Sejenak dongakkan kepala
‘Kan kau lihat sekelebat berhambur adiwarna
Meriah melesat berebut kekasih
Adu para jantan tak mau tersisih
Berlatar kepak sayap mereka berlagu
Suka ria bak orkes musik pasar minggu
Kau jadi penonton saja, bersandarkan raksasa bernama beringin
Nikmati musik alam, dibelai rayu angin
Kecuali sampai,
DOR!
Riuh, gaduh, gemuruh
Semua serempak mengaduh
Lalu lahir diam yang asing
Hening
Apakah hutan sedang muram?
Kepada siapa kita bertanya
Oh, apakah kepadanya
yang mengapit senapan di ketiak busuknya itu?
Hutan dulu tidak diam,
tapi kita memaksanya diam
Sudah kubilang, kau harusnya jadi penonton saja
Kemelut lalu kalut
Tidak lama, hutan akan menuntut
Puisi ini dibuat untuk menggambarkan fenomena silent forest atau hutan diam. Kondisi di mana hutan sudah tidak lagi “ramai” dengan kicauan burung, sebab perburuan burung yang tak terkendali.