Menjarah
Menjarah
Menjarah
BeritaHukum

Poldasu Ungkap Penjualan Kulit Satwa Dilindungi

1281
×

Poldasu Ungkap Penjualan Kulit Satwa Dilindungi

Share this article
Poldasu Ungkap Penjualan Kulit Satwa Dilindungi
Foto : Tribun Medan/M Andimaz Kahfi

Medan – Kasus perdagangan ilegal kulit harimau sumatera (panthera tigris sumatrae) dan gading gajah sumatera (Elephas maximus sumatrae) kembali terjadi. Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Poldasu) juga berhasil mengamankan kulit macan dahan (Neofis diardi) dari IS alias Pak Wito (65), warga Dusun Pantai Gadung, Desa Bukit Mas, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

Kasus itu menambah panjang daftar kasus kejahatan terhadap satwa yang terancam punah (critically endangered). Menurut daftar merah spesies terancam yang dirilis Lembaga Konservasi Dunia International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), terdiri harimau sumatera dan gajah sumatera. Sedangkan macan dahan pada 2008 diklasifikasi IUCN sebagai spesies yang rentan kepunahan karena tren populasinya menurun.

pariwara
usap untuk melanjutkan

Program Manager Wildlife Trade Wiildlife Conservation Society Indonesia Program (WCS-IP) Dwi N Adhiasto mengatakan, IS merupakan pemain lama dan sepak terjangnya sudah ditelusuri sejak 2008. IS satu dari banyak pelaku kejahatan terhadap satwa spesialis kulit harimau dan gading gajah, serta memiliki jaringan pemburu dan penadah.

Sebagai pemain lama, IS berhati-hati dalam bertransaksi, selalu berpindah-pindah untuk memastikan dirinya aman dan pembelinya serius. “Modusnya selalu berpindah-pindah tempat walaupun akhirnya dia tertangkap juga,” katanya, Kamis (31/1).

Menurut Dwi, gading gajah yang berhasil diamankan dari pelaku kejahatan umumnya sudah dipotong-potong dan dijadikan pipa rokok untuk memudahkan penjualan dan bisa dijangkau pembeli walaupun harganya renda, namun jika dikumpul semuanya nilainya tetap besar. Kecuali kepada penadah besar yang mau menampung dalam bentuk atau ukuran utuh.

Macan dahan, kata dia, masih belum banyak mendapat perhatian meskipun statusnya dilindungi. Dalam berbagai pengungkapan, macan dahan sudah dalam bentuk awetan atau taring. Penelitian terhadap macan dahan harus dilakukan untuk mengetahui populasi dan daya dukung keberadaanya.

Ditambahkan Dwi, jaringan perburuan dan perdagangan satwa dilindungi sebenarnya sudah terpetakan di masing-masing levelnya, namun aparat penegak hukum tidak bisa menangkap jika tidak ada barang bukti dan saksi. “Bukan masalah orang lama baru ditangkap, tapi bagaimana menangkap pada waktunya yang tepat sehingga nanti bisa dibawa ke meja hijau.” ujarnya.

Juga dikatakannya, untuk menentukan hukuman terhadap pelaku kejahatan terhadap satwa, contohnya IS, penegak hukum harus bisa mencermati level mana wilayah bermainnya. Sementara itu, umumnya masyarakat memahami pemburu sebagai penjahat utama sehingga dituntut dan divonis tinggi, sedangkan penadah dan pembeli dihukum lebih ringan.

Padahal, kata Dwi, semua berentetan, pemburu ada karena ada penadah dan pembeli. “Nah, hukumannya seperti apa, harus cermat. Kan, IS jadi penadah itu yang memodali pemburu dan seterusnya,” jelas dia.

Selain itu, riwayat kejahatan juga harus jadi pertimbangan penegak hukum dalam menentukan tuntutan dan vonisnya, karena sering kali pelaku kejahatan ditangkap dengan barang bukti sedikit namun ternyata memiliki riwayat kejahatan cukup lama bahkan hingga puluhan tahun.

Sebagai tambahan informasi, Direktur Reserse Kriminal Khusus Poldasu Kombes Pol Rony Samtana mengungkapkan, kedua kulit hewan itu didapat dari IS alias Pak Wito. “Penangkapan dilakukan setelah kita menyamar sebagai pembeli,” katanya kepada wartawan di Mapoldasu, Jalan Sisingamangaraja Km 10,5 Medan, Kamis (31/1).

Penangkapan, papar Rony, dilakukan Minggu (27/1), setelah penyidik Subdit IV Direktorat Reserse Kriminal Khusus Poldasu menerima informasi adanya tindak pidana memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau organ satwa dilindungi oleh IS.

Atas perbuatannya, IS dijerat pasal 21 ayat 2 huruf d, juncto pasal 40 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancaman hukuman penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.

Sementara itu, IS mengaku barang bukti yang ada padanya merupakan titipan H (50) dan R (35), warga Kuala Simpang, Aceh. Dia juga mengaku tidak mengetahui kedua kulit hewan itu merupakan kulit satwa dilindungi. “Saya tidak tahu. Hanya dititipkan dari Aceh,” katanya.  (dewantoro/rozie winata )

***

Artikel ini telah tayang di  dengan judul medanbisnisdaily.com dengan judul, “Poldasu Ungkap Penjualan Kulit Satwa Dilindungi

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments