Gardaanimalia.com – Apakah Engkau juga melihat apa yang telah ruhku lihat selama ribuan tahun menggentayangi tanah-Mu, wahai Enlil, Dewa Segala Dewa, Sang Pemegang Tanah Bumi, Pemilik jasadku yang telah busuk dikikis waktu? Hamparan yang tandus! Gunung-gunung pasir! Tebing bebatuan curam yang melepuh merah terbakar matahari! Ribuan tahun setelah aku mati, Tigris dan Efrat tidak lagi melimpahkan airnya dan memberi kesuburan. Sekarang keduanya semata cerukan kering yang terisi lumpur dan bangkai hewan kehausan. Padang hijau yang mengiringi muara dan delta ikut lenyap bersama dengan kerontangnya sang dua sungai ibu. Tidak satu pun batang pohon erin merambatkan akarnya ke dalam Bumi.
Pun tidak satu batang hidung manusia terlihat di muka Bumi.
Padahal hutan itu dulu ada di bawah kuasaku. Hewan-hewan di dalamnya adalah sahabat sehari-hariku. Gerombolan rusa betingkah jinak di hadapanku. Alap-alap dan kenari bertengger pada tandukku tanpa saling memburu. Bahkan, kambing dan lembu yang kabur dari rumah penjagalan berlindung di bawah naunganku. Langkahku memekarkan benih semak dan perdu pengisi lantai hutan. Aku adalah hijau yang Engkau titipkan pada masa penciptaan.
Juga tak pernah barang sehari aku mengeluh karena wajah buruk pemberian-Mu ini. Aku tahu wajahku adalah tameng pertama hutan. Lagipula, makhluk-makhluk hutan tak ada yang jijik memandangku. Yang menghardik rupaku—dengan keriput melekuk kuat sehingga setiap lipatannya bak geliat sulur akar beringin, dengan kedua mata terbelalak kuning pembawa gerhana saban malam, dengan tanduk lancip berliku, dengan taring seribu—hanyalah manusia. Dan bukankah itu maksud awal-Mu memberikan kehinaan ini kepadaku? Agar para manusia tak sudi melihatku? Agar mereka takut dan tak berani mengganggu hutan? Agar tak satu pun dahan erin patah oleh tangan-tangan serakah mereka?
Apakah Engkau tahu, wahai Hijau Yang Begitu Rimbun, kalau dahan-dahan erin itu akhirnya patah juga?
Selamanya akan kutaruh laknat kepada Gilgamesh dan Enkidu yang memotong kepalaku demi sebuah hasrat purba. Satu hari, mereka datang begitu saja ke dalam hutan—yang mereka paham betul terlarang bagi manusia, lalu menantangku dalam baku hantam yang mereka anggap sebagai sebuah perang suci. Mereka menyebutku monster sembari menunjuk ke arah wajahku yang buruk rupa. Aku dituduh sebagai makhluk mengerikan yang meneror Uruk dan senang membunuh wanita serta memakan bayi-bayi hangat. Aku tidak menyangkal kalau wujudku mengerikan. Namun, tidakkah mereka sadar kalau aku tidak pernah keluar hutan? Jangankan pergi jauh ke kota-kota mereka.
Bukankah aku diturunkan sebatas untuk menjaga hutan, wahai Hutan Yang Selalu Terjaga?
Tapi aku tahu bahwa mereka akan datang. Ingatkah kalau Engkau sendiri yang memperingatkanku dalam sebuah mimpi? Bahwa akan muncul dua utusan dari Uruk yang ingin memusnahkanku serta seluruh isi hutan. Bahwa kami akan bertarung sampai salah satu pihak mati di tangan yang lainnya. Bahwa jika aku yang kalah bertarung, bangsa mereka akan menduduki hutan dan menebang erin-erin suci.
Sejujurnya aku sempat terkejut ketika pertama berhadapan dengan mereka. Tahukah Engkau kalau keduanya bukan sekedar utusan? Gilgamesh, yang berpedang perunggu dan bertombak lazuli adalah sang raja Uruk sendiri. Turun singgasana untuk masuk ke hutan-Mu tanpa sadar diri. Sedangkan Enkidu adalah saudara tirinya dengan tanduk runcing mirip dengan milikku. Apakah Engkau juga yang memberikan sepasang tanduk itu, wahai Seniman Perupa Tubuh?
Baca juga: Rima, Anakku yang Malang!
Aku tidak ingin bertempur karena nafas takdir-Mu adalah kedamaian. Namun aku siap membunuh demi melindungi perdamaian itu. Sudah kulepaskan enam lapis zirah yang biasa kugunakan agar punya keleluasaan bergerak yang lebih—layaknya saran dari Shamash, Pemilik Matahari, yang datang kepadaku pada mimpi selanjutnya. Kulekatkan satu lempeng zirah saja di tubuh. Zirah ketujuh. Zirah tertipis.
