Gardaanimalia.com – Mereka berdesingan di antara runtun jati yang meranggas dan semak-semak palawija, merayap berbaris di tepi jalan lintas provinsi yang berliku masuk ke pedalaman pulau, berkerumun di kuil tua dan makam raja bersama orang-orang yang sedang berdoa.
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)–yang dalam tulisan ini akan kita sebut ringkas sebagai monyet–telah memadati seluruh Paparan Sunda jauh sebelum para pelaut purba dari Formosa–nenek moyang petani Indonesia–berlabuh di Nusantara lima ribu tahun silam.
Ada jenjang 30 juta tahun yang memisahkan manusia dan monyet. Sabana Afrika memaksa manusia berdiri tegak, membuat alat, dan memutar otak sampai mereka menjadi Homo sapiens–”manusia bijaksana”.
Di lain bioma, monyet berevolusi pada ranting-ranting pohon yang berkelindan rapat pada kanopi hutan hujan Asia Tenggara. Pertemuan keduanya–para monyet lincah berekor lentuk dan manusia agrikultural dengan peradabannya–adalah babak nol dari konflik berkepanjangan antara dua saudara yang lama terasingkan.
Namun, babak satunya baru dimulai beberapa dekade belakang. Ketika manusia telah bertuan pada kuasa industri pasar, sedangkan monyet tetap tunduk di bawah kuasa alam.
Babak Satu: Monyet dan Petani
Monyet adalah hewan sinantropik, yang berarti mereka sangat senang tinggal di dekat manusia. Dia bertolak belakang dengan perilaku satwa liar lain seperti gajah dan harimau yang umumnya menyelinap ke kebun dan desa warga karena terpaksa.
Sama seperti banyak hewan sinantropik lainnya, monyet mendekati manusia karena makanan. Buah dan bebijian menyusun mayoritas asupan gizi monyet sedangkan sisanya meliputi dedaunan, bunga, akar, kulit kayu, dan kadang hewan-hewan kecil.[1]Nila, S., Suryobroto,B., dan Widayat, K.A. 2014. “Dietary variation of long tailed macaques (Macaca fascicularis) in Telaga Warna, Bogor, West Java”. Hayati Journal of Biosciences. 21(1): 8 … Continue reading
Masalahnya, buah dan biji hanya datang musiman. Ketika kemarau datang sedikit berkepanjangan, monyet rentan kelaparan.
Maka, sewaktu mereka tahu kalau ada hewan yang tanpa pamrih menyodorkan pisang tanduk kukus dan kacang tanah rebus tanpa dijeda musim dan cuaca, berbondong-bondong mereka datang menuju permukiman manusia seperti sebuah gelombang urbanisasi raksasa.
Para monyet sampai bermigrasi keluar taman nasional dan suaka margasatwa menuju desa, kebun, dan jalan raya tempat mereka bisa mendapatkan makanan gratis dan mudah buangan manusia. Di Taman Nasional Baluran, misalnya, monyet di tepi jalan lintas provinsi jumlahnya tiga puluh lima kali lipat jumlah monyet di dalam hutan.[2]2.Hansen, M. F., Nawangsari, V. A., van Beest, F. M. dkk. 2019. “Estimating densities and spatial distribution of a commensal primate species, the long-tailed macaque (Macaca fascicularis).” … Continue reading
Cilakalah para primata karena mereka tidak tahu kalau hewan ultracerdas yang mereka dekati punya senjata bernama bahasa. Dan salah satu kata dalam bahasa itu adalah hama. Dia memiliki makna, semua hewan dan tumbuhan yang merugikan kegiatan manusia.
Hama adalah lalat dan kecoak yang berkeliaran di gorong-gorong kota. Hama adalah cecurut dan ulat kumbang yang menggerogoti akar jagung muda. Karena memanfaatkan suplai makanan di habitat manusia, hewan-hewan sinantropik sangat mudah disebut hama.
