Gardaanimalia.com – Indonesia merupakan salah satu negara megabiodiversity yakni negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi di dunia. Dalam buku Melestarikan Indonesia (2008) karya Jatna Supriatna dituliskan bahwa Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai “mega diversity” jenis hayati dan merupakan “mega center” keanekaragaman hayati dunia.
Rosichon Ubaidillah, Peneliti Zoologi pada Pusat Penelitian Biologi LIPI, memaparkan status dan tren keanekaragaman hayati Indonesia menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat agro biodiversitas dunia dengan 10% spesies dari total spesies tumbuhan dunia.[1]Dikutip dari Website LIPI, http://lipi.go.id/berita/potensi-keanekaragaman-hayati-indonesia-untuk-bioprospeksi-dan-bioekonomi-/22154 diakses 4 Februari 2021 Dede Heri Yuli Yanto, peneliti dari Pusat Penelitian Biomaterial LIPI, mengungkapkan berdasarkan data kehati Indonesia 2019, terdapat 2.273 spesies fungi yang telah diidentifikasi di Indonesia. Jumlah ini terhitung masih sangat sedikit, hanya sekitar 1.9% dari fungi yang ada di dunia. Indonesia diperkirakan memiliki 86.000 spesies fungi dari 1,5 juta–3 juta fungi dunia. Namun, saat ini baru 120.000 spesies teridentifikasi.[2]Ibid.
Tingginya keanekaragaman hayati, menyisakan tugas untuk menjaga pelestarian dan perlindungan akan keberlanjutannya. Dikutip dari acara Science Webinar Talk to Scientist, Peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Wulansih Dwi Astuti memaparkan Indonesia dapat menghasilkan variasi genetik baik tanaman, satwa, serta mikroorganisme. Ia menyebutkan pula kekayaan ini menjadi aset jangka panjang yang perlu terus dikaji, dipelajari, serta diteliti untuk kesejahteraan bangsa. Oleh karena itu, perlu adanya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara optimal, bukan saja hanya sekedar memanfaatkan dan menghabiskan.[3]Dikutip dari Website Media Indonesia, https://m.mediaindonesia.com/humaniora/361101/ri-miliki-megabiodiversity-terbesar-ke-2-di-dunia-ini-alasannya diakses pada 30 Januari 2021
Ancaman Perburuan dan Perdagangan Ilegal Tumbuhan dan Satwa Liar
Terlepas dari keanekaragaman hayati yang luar biasa, Indonesia juga menghadapi tingginya kejahatan perburuan dan perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar. Tindak pidana kejahatan ini di Indonesia menempati urutan ketiga setelah tindak pidana narkotika dan perdagangan manusia.[4]Dikutip dari Website detiknews, https://news.detik.com/berita/d-3998884/menteri-lhk-kejahatan-satwa-liar-peringkat-ke-3-di-indonesia diakses pada 30 Januari 2021 Dalam skala dunia, kejahatan perdagangan ilegal satwa adalah industri ilegal terbesar keempat. Kejahatan ini sudah dinilai sangat serius dan perlu upaya besar untuk memeranginya.
Melihat tingginya angka kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa, mendorong The International Union for Conservation of Nature (IUCN) berinisiatif untuk menyusun perjanjian internasionl yang kemudian ditandatangani oleh negara pengikutnya. Perjanjian tersebut kemudian disebut sebagai Convention On Internation Trade In Endangered Species Of Wild Fauna and Flora (CITES). Indonesia menjadi negara ke-48 yang bergabung dengan CITES. Perjanjian CITES merupakan sebuah perjanjian internasional yang bersifat multinasional yang disusun guna memberikan perlindungan terhadap satwa dan tumbuhan.
Baca juga: Perdagangan Ilegal Satwa Liar Marak Dijumpai, Ini Penyebab Utamanya
Bergabungnya Indonesia sebagai anggota CITES menandakan bahwa Indonesia patuh terhadap rezim internasional, di mana kemudian CITES digunakan sebagai pedoman bagi Indonesia untuk menangani, mengendalikan, dan mencegah perdagangan satwa liar dan tumbuhan di Indonesia. Salah satu wujud kepatuhannya ialah Indonesia kemudian membuat Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Tujuan besarnya adalah untuk memelihara proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Upaya perlindungan terhadap keberadaan tumbuhan dan satwa liar merupakan langkah yang tidak terpisahkan dalam menjaga kelangsungan kehidupan manusia.
Selain Indonesia, Thailand juga turut serta meratifikasi CITES melalui Wild Animal Reservation and Protection Act B.E, 2535 (1992).[5]Wildlife_Reservation_Protection_Act_2535_en.pdf Peraturan ini merupakan undang-undang tentang penganiayaan hewan yang mengatur mengenai perlindungan satwa liar termasuk di dalamnya mengenai kepemilikan satwa liar, mengembangbiakan, memiliki, memperdagangkan, serta ekspor, dan impor satwa liar yang belum termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990.
