah (habitat alam) pasti lebih luas. Kemudian, tempat dia cari makan lebih banyak. Mereka lebih variatif untuk mencari makanan,” jelasnya lagi.
Berbeda dengan yang terjadi di penangkaran. Walaupun memiliki tujuan konservasi, penangkaran memiliki daya jelajah dan variasi makanan yang terbatas. Ini membatasi dua faktor penting yang memengaruhi daya dukung pakan suatu wilayah, yaitu total biomassa dan keanekaragaman pakan.[4]https://www.researchgate.net/publication/330538799_Feed_Diversity_Palatability_and_Carrying_Capacity_of_Sumatran_Elephant_Elephas_maximus_sumatranus_Flying_Squad_in_Tesso_Nilo_National_Park
Hal ini, Maria menjelaskan, berhubungan dengan manajemen dari setiap lembaga konservasi. Lembaga yang memiliki dukungan finansial dan kelembagaan yang tinggi dapat mengelola habitat yang luas pada penangkaran mereka dan menyediakan pakan yang beragam.
Beberapa penangkaran bahkan mempraktikkan metode hybrid, di mana gajah dibiarkan lepas untuk mencari makan sendiri pada lahan yang dikelola lembaga konservasi. Petugas hanya perlu menyediakan asupan nutrisi yang tidak tersedia di lahan tersebut.
Umumnya, penangkaran berkapasitas besar seperti ini berada di wilayah taman nasional, seperti Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Walaupun sebagian besar luasannya telah luluh lantak oleh kebun sawit, tapi daerah di sekitar tempat penangkaran gajah jinak Elephant Flying Squad TNTN masih kaya akan pakan gajah. Di sana, gajah masih bisa digembalakan setiap hari untuk mencari makanan sendiri.[5]https://www.researchgate.net/publication/330538799_Feed_Diversity_Palatability_and_Carrying_Capacity_of_Sumatran_Elephant_Elephas_maximus_sumatranus_Flying_Squad_in_Tesso_Nilo_National_Park
Luas penangkaran di daerah taman nasional biasanya mencapai belasan, bahkan ratusan ribuan hektare. Maria menyebutkan, di Pusat Konservasi Gajah Seblat, Bengkulu, tempatnya bekerja, wilayah jelajah gajah yang tersedia mencapai 17 ribu hektare. Contoh lainnya adalah si kondang Taman Nasional Way Kambas yang memiliki luas wilayah hingga 125 ribu hektare.
Bandingkan ini dengan beberapa penangkaran lain. Barumun Nagari Wildlife Sanctuary, rumah lama Dwiki, hanya memiliki luas 600 hektare.[6]https://jadesta.kemenparekraf.go.id/desa/batu_nanggar_bnws Aek Nauli Conservation Camp, tempat Dwiki dipindahkan dan tidak lama mati, memiliki luas 1.900 hektare.[7]https://www.pariwisatasumut.net/2019/05/aek-nauli-konservasi-gajah-di-danau-toba.html Luas wilayah jelajah yang sempit berarti opsi makanan yang lebih sedikit juga.
Dan jangan lupakan kebun binatang. Luas wilayah jelajah gajah di sana hanya sebesar kandang. Seluruh pakannya otomatis bergantung pada yang disediakan oleh petugas.
Jika kebun binatang sepi pengunjung dan pengelola tidak punya pemasukan untuk membeli pakan hewan, maka porsi pakan gajah pun bisa jadi berkurang.
Thailand barangkali adalah salah satu contoh utamanya. Di negeri gajah putih itu, para wahana tunggangan gajah jinak adalah atraksi populer bagi wisatawan. Sebagian uang tunggangan itu dipakai untuk membeli pakan mereka. Masalah muncul pada 2020 ketika lockdown sedang kental-kentalnya.[8]https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200401105014-269-489010/thailand-sepi-turis-kawanan-gajah-dikurung-dibiarkan-lapar Wisata sepi. Akibatnya, sekitar 2.000 ekor gajah “dikurung dan dibiarkan kelaparan”.
Sekadar Tempat Mengungsi
Kita telah melihat, kuantitas dan variasi pakan terbaik terdapat di habitat alam yang ideal. Namun, apakah yang ideal itu masih ada?
Saat ini, habitat gajah telah diduduki oleh lahan manusia, khususnya perkebunan sawit dan hutan industri yang sudah merambah hingga ke dalam taman nasional.[9]https://tessonilo.gardaanimalia.com/ Sawit dan hutan industri sama-sama menuntut budi daya monokultur di mana makin sedikit variasi genetika dalam perkebunan, makin tinggi profitnya.
Pada habitat yang telah teralterasi menjadi ladang industri, gajah tidak lagi punya banyak pilihan makanan. Di kebun sawit, opsinya tentu hanya sawit. Walaupun mereka menyukai batang-batang sawit muda, lanskap perkebunan sawit tidak punya daya dukung pakan yang cukup untuk menyokong populasi gajah dengan berkelanjutan. Misalnya pada (lagi-lagi) Taman Nasional Tesso Nilo yang setiap hektarenya bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan satu ekor gajah.[10]https://www.neliti.com/publications/201231/daya-dukung-pakan-gajah-sumatera-elephasmaximus-sumatranus-temminck-di-taman-nas
Hutan industri juga sama buruknya. Akasia, salah satu spesies andalan hutan produksi kayu dilaporkan punya sifat alelopati. Senyawa yang disebarkan pohon ini menekan pertumbuhan spesies tumbuhan lain. Keanekaragaman pakan di hutan akasia dilaporkan sebagai yang paling sedikit di wilayah operasional Elephant Flying Squad Taman Nasional Tesso Nilo.[11]https://www.researchgate.net/publication/330538799_Feed_Diversity_Palatability_and_Carrying_Capacity_of_Sumatran_Elephant_Elephas_maximus_sumatranus_Flying_Squad_in_Tesso_Nilo_National_Park Ini menjadikan daya dukung pakan di hutan akasia, baik secara kuantitas maupun variasi, terhitung sangat rendah.