Istilah itu menyeruak ketika para pemukim menganggap tabiat monyet mulai kelewatan. Buah ranum, bibit unggul, bahkan sayur di dapur dijambret gerombolan satwa yang wataknya makin lama makin seperti bandit.
Para monyet tentu senang saja karena punya akses melimpah terhadap asupan gizi. Sistem pertanian pangan yang intensif dan monokultur adalah surga makanan bagi hewan sinantropik seperti monyet. Sayangnya, dalam kodratnya sebagai binatang, mereka tidak mengerti apa maknanya mencuri, serakah, apalagi kurang ajar.
Satu hari, seorang petani yang kepalang muntab mengangkat senapannya dan di hari itu juga perang dideklarasikan. Monyet-monyet yang awalnya sekadar dihalau dengan gagang sapu dan tongkat bambu sekarang berhadapan dengan desing-desing peluru.
Selincah apa pun, monyet tidak mampu menyaingi teknologi yang dikuasai manusia. Monyet tewas bergelimpangan di jalan dan tanah ladang, sedangkan sebagian masuk kembali ke pedalaman hutan.
Babak Dua: Monyet dan Kapital
Namun, segelintir monyet ditangkap sebagai tawanan perang. Manusia yang menyanderanya memerhatikan sifat mereka yang ternyata cukup pintar untuk ukuran satwa. Bagaimana pun, monyet adalah sepupu jauh manusia. Tidak mengejutkan kalau mereka berdua berbagi sedikit kecerdasan.
Yang mengejutkan, para monyet ini mau-maunya disuruh melompat-lompat, jungkir balik jumpalitan, bermain sepeda buatan, sampai berjualan ikan demi sebilah pisang. Mata para penangkap monyet mulai berbinar seperti uang-uang logam.
Para tawanan monyet mulanya dikirim ke kota-kota, di mana atraksi mereka mengubah lampu merah jadi semacam sirkus ekspres. Baik anak maupun orang dewasa tertarik menontonnya, sampai-sampai beberapa ingin memiliki monyet mereka sendiri.
Anak-anak monyet sering dipesan untuk jadi hewan peliharaan yang tidak jarang menjadi ganas ketika beranjak dewasa.[3]Aris. 2023. Monyet Liar Berkelaiaran di Kawasan Batamcenter. Batampos.co.id. Diakses di https://metro.batampos.co.id/monyet-liar-berkeliaran-di-kawasan-batamcenter/ Di desa, orang-orang yang awalnya hanya ingin mengusir monyet dari kebun mereka mulai dengan sengaja menyekap monyet untuk dikirim ke kota.
Ternyata kecerdasan monyet tidak hanya menarik bagi dunia hiburan, tapi juga dunia medis. Monyet yang anatomi dan fisiologi tubuhnya cukup mirip manusia menjadi bahan eksperimen seperti vaksin yang kita cintai dan banggakan.[4]Wicaksana, R. 2022. LSM Dunia Kecam Kera Indonesia Ditangkap Brutal untuk Uji Coba di Amerika, China. VoA Indonesia. … Continue reading
Karena sentra-sentra penelitian hewan berada di luar negeri, semisal Tiongkok dan Amerika Serikat, monyet jadi produk internasional yang melibatkan penentuan kuota ekspor oleh negara.
Selayaknya supremasi kapital, monyet masuk ke dalam hukum permintaan dan penawaran. Pada 2020, Indonesia mengekspor 2.793 monyet hidup ke Tiongkok dan 120 monyet ke Amerika Serikat di bawah kode perdagangan komersial CITES.[5]CITES Trade Database [2020]. Dikompliasi oleh UNEP-WCMC untuk Sekretariat CITES.https://trade.cites.org/
Ini tentu tidak menghitung monyet yang ditangkap dan diselundupkan secara ilegal, nasional maupun internasional. Saat tulisan ini dibuat, laporan 2021 dan 2022 belum tersedia.