Meski Indonesia sudah memiliki Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 di mana disebutkan bahwa perdagangan tumbuhan dan satwa liar tidak diperbolehkan, faktanya angka kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa liar masih sangat tinggi di Indonesia. Sejak tahun 2015-2020, tercatat setidaknya lebih dari 800 perkara terkait kejahatan satwa liar dipersidangkan di peradilan Indonesia.[6]Data ini dikumpulkan oleh Tim Advokasi Gardaanimalia dalam kurun waktu 2015-2020 Pasalnya, sanksi pidana yang ringan berbanding terbalik dengan keuntungan yang didapat pelaku, sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Permasalahan dalam Perumusan Sanksi Pidana
Salah satu persoalannya ada dalam perumusan sanksi pidana. Secara teori dalam perumusan sanksi pidana, para pembentuk undang-undang di Indonesia akan menentukan kebijakan pidana. Para pembentuk undang-undang akan memilih pandangan retributif atau pembalasan yang mana tujuan sanksi pidana untuk memberi ganjaran terhadap tindak pidana yang telah dilakukan atau pandangan utilitarian yang mana penjatuhan sanksi pidana dari segi kebermanfaatannya.
Baik pandangan retributif maupun utilitarian, keduanya akan tercermin pada penerapan teori pemidanaan yang diterapkan. Apabila merujuk pada teori pemidanaan sebagai dasar dari hak negara dalam menjatuhkan serta menjalankan sanksi pidana, setidaknya terdapat tiga teori pemidanaan, yaitu:
- Teori Pembalasan
Dalam teori ini adalah pembalasan itu ditujukan untuk memberikan sebuah hukuman kepada pelaku pidana yang mana nantinya bertujuan untuk memberikan efek jera dan ketakutan agar pelaku tak mengulangi perbuatan pidana tersebut di kemudian hari. - Teori Tujuan
Berdasarkan teori ini, pemidanaan dilaksanakan untuk memberikan maksud dan tujuan dari suatu pemidanaan, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat perbuatan kejahatan tersebut. Dalam hal ini teori ini juga dapat diartikan sebagai pencegahan terjadinya tindak kejahatan dan sebagai perlindungan terhadap masyarakat. Dapat diartikan juga bahwa teori tujuan ini bertujuan agar pemidanaan dapat memberikan efek jera kepada si pelaku dan agar tidak mengulang kembali tindak pidana tersebut. - Teori Gabungan
Menurut teori ini, penjatuhan pidana didasarkan pada dua alasan, yaitu sebagai suatu pembalasan dan sebagai ketertiban bagi masyarakat. Menurut Adami Chazaw dalam bukunya yang berjudul Pelajaran Hukum Pidana menyebutkan bahwa terdapat dua teori gabungan, yaitu:- Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan tersebut tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankan taat tertib masyarakat.
- Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat dari perbuatan yang dilakukan terpidana.
Perumusan sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 masih semata didasarkan pada teori pembalasan. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pidana yang menitikberatkan pada hukuman penjara dan denda. Namun, penerapan teori pembalasan ini kurang tepat. Dalam teori ini, sanksi pidana dijatuhkan semata-mata sebagai pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.[7]Zainal Abidin Farid. 2007. Hukum Pidana 1. Jakarta : Sinar Grafika. hlm. 11.
Dari ketiga teori pemidanaan yang ada, teori gabungan atau teori integratif menjadi alternatif pilihan. Dalam teori gabungan, sanksi pidana dijatuhkan untuk memperbaiki pelaku serta untuk melindungi masyarakat. Teori gabungan mengarusutamakan pada pembalasan dan perbaikan. Dalam artian bertujuan pada pencegahan umum yang terletak pada ancaman pidananya dalam undang-undang. Apabila hal ini tidak cukup kuat atau tidak efektif dalam hal pencegahan umum, maka barulah diadakan pencegahan khusus yang bertujuan untuk menakut-nakuti, memperbaiki, serta membuat tidak berdayanya penjahat.
Dalam hal ini harus diingat bahwa pidana yang dijatuhkan harus sesuai dengan undang-undang atau berdasarkan hukum dari masyarakat. Hoefnagels sendiri mengingatkan bahwa ”Punishment in criminal law is limited not only by effectiveness and purposefulness but above all by legality”. Sehingga, selain efektif, kebijakan penentuan pidana juga harus mempunyai tujuan yang penuh makna secara mendalam sebagai dasar berpijak untuk lebih berorientasi pada falsafah pemidanaan dan tujuan pemidanaan.[8]Suhariyono AR. 2012. Perumusan Sanksi Pidana Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Perspektif Vol. XVII No. 1 Penjatuhan pidana diberikan kepada pelaku dengan tujuan untuk memperbaiki perilaku serta untuk menjamin ketertiban masyarakat. Selain itu, penjatuhan pidana dijatuhkan harus juga menjamin hak korban dan kemanfaatannya bagi masyarakat.
