Menjarah
Menjarah
Menjarah
Opini

Pandemi Covid-19: Alarm Memperketat Perdagangan Satwa Liar

2718
×

Pandemi Covid-19: Alarm Memperketat Perdagangan Satwa Liar

Share this article
Pandemi Covid-19: Alarm Memperketat Perdagangan Satwa Liar
Ilustrasi: Perdagangan satwa liar di Pasar Burung. Foto: Pixabay/Allison Barnett
  • Perdagangan satwa liar menjadi salah satu faktor penyebaran penyakit berbahaya seperti pandemi Covid-19
  • Penyebaran wabah Covid-19 yang telah meluas ke berbagai belahan dunia membawa dampak pada perekonomian dunia baik dari sisi perdagangan, investasi dan pariwisata.
  • Pandemi Covid-19 dijadikan refleksi oleh beberapa negara untuk membenahi penegakan hukum di negerinya terutama terkait perburuan dan perdagangan satwa liar
  • Kebijakan Indonesia berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE dinilai sudah tidak relevan, sehingga mengakibatkan perburuan dan perdagangan satwa liar tidak berkurang.

Para ahli dan peneliti di seluruh dunia telah memperingatkan tentang risiko penularan penyakit akibat perdagangan satwa liar.

Sejak akhir Desember 2019, kasus penyebaran wabah penyakit corona atau Covid-19 mendominasi laman pemberitaan. Awal penyebaran wabah penyakit covid-19 yang dimulai di China ini diduga kuat berasal dari satwa liar yang dijual secara ilegal di pasar Huanan, Wuhan, Provinsi Hubei.

pariwara
usap untuk melanjutkan

South China Morning Post melaporkan bahwa penduduk di kota Wuhan memang sering memperjualbelikan beragam satwa liar. Kasus pertama penyebaran penyakit ini diawali dengan sejumlah pasien yang menunjukkan gejala radang paru-paru akibat virus.

Sampai saat ini saja wabah penyakit Covid-19 telah menyebar setidaknya di 167 negara di dunia. Menurut data yang dikumpulkan oleh John Hopkins University hingga Senin 27 April 2020, total jumlah kasus Covid-19 di seluruh dunia telah mencapai 2,971,831 dengan angka kematian mencapai 206,553 orang.

Penyebaran penyakit Covid-19 yang semakin meningkat mendorong sejumlah peneliti melakukan penelitian. Kristian Andersen, PhD, seorang profesor imunologi dan mikrobiologi di Scripps Research menuliskan bahwa virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19, bukan produk rekayasa genetika. Pernyataan ini didukung oleh data mengenai virus SARS-CoV-2 secara keseluruhan substansinya berbeda dengan jenis coronavirus yang sudah dikenal. Hal ini menjelaskan bahwa virus jenis ini tidak direkayasa dari virus yang lain yang telah ada. Virus ini lebih menyerupai virus corona yang ditemukan pada kelelawar dan trenggiling.

Virus corona ini bersifat zoonosis. Zoonosis merupakan penyakit hewan yang dapat menular ke manusia dan sebaliknya. Pada bulan Februari lalu, para peneliti di Universitas Yunan menyatakan dalam tulisan ilmiah di Current Biology bahwa SARS-CoV-2 kemungkinan berasal dari Trenggiling. Trenggiling (Manis javanica) adalah salah satu jenis hewan asli di Indonesia yang sering diburu dan diperdagangkan. Malah di beberapa tempat di Indonesia, hewan ini juga sering dikonsumsi.

Sebelum wabah pandemik ini terjadi ini, sejumlah ilmuwan menyatakan jika penularan virus dari satwa liar juga pernah menjadi penyebab Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus (SARS-Cov) dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus ( MERS-CoV). SARS-Cov ternyata berasal dari kelelawar dan tersebar melalui musang yang diperjualbelikan.

Hasil penelitian dari Wuhan Institute of Virology menyatakan MERS-CoV yang terjadi pada 2012 juga berasal dari kelelawar. Pernyataan serupa juga disampaikan Ketua Umum Asosiasi Dokter Hewan Satwa Liar, Aquatik, dan Hewan Eksotik Indonesia, Dokter Huda Darusman bahwa kelelawar berpotensi menyebarkan penyakit virus pada manusia. Kelelawar merupakan reservoir virus corona penyebab SARS dan MERS.

Penyakit-penyakit zoonosis ini seringkali menelan korban yang tidak sedikit. Selain mengakibatkan banyaknya korban, penyakit ini juga berdampak pada kehidupan sosial maupun sektor ekonomi. Penutupan sekolah yang berakibat kegiatan pendidikan terhambat, tingginya stres manusia yang mengakibatkan meningkatnya angka kekerasan, hingga dampak ekonomi yang secara global dirasakan.

Pemerintah mau tidak mau harus mengucurkan anggaran negara untuk meningkatkan fasilitas kesehatan, menyediakan tambahan alat-alat medis bagi tenaga kesehatan. Bahkan di banyak negara termasuk Indonesia, harus membangun rumah sakit darurat karena banyaknya korban yang tidak tertampung di rumah sakit yang sudah ada. Tindakan-tindakan tersebut tentu membutuhkan anggaran yang sangat besar.