Eksploitasi ini bisa langgeng karena monyet, layaknya koruptor, tidak mengenal efek jera. Sebagai hewan sinantropik, monyet selalu tertarik pada hidangan praktis di warung makan pinggir jalan untuk akhirnya ditembaki, dijerat, dan ditangkap kembali.
Alhasil, tempat-tempat di mana monyet dianggap hama berubah jadi hulu rantai pasokan bisnis primata. Jumlah mereka yang bejibun di kebun warga membuat ilusi kalau populasi monyet di pedalaman hutan masih melimpah. Ini membuat para penangkap monyet jadi santai saja seakan-akan suplai monyet jumlahnya tidak terhingga.[6]2.Hansen, M. F., Nawangsari, V. A., van Beest, F. M. dkk. 2019. “Estimating densities and spatial distribution of a commensal primate species, the long-tailed macaque (Macaca fascicularis).” … Continue reading
Puncak kegilaan eksploitasi monyet terungkap pada pertengahan 2022 lalu.[7]Narasi Newsroom. 2022. Investigasi Jaringan Jagal Bayi Monyet Internasional: Dari Indonesia sampai Amerika | Buka Mata. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=xOHRFIhF0Y8&t=197s Melalui platform seperti 4chan dan Reddit, paguyuban psikopat dunia dipergoki kerap memesan video penyiksaan monyet yang mayoritas dieksekusi oleh orang Indonesia.
Para eksekutor dibayar dan tidak jarang dengan nominal rendah. Kegiatan-kegiatan dalam jejaring gelap internet seperti ini hanya mungkin terus ajek karena monyet masih dijajakan di pasar.
Babak Tiga: Monyet dan Negara
Semua bentuk eksploitasi ini, dari yang legal sampai yang amoral, bermuara dari mudahnya akses mendapatkan monyet.
Pemerintah sebenarnya bisa membuat titik cekik di mana rantai pasokan ini jadi lebih sulit diakses dengan mengategorikan monyet sebagai satwa dilindungi. Semua satwa dilindungi haram diperjualbelikan secara komersial. Dibandingkan jalur pidana untuk penganiayaan hewan, jalur pidana jual beli hewan dilindungi lebih ketat diawasi.
Bendera merah sudah dikibarkan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan menobatkan monyet sebagai spesies genting (endangered).[8]7.Hansen, M.F., Ang, A., Trinh, T.T.H. dkk. 2022. Macaca fascicularis (versi amandemen dari asesmen 2022). The IUCN Red List of Threatened Species 2022: e.T12551A221666136.
Namun, kekuatan untuk menentukan monyet sebagai satwa yang dilindungi negara bukan ada di tangan IUCN, tapi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia. Tangan itu, kebetulan, belum bertindak jauh.
Agar satu spesies mampu memegang kartu tanda dilindungi keluaran KLHK, mereka harus memenuhi parameter yang tercantum dalam PP Nomor 7 Tahun 1999, yaitu (1) memiliki populasi kecil, (2) ada penurunan jumlah individu yang tajam di alam, dan (3) daerah penyebarannya terbatas atau endemik pada suatu lokasi.[9]Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Presiden Republik Indonesia: Jakarta.
Parameter ini ditentukan melalui pertimbangan oleh Otoritas Keilmuan. Mandatnya dilimpahkan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah lebur dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Namun, tidak jelas dokumen apa yang terhitung sebagai “pertimbangan dari Otoritas Keilmuan”. Apakah riset milik BRIN termasuk ke dalam pertimbangan?