Kita belum memperhitungkan konflik dengan para pekerja kebun sawit dan hutan tanaman industri. Gajah dianggap sebagai hama di banyak daerah industri tanaman. Mereka diusir, bahkan diburu jika ketahuan masuk ke tanah garapan warga. Taruhan gajah untuk mencari makan–yang perlu kita ingat lagi, mencakup 50 persen dari seluruh aktivitas hidupnya–adalah nyawa. Di alam saat ini, opsi gajah seolah cuma dua, mati kelaparan atau mati diburu.
Itulah kenapa bermunculan lembaga konservasi yang menyediakan penangkaran. Gajah-gajah Barumun Nagari Wildlife Sanctuary, misalnya, adalah individu yang diselamatkan dari konflik dengan manusia.[12]https://jadesta.kemenparekraf.go.id/desa/batu_nanggar_bnws
Pada teorinya, lembaga konservasi punya tujuan untuk menjaga keberlangsungan hidup satwa, khususnya spesies-spesies dilindungi yang habitatnya sudah semakin raib.
Mengakui pentingnya lembaga ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sampai menerbitkan Permen LHK Nomor P.22 Tahun 2019 tentang Lembaga Konservasi.
Namun telah kita lihat, dari sudut pandang ketersediaan pakan, beberapa lembaga konservasi tidak punya pijakan kokoh karena ketergantungan mereka terhadap pemasukan. Penangkaran yang terbaik pun tetaplah sebuah ruang temporer sebagai alternatif terhadap habitat yang lenyap.
Bayangkan sebuah lokasi pengungsian warga yang baru dijerang bencana. Pengungsian tersebut bisa menjadi tempat hidup bagi para warga selagi hunian mereka diperbaiki dan dibangun kembali. Tapi, tempat itu tidak bisa menjadi hunian permanen karena standar hidup di pengungsian tentu di bawah kata layak.
Sudut pandang serupa dapat dipakai ketika menelaah peran penangkaran. Walaupun fasilitas ini bisa menampung, bahkan mengembangbiakkan gajah, tapi penangkaran bukanlah habitat permanen. Sama seperti analogi pengungsian di atas, selagi gajah tinggal di penangkaran, habitat mereka di alam mesti diperbaiki.
Jika konservasi hanya bertumpu pada penangkaran, maka seluruh aspek kehidupan gajah, termasuk kebiasaan makan mereka, mau tidak mau bergantung dengan akomodasi penangkaran tersebut, sedangkan akomodasi tersebut mengandalkan pemasukan yang mayoritas berasal dari kegiatan pariwisata.
Ketika lembaga konservasi mengandalkan pemasukan, dua hal dapat terjadi. Pertama, potensi adanya eksploitasi. Kedua, berkurangnya kualitas penangkaran untuk pemenuhan kebutuhan gajah.
Isu pertama sempat marak di Semarang Zoo ketika berseliweran kabar bahwa Sekar pernah menjadi wahana tunggangan pengunjung. Pihak pengelola kebun binatang tentu menyangkal hal tersebut.[13]https://regional.kompas.com/read/2023/02/21/124709778/taman-satwa-semarang-berani-buktikan-kematian-gajah-sekar-bukan-karena Terlepas dari kebenarannya, kita mengetahui bahwa menunggangi gajah adalah salah satu atraksi terpopuler di banyak kebun binatang Indonesia.
Sementara itu, isu kedua menjangkit Barumun Nagari Wildlife Sanctuary yang sejak 2015 tidak mendapatkan dukungan biaya dari pemerintah. Kompas memberitakan bahwa lembaga konservasi ini mengalami krisis pembiayaan.[14]https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/02/18/dalam-5-bulan-4-gajah-jinak-dari-barumun-mati-berawal-dari-krisis-yang-tak-ditangani Hal ini ditengarai berhubungan dengan kematian empat ekor gajah dalam kurun lima bulan di sana, termasuk Dwiki dan anaknya, Fitri, yang mati beberapa waktu sebelum Dwiki. Terdapat dugaan kalau Fitri mati karena keracunan pestisida.[15]https://betahita.id/news/detail/8478/gajah-dwiki-mati-akibat-malnutrisi.html?v=1676938523
Pestisida, tentunya, tidak mungkin berasal dari alam.
Begitulah, kita menyaksikan bagaimana kematian gajah, khususnya Sekar dan Dwiki karena sakit gigi telah mencerminkan bukan hanya keunikan anatomi gajah, tapi juga masalah keberadaan penangkaran gajah dan habitat alam mereka.
Semakin bergantung hidup gajah pada manusia, semakin mirip juga kebutuhan mereka dengan manusia. Hari ini, banyak gajah harus mencari uang untuk membeli pakan yang bervariasi untuk pemenuhan asupan gizi sehari-hari. Ketika geraham mereka nyeri dan mereka mulai mengidap malnutrisi, bisa jadi mereka juga harus membayar upah si dokter gigi.
Referensi