Penyebaran wabah Covid-19 yang telah meluas ke berbagai belahan dunia membawa dampak pada perekonomian dunia baik dari sisi perdagangan, investasi dan pariwisata.

Pusat Penelitian Ekonomi LIPI mengatakan bahwa wabah virus corona menyebabkan pelemahan perekonomian Tiongkok yang tentu berimbas di Indonesia. Indonesia akan mengalami sejumlah kontraksi di bidang perdagangan. Lebih dari 495 jenis komoditas dengan tujuan ekspor Tiongkok akan terimbas. Sementara sekitar 499 jenis barang impor dari Tiongkok diperkirakan akan menyusut atau bahkan menghilang dari pasar Indonesia. Tentu ini juga akan mempengaruhi penerimaan pajak di sektor perdagangan.

Wabah Covid-19 juga berdampak pada investasi. Investor bisa menunda investasi karena ketidakjelasan rantai suplai atau perubahan asumsi pasar. Demikian pula di sektor pariwisata, Indonesia berpotensi mengalami kerugian pendapatan devisa nasional  mencapai 2 milyar dolar Amerika Serikat.

Jika kondisi penyebaran wabah ini semakin tidak terkendali, kebijakan lockdown menjadi tak terhindarkan. Konsekuensinya semua aktivitas perekonomian harus dihentikan. Hanya layanan kesehatan serta beberapa instansi pemerintah saja yang diijinkan beroperasi. Dampaknya terhadap ekonomi masyarakat pasti akan terganggu,  karena saat ini 60-70% pekerja di Indonesia merupakan pekerja informal. Mereka kebanyakan memperoleh pendapatan secara harian.

Lockdown juga akan mengganggu distribusi barang dan jasa. Barang dan jasa yang terganggu akan menimbulkan panic buying yang berakibat pada kenaikan harga barang sehingga inflasi menjadi konsekuensinya.

Dampak yang begitu besar dan merugikan ini terjadi karena wabah penyakit yang timbul akibat manusia melakukan perburuan, perdagangan, dan mengkonsumsi satwa liar. Berdasarkan pantauan beberapa  tahun terakhir yang dilakukan Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), perburuan dan perdagangan satwa liar maupun mengkonsumsinya, menyebabkan manusia beresiko terpapar penyakit yang dibawa oleh satwa liar tersebut.

Namun, sejumlah  pengalaman ini tak lantas dijadikan sebagai pembelajaran. Manusia tetap mengambil risiko dengan berburu, berdagang dan mengkonsumsi satwa liar. Kejadian ini seharusnya menjadi alarm bagi beberapa negara untuk berbenah dengan memperketat larangan perdagangan dan konsumsi satwa liar.

Mempertegas kebijakan perdagangan satwa liar

Pandemi Covid-19 dijadikan refleksi oleh beberapa negara untuk membenahi penegakan hukum di negerinya terutama terkait perburuan dan perdagangan satwa liar yang dinilai sebagai penyebab resiko penyebaran virus dari satwa liar kepada manusia.

Di China, Pemerintah China kemudian menutup Pasar Huanan pada  1 Januari 2020. Pada 24 Februari 2020 Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional Tiongkok atau Badan Legislatif Tiongkok mengumumkan jika negara tersebut mulai menerapkan aturan super ketat terkait pelarangan perdagangan satwa liar secara ilegal. Aturan itu juga mengatur ‘pengharaman’ untuk mengkonsumsi hewan liar seperti yang telah diperjualbelikan serta dikonsumsi selama ini. Kebijakan ini diambil sebagai langkah penyelesaian sekaligus antisipasi timbulnya masalah serupa di masa mendatang.

China telah mengeluarkan aturan yang sangat ketat mengenai larangan perdagangan dan konsumsi satwa liar dimana sebelumnya tidak ada kebijakan yang mengatur hal ini.

Di Vietnam, Perdana Menteri Vietnam juga telah mengeluarkan perintah kepada Kementerian Pertanian untuk segera melarang peredaran serta konsumsi satwa liar. Pelarangan itu diwujudkan dalam rancangan peraturan sebagai Undang-Undang terbaru agar kegiatan perdagangan ilegal terkait satwa liar dapat segera dihentikan.

Alasan utamanya adalah kekhawatiran penyebaran wabaha penyakit Covid-19 akibat konsumsi dan perdagangan satwa liar serta sebagai upaya mencegah kejadian serupa di kemudian hari. Rancangan Undang-Undang terkait pelarangan peredaran dan konsumsi satwa liar yang ditinjau pada 1 April.

Di Indonesia, berdasarkan pemaparan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) kejahatan satwa  liar menduduki peringkat ketiga setelah kejahatan narkoba dan perdagangan manusia, dengan nilai transaksi diperkirakan lebih dari Rp 13 triliun per tahun. Kasus yang masuk di pengadilan jumlahnya mencapai lebih dari 100 kasus setiap tahunnya.