Kalau iya, hanya ada satu artikel pada seluruh laman bertajuk brin.go.id dan lipi.go.id yang mengangkat topik monyet sejak hewan itu masuk sebagai spesies genting. Artikel itu pun sekadar tentang interaksi monyet pejantan alfa dan pejantan lainnya di suatu taman wisata religi, bukan tentang habitat dan populasi.[10]Al Hakim, R.R., Nasution, E.K., dan Rizaldi. 2022. “Perbandingan Tingkah Laku Harian Alpha-Male Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dengan Jantan Lain di TWR Makam Mbah Agung Karangbanar”. … Continue reading
Bagaimana dengan dokumen yang dipakai untuk menentukan kuota ekspor? BRIN menerbitkan dokumen bernama Non-Detriment Finding (NDF) yang menunjukkan kalau jumlah hewan yang dikirimkan ke luar negeri tidak akan merusak populasi.[11]CITES. 2022. What’s an NDF and why is it impotant? Diakses dari https://cites.org/eng/news/whats-ndf-important
Namun, NDF itu semata kelengkapan ekspor untuk satwa dalam Appendix II CITES yang meliputi spesies dengan izin perdagangan komersial terbatas.
Sayangnya, tidak ada NDF tentang monyet yang dapat diakses publik. Angka dihitung, ditakar, dihapus, dan dihitung ulang di belakang layar. Yang kemudian muncul di hadapan kita adalah sebaris angka yang bisa jadi sulap, bisa jadi sihir. Ini belum melibatkan jumlah yang ditangkap legal tapi tidak diekspor dan tentunya yang ditangkap secara ilegal.
Toh, negara ini punya tabiat kurang elok ketika menentukan kuota ekspor. Pada 2012, Special Survival Network (SSN) mengungkap kalau perusahaan penyuplai monyet menjadi penyuntik dana kegiatan survey populasi monyet. Perwakilan perusahaan juga ikut dalam kegiatan survey bersama LIPI dan Kemenhut.[12]CITES. 2012. Conservation Status of and Trade in Macaca fascicularis in Southeast Asia. Twenty-sixth meeting of the Animals Committee: Geneva, 15 – 20 Maret 2022.
Tidak ada penelusuran lebih lanjut tentang keterlibatan perusahaan yang tidak disebut namanya itu. Tapi, apa yang bisa lebih menyengat ketimbang aroma konflik-konflik kepentingan?
Tania Li dan Pujo Semedi membahasakannya dengan sempurna: dalam rezim impunitas, ketidakjelasan adalah alat; terlalu banyak kejelasan akan mengganggu kolusi pengusaha dengan para kroninya.[13]Li, T.M. dan Semedi, P. 2021. Hidup Bersama Raksasa. Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit. Marjin Kiri: Tangerang Selatan, hal. 277.
Lebih jauh mengenai perdagangan monyet dunia, sebenarnya fakta bahwa monyet masih masuk ke dalam Appendix II CITES belum harmonis dengan deklarasi IUCN yang memasukkan monyet sebagai hewan berstatus genting. Satu daulat internasional menyatakan bahwa populasi monyet terancam, tapi daulat lainnya masih memperbolehkan ekspor komersial.
Ketidakselarasan status pada badan internasional dikhawatirkan berpotensi jadi legitimasi pemerintah Indonesia untuk tetap ogah membuat monyet jadi satwa berstatus dilindungi.
Kembali kepada masalah pertimbangan Otoritas Keilmuan, bisakah perubahan status oleh IUCN itu sendiri jadi pertimbangan? Toh, dia adalah kiblat semua badan konservasi dunia, negeri maupun swasta.
Tapi, sepertinya tidak ada respon berarti dari KLHK terhadap perubahan status ini. Jawabannya barangkali bisa kita temui dengan menelisik orang-orang yang terlibat pada penulisan laporan IUCN tersebut. Atau, lebih tepatnya, orang-orang yang tidak terlibat. Karena dari seluruh negara-negara yang jadi habitat monyet, tebak siapa yang tidak berkontribusi? Indonesia.
Alasan Indonesia tidak terlibat dalam laporan status monyet berada di luar jangkauan tulisan ini. Bisa jadi Indonesia enggan ikut-ikutan walaupun sudah diundang, bisa jadi tim riset sengaja tidak mengajak Indonesia karena rawan memperumit keputusan, atau bisa jadi Indonesia sedang slowresp waktu dikontak dan jadinya ditinggal.