Namun ternyata senjata mereka terhunus sihir dan mantra. Hampir saja aku tumbang. Zirahku lumat ditembus bilah pedang dan kepala tombak. Aku terbingung-bingung karena nubuat Shamash keliru. Harusnya zirah itu aku gunakan ketujuh-tujuhnya. Pakaian pelindungku yang tipis tidak bertahan lama. Tapi kekuatanku adalah mukjizat milik-Mu yang tak terhingga. Tubuhku masih megah walau dijerang anak-anak panah. Kudorong kedua orang itu sekuat tenaga sampai mereka terpelanting jauh ke batas hutan. Aku kewalahan, tapi menang.
Tiba-tiba langit menjadi gelap. Di antara awan pekat, Shamash turun membawa sebilah halilintar. Badanku melunak lega melihat bantuan turun langsung dari Dewa. Shamash akan mengutuk kedua makhluk itu langsung ke dalam neraka.
Namun, oh Enlil, Satu Yang Menghendaki Petaka! Tahukah Engkau apa yang terjadi selanjutnya? Shamash justru menghujamkan petir itu kepadaku! Dia melempar tiga belas badai bertubi-tubi, berhari-hari. Dewa bawahan-Mu itu! Mengapa tak pernah kuduga kalau ucapan Shamash hanya sebatas muslihat? Ternyata Dia ada di pihak Gilgamesh dan Enkidu! Wahai Sang Keadilan, mengapa para Dewa begitu mengasihi bangsa manusia hingga mengizinkan—bahkan membantu—mereka untuk menghancurkan dunia?
Maka luruhlah semua kekuatanku. Aku tak punya energi bahkan untuk sekedar berdiri. Ketika Gilgamesh dan Enkidu kembali, aku terpaksa menunduk minta ampun. Aku menawarkan diri menjadi budak bagi keduanya asal mereka tidak menyentuh hutan erin dan seluruh makhluk di dalamnya.
Tapi tatapan itu. Tatapan hina yang membuatku merasa biadab. Mata mereka menyorot seakan aku tumpukan kotoran yang bahkan tak layak dipandang. Apakah itu karena mukaku? Apakah itu karena badan raksasaku? Apakah mereka benar-benar sedang melayangkan kerendahan terhadap ciptaan-Mu ini? Bukankah mereka yang tanpa sebab menyerang rumahku? Rumah-Mu? Bukankah yang kulakukan hanya bertahan dan mempertahankan?
Sekali itu—aku berjanji hanya satu kali itu, wahai Wajah Yang Bersinar!—aku menyesal memiliki wajah buruk rupa.
Aku mati dipenggal. Tubuhku dibiarkan tergeletak di lantai hutan sedangkan kepalaku dibawa pulang untuk dijadikan piala kebesaran. Tapi aku melaknat mereka bukan karena pembunuhanku, melainkan karena mereka berani menyentuh pohon-pohon erin! Ah, manusia dan ketamakannya! Jelas Gilgamesh dan Enkidu merasa tidak cukup jika cuma membawa kepala seorang raksasa sebagai trofi. Maka, tanpa dosa mereka menebang pohon erin terbesar yang ada di hutan, lalu membuat sebuah pintu—pintu!—yang kelak mereka pakai sebagai gerbang utama kuil Uruk. Tempat mereka memuja Dewa-Dewa.
Dan yang membuat murka dan laknatku akan hidup selamanya adalah ucapan Gilgamesh setelah menebang pohon erin terbesar.
Saksikan diriku, Enlil! Aku adalah Gilgamesh, penguasa Uruk kelima yang gagah dan bijaksana! Telah kulaksanakan sumpahku untuk membunuh Humbaba—sang monster jadi-jadian! Kini, hutan erin dan seluruh isinya adalah milikku dan milikku seutuhnya!
Oh, Enlil, Dewaku! Dewa Segala Dewa! Langit Yang Tak Pernah Mendung! Sang Pencipta Manusia! Kenapa Engkau ciptakan monster-monster itu?
***
Monster, moneo (Latin)Â /verbia/ memberikan peringatan.
***
Cerita berdasarkan kisah petualangan Gilgamesh dan Enkidu melawan Humbaba dalam Epik Gilgamesh Tablet Lima. Kisah dan analisisnya dapat dilihat pada tautan berikut.
http://www.homeofbob.com/literature/history/humbaba/humbaba.html
https://www.sparknotes.com/lit/gilgamesh/section4/
Gilgamesh vs. Humbaba – Bronze Age Myths – Extra Mythology – #2
The Epic of Gilgamesh: Crash Course World Mythology #26