M. Sholehuddin dalam bukunya berpendapat bahwa tujuan pemidanaan harus sesuai dengan politik hukum pidana, yang mana tujuan pemidanaan tersebut harus ditujukan terhadap perlindungan masyarakat dengan mempertimbangkan kepentingan negara, masyarakat, korban serta pelaku.[9]M. Sholehuddin. 2004. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Doble Track System & Implementasinya. Jakarta : Rajawali Pers. hlm. 59. Dalam hal ini, UU No 5 Tahun 1990 belum memenuhi tujuan pemidanaan tersebut. Penjatuhan pidana dalam UU No. 5 Tahun 1990 lebih menekankan pada pembalasan, tanpa memperhatikan aspek perbaikan pelaku maupun memperhatikan kepentingan korban. Dalam hal ini, korban adalah tumbuhan dan satwa. Pelaku hanya dijatuhi saksi pidana penjara tanpa bertanggungjawab turut serta merestorasi yang diawasi lembaga berwenang.
Baca juga: Kejahatan Satwa Meningkat, Revisi UU Konservasi Tidak Bisa Ditawar!
Di Indonesia, tujuan pemidanaan yang sudah mempertimbangkan kepentingan masyarakat dan korban salah satunya dapat ditemukan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (disebut selanjutnya UU PPLH). Salah satu ketentuan dalam UU PPLH adanya sanksi pidana tambahan berupa perbaikan atau pemulihan akibat tindak pidana yang diatur dalam Pasal 119 huruf c.
Penelitian yang dilakukan LeIP pada tahun 2020[10]Dikutip dari website https://leip.or.id/diskusi-publik-eksekusi-tindakan-perbaikan-akibat-pidana-lingkungan/ diakses 4 Februari 2021 atas sejumlah putusan pidana lingkungan ditemukan setidaknya 2 putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana tambahan perbaikan akibat tindak pidana ini, yaitu perkara dengan terdakwa PT. Adei Plantation (228/Pid.Sus/2013/PN.Plw) dan perkara dengan terdakwa PT. Prima Indo Persada (25/Pid.B/LH/2019/PN.Nla). Dalam perkara PT. Adei Plantation dimana terbukti bersalah karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, pengadilan menjatuhkan pidana tambahan perbaikan akibat tindak pidana yaitu untuk memulihkan lahan yang rusak sebesar 40 ha dengan cara memberi kompos dengan biaya +/- Rp 15 miliar rupiah. Sementara itu dalam perkara PT. Prima Indo Persada pengadilan tidak menyebutkan secara detil bagaimana perbaikan akibat tindak pidana tersebut dilakukan. Pengadilan hanya menyebutkan menjatuhkan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa perbaikan akibat tindak pidana.
Kaitannya dengan perumusanan sanksi pidana dalam tindak pidana kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa liar, perlu dilakukan revisi terhadap UU No 5 Tahun 1990. Sebagaimana telah dipaparkan bahwa sanksi pidana di dalam UU No 5 Tahun 1990 hanya menekankan pada pembalasan terhadap pelaku yang ketika dilakukan pengkajian tidak memberikan efek jera ataupun perbaikan dalam diri pelaku. Sementara di sisi yang lain tidak ada pemulihan baik terhadap satwa liar yang menjadi korban maupun pemulihan bagi lingkungan. Padahal kepunahan satwa liar di alam akan memicu kerusakan ekosistem yang luar biasa dan berdampak pada kelangsungan hidup umat manusia.
Maka, belajar dari perumusan sanksi pidana di dalam UU PPLH, revisi terhadap UU No 5 Tahun 1990 haruslah mengedepankan upaya perbaikan atau pemulihan korban, lingkungan, dan memperhatikan kepentingan masa depan umat manusia. Sanksi tambahan perlu diterapkan terhadap pelaku tindak kejahatan terhadap satwa liar, baik itu melakukan rehabilitasi terhadap satwa yang menjadi korban maupun pemulihan terhadap lingkungan/habitat satwa tersebut.
Salah satunya misalnya dengan mengadopsi Pasal 29 Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam terkait tata cara pelaksanaan pemulihan ekosistem yang dilakukan melalui mekanisme alam, rehabilitasi dan restorasi. Dikutip dari agroindonesia.co.id, restorasi dapat dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan, penanaman, pengkayaan jenis tumbuhan dan satwa liar, atau pelepasliaran satwa liar hasil penangkaran atau relokasi satwa liar dari lokasi lain. Sehingga, perlu adanya kerjasama antara aparat penegak hukum dan instansi terkait yang bertugas untuk melakukan restorasi dengan mengikutsertakan pelaku kejahatan terhadap satwa dan tumbuhan dalam melakukan restorasi.
Penulis: Wahyu Nur Hanifah (Kontributor, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang)
Referensi