Yang pasti, karena keabsenannya, jangan kaget kalau besok lusa ada yang nyeletuk, loh loh loh, itu kan yang tulis orang luar, apa Saudara yakin datanya untuk Indonesia benar?
Intinya, untuk mengangkat derajat monyet menjadi hewan dilindungi, negara harus punya data populasi dari Otoritas Keilmuan. Namun, angka ini tidak ada karena sampai saat ini tidak ada perhitungan jumlah resminya.
Monyet dikesampingkan dalam prioritas satwa dilindungi bukan karena populasinya masih banyak, tapi karena tidak ada yang tahu pasti jumlah individunya berapa. Kebetulan, sampai sekarang tidak ada dokumen yang membuktikan kalau survey populasi sudah dilakukan.
Babak Tiga Setengah: Masa Depan Monyet
Tiga setengah, karena cerita ini belum bisa selesai. Kita masih hidup di dalam babak tiga.
Mengobrol masalah hukum rumitnya memang bukan main. Padahal, isu ini adalah bagian mudahnya.
Namun, jauh dari gedung-gedung tempat deklarasi perlindungan monyet, para petani dan penggarap kebun mandiri tetap saling berhadap-hadapan dengan monyet yang mereka anggap hama.
Perlindungan mungkin membungkam kegiatan perdagangan komersial, tapi dia tidak akan mengubah sifat monyet yang senang menempel dengan habitat manusia. Tidak dapat dimungkiri, ketika monyet dikirim sebagai komoditas dan populasi mereka menurun drastis, para warga jadi lega karena hama yang mengganggu kebun mereka lenyap.
Namun, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya membawa mandat bagi segenap bangsa Indonesia untuk membuat ruang untuk alam liar yang berkelindan di penjuru negara.
Dalam kasus monyet, ruang ini bukan cuma sekadar ruang berkehidupan semacam kebun dan ladang, tapi juga ruang toleransi. Tidak bisa kita membuat zona-zona peruntukan konservasi seperti bagi gajah dan macan karena lagi-lagi, monyet dengan berbagai cara akan kembali ke permukiman manusia.
Beban toleransi jelas tidak boleh hanya dijatuhkan kepada para warga desa. Mereka justru mesti dapat bantuan selimpah-limpahnya sebagai subjek yang hidupnya secara langsung dibikin repot oleh gerombolan monyet.
Pemerintah, seperti sebagaimana harusnya, tentu punya kewajiban untuk merumuskan skema-skema penanganan konflik antara monyet dan manusia. Penanganan tidak bisa hanya berhenti di ketetapan perlindungan dan ancaman-ancaman pidana.
Aksi setengah-setengah seperti itulah yang akhirnya membentuk persepsi warga semisal, kok pemerintah lebih peduli sama monyet ketimbang sama rakyatnya sendiri?
Beban pikiran juga perlu ditembuskan kepada para organisasi-organisasi promotor kelestarian satwa. Setelah mereka merayakan kemenangan advokasi perlindungan monyet di kota-kota besar tempat markas mereka berada, mereka perlu ikut memutar otak mencari solusi rekonsiliasi antara monyet dan manusia.
Kalau sebelumnya mereka mendobrak pemerintah yang menutup mata dari penyiksaan monyet atas nama pasar, mereka juga tidak boleh menutup mata atas kerugian warga yang disebabkan oleh perlindungan monyet.
Namun, kembali lagi, ini adalah proyeksi yang masih jauh, bahkan sedikit terlalu optimis. Babak empat dari kisah konflik monyet dan manusia masih mengambang di masa depan.
Walaupun begitu, kita perlu tetap menambatkan babak ini di kepala–setidaknya sebagai sebuah tanda tanya. Ketika besok lusa monyet sudah punya status perlindungan, kita bisa mulai cari jawabannya.
Referensi