Ada kecenderungan trend yang meningkat setiap tahun  dalam kasus perburuan dan perdagangan satwa liar jika dilihat dari rekam kasus di peradilan (2011-2019).  Penegakan hukum yang masih lemah mengakibatkan perburuan dan perdagangan satwa liar belum dapat dihentikan.

Meskipun telah memiliki UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang di dalamnya mengatur larangan perburuan dan perdagangan satwa liar, namun UU ini dinilai sudah tidak lagi relevan karena aturan maupun sanksinya tidak ketat. Sanksi dalam aturan ini  hanya menetapkan ancaman maksimal yaitu penjara 5 tahun dan denda 100 juta rupiah tanpa mengatur pidana minimal. Sehingga seringkali tuntutan pidana maupun vonisnya menjadi sangat ringan dan tidak memberikan efek jera bagi pelaku maupun masyarakat lainnya.

Berdasarkan data yang dihimpun dari SIPP Pengadilan Negeri di Indonesia rata-rata vonis penjara yang dijatuhkan Hakim antara 6 bulan hingga 2 tahun. Dalam 5 tahun terakhir (2015 – 2020) setidaknya ada 4 kasus dimana pelakunya adalah residivis (pelaku yang pernah melakukan tindak pidana).

Dalam kasus perdagangan satwa liar pertanggungjawaban pidana juga masih terbatas pada perorangan dan tidak menyasar pada korporasi. Sementara beberapa penelitian yang dilakukan oleh lembaga lingkungan dan perlindungan satwa liar, perdagangan satwa liar juga melibatkan korporasi dan perdagangan lintas negara.

Sayangnya, lemahnya UU No. 5 Tahun 1990  yang mengatur larangan perburuan dan perdagangan satwa liar tidak segera diatasi dengan melakukan revisi atas UU ini. Sementara perkembangan teknologi serta dinamika masyarakat dunia yang sedemikian cepat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini, berimplikasi  pada ketentuan di dalam UU No. 5 Tahun 1990 yang tidak lagi dapat memberikan perlindungan maksimal terhadap keberadaan satwa liar dan habitatnya.

Disisi yang lain, UU diluar UU No. 5 Tahun 1990 yang seharusnya dapat digunakan untuk penegakan hukum terkait perdagangan satwa liar juga belum diterapkan secara maksimal. Contohnya dalam konteks perdagangan satwa liar lintas negara, UU Kepabeanan belum digunakan dalam memperkuat proses penegakan hukum.

Padahal perdagangan lintas negara berkaitan erat dengan kegiatan ekspor impor yang harus tunduk pada ketentuan ini. Selain itu UU Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan seharusnya juga dapat diberlakukan untuk kasus perdagangan satwa liar lintas negara. Di dalam UU Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, baik impor maupun ekspor satwa dan tumbuhan harus melalui proses karantina dan badan atau lembaga karantina memiliki kewenangan untuk menolak ekspor atau impor jika itu berkaitan dengan satwa maupun tumbuhan langka (dilindungi).

Namun, dalam implementasinya kedua UU ini baik UU Kepabeanan maupun UU Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan belum diterapkan untuk memperberat kasus-kasus perdagangan satwa liar lintas negara.

Nyatanya, perburuan dan perdagangan satwa liar tidak bisa lagi dipandang sebagai kejahatan yang biasa. Kejahatan ini harus menjadi agenda penting dalam penegakan hukum. Oleh karena kejahatan perburuan dan perdagangan satwa liar tidak hanya akan mengancam keberadaan satwa-satwa ini namun juga mengancam kehidupan manusia. Tidak hanya berdampak pada kesehatan namun juga berdampak pada sektor sosial maupun ekonomi.

Belajar dari wabah Covid-19 dan tindakan negara lain dalam memerangi dan mengantisipasi timbulnya masalah serupa di masa akan datang, seharusnya dapat menjadi peringatan keras bagi masyarakat dan pemerintah untuk memerangi kejahatan terhadap satwa liar di Indonesia.

Pemerintah Indonesia diminta agar melakukan tindakan cepat dan tepat dengan:

  1. Memperketat perlindungan terhadap satwa liar dengan merevisi UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
  2. Menjadikan pemberantasan kejahatan terhadap satwa liar sebagai program prioritas;
  3. Menindak tegas para pelaku yang memperjualbelikan satwa liar secara ilegal; dan
  4. Melibatkan seluruh sektor dan unsur pemerintah untuk menyikapi perdagangan satwa dengan tegas, karena isu ini bukan hanya menyangkut permasalahan ekologi, tetapi juga permasalahan kesehatan masyarakat, ekonomi dan kemanusiaan.
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Seekor harimau (Panthera tigris) sedang beristirahat di kandangnya di Medan Zoo. | Foto: Dok. Wildlife Whisperer of Sumatra
Opini

Gardaanimalia.com – Wali Kota Medan Bobby Nasution punya rahasia. Rahasia itu berhubungan dengan keputusannya menutup Medan Zoo pasca-insiden…