Menjarah
Menjarah
Menjarah
Opini

Usaha Mengadili Sawit dengan Adil

2478
×

Usaha Mengadili Sawit dengan Adil

Share this article
Hutan lebat yang terkikis habis oleh perkebunan kelapa sawit. | Foto: Lili Rambe/Mongabay
Hutan lebat yang terkikis habis oleh perkebunan kelapa sawit. | Foto: Lili Rambe/Mongabay

Gardaanimalia.com – Ingat ketika kita dulu mengerjakan ujian matematika? Soal-soal yang paling sulit sering kali adalah yang terlihat paling singkat dan sederhana.

Hal yang sama juga terjadi pada hampir semua permasalahan lingkungan. Di permukaan solusinya terlihat sederhana. Hewan terancam punah? Berhenti diburu! Laut kotor oleh plastik? Berhenti pakai plastik! Pemanasan global? Jangan merokok!

pariwara
usap untuk melanjutkan

Namun, yang muncul di permukaan adalah ujung dari gunung es saja. Akarnya tidak jarang melibatkan permasalahan di luar masalah lingkungan sendiri, mulai dari isu ekonomi, budaya, hingga politik.

Pasalnya, perdebatan kita di ruang publik, khususnya di platform media sosial acap kali tidak mampu menelisik permasalahan ini sampai ke akarnya.

Dampaknya, kita sering kali mendapatkan misinformasi yang bukan hanya salah, tapi juga berbahaya jika tersebar luas. Sehingga kita tidak boleh memberikan ruang toleransi bagi misinformasi, bahkan jika informasi itu pro terhadap lingkungan.

Dalam tulisan ini, kita akan coba memereteli salah satu isu lingkungan yang sangat khas bagi Indonesia: sawit.

Bukan berita baru kalau sawit adalah subjek bagi berbagai misinformasi. Para pegiat bisnis sawit menegaskan kalau sawit bukan penyebab deforestasi (spoiler: tidak benar).

Di kolom-kolom komentar Twitter dan Instagram, banyak yang meneriakkan kalau solusinya adalah menghapuskan bisnis sawit sepenuhnya (spoiler: tidak bijak).

Sebagai usaha mengadili sawit dengan adil, mari kita lihat apa saja yang membuat industri sawit jadi bermanfaat, yang membuatnya jadi berbahaya, dan apa saja yang belum kita ketahui secara penuh tentangnya.

Untuk ketiga hal ini, mari ktia taruh bendera merah, kuning, dan hijau seperti bagaimana kita menaruh lampu lalu lintas di perempatan jalan.

Bendera Hijau

Tidak dapat dipungkiri, kelapa sawit adalah bahan bakar peradaban negeri ini. Sejak empat bijinya dibawa dari Amsterdam pada Februari 1848, sawit telah menghamparkan dirinya pada lahan seluas 14,6 juta hektare (per 2019) di berbagai pulau besar Indonesia.[1]Supriyono, J. 2018. “Sejarah Kelapa Sawit Indonesia”. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia.[2]Annur, C.M. 2020. “Luas Areal Perkebunan Sawit di Indonesia Capai 14,60 Juta Hektare”. Katadata.

Dahulu, kelapa sawit ditanam di tepi jalan sebagai tanaman hias menuju rumah-rumah gubernur Belanda. Saat ini, dia penyumbang tertinggi devisa negara (220 triliun rupiah per 2019).[3]Natalia, M. 2021. “Ekspor Capai Rp200T, BPDPKS: Kelapa Sawit Jadi Penyumbang Besar Devisa”. IDX Channel.

Dengan ini, dia menyediakan lahan pekerjaan bagi 4,42 juta jiwa (per 2018)—sekitar 6% dari seluruh populasi tenaga kerja Indonesia.[4]Tim Publikasi Katadata. 2019. “Perkebunan Sawit Mampu Menyerap 4,42 Juta Tenaga Kerja”. Katadata.

Grafik perkembangan luas areal perkebunan sawit di Indonesia dari tahun 2015 ke 2019. Dari tahun 2016 ke 2017, luas areal sawit meningkat signifikan dengan tambahan 1-2 juta hektare per tahunnya. | Sumber: Katadata (2020)
Gambar 1. Grafik perkembangan luas areal perkebunan sawit di Indonesia dari tahun 2015 ke 2019. Dari tahun 2016 ke 2017, luas areal sawit meningkat signifikan dengan tambahan 1-2 juta hektare per tahunnya. | Sumber: Katadata (2020)[5]Annur, C.M. 2020. “Luas Areal Perkebunan Sawit di Indonesia Capai 14,60 Juta Hektare”. Katadata.

Ketika kita menegakkan bendera hijau bagi industri sawit, bukan berarti kita menutup mata pada dampak lingkungan yang diakibatkannya.

Faktanya tidak dapat digubah, sawit mengganggu stabilitas alam. Dalam banyak aspek, dengan berbagai cara. Dari sudut pandang kelestarian alam, perkebunan sawit tidak akan pernah bisa menggantikan peran hutan.

Memberikan bendera hijau kepada sawit berarti memahami bahwa industri ini sudah kadung mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Jutaan orang telah menggantungkan hidupnya pada buah-buah ranum pohon itu. Tengoklah meja di dapur kita dan sebotol minyak kelapa hampir pasti ada di sana.

Komunitas global pun sudah mengenal kita sebagai juragan sawit dunia. Coba hentikan laju ekspornya dan lihat berapa lusin negara yang goyah karenanya.

Kelapa sawit bukan hanya gerigi besar dalam mesin perekonomian negara. Dia sudah menjadi semacam lambang negara.

Betul, industri ini merupakan salah satu pabrik pemusnah hutan terbesar di Indonesia. Namun, pabrik yang sama juga telah memberi penghidupan pada tak terhitung jumlah nyawa, baik lewat lapangan pekerjaan maupun lewat produknya yang kita pakai sehari-hari.

Ilustrasi kebakaran hutan. | Foto: Bharian
Ilustrasi kebakaran hutan. | Foto: Bharian

Bendera Merah

Ketika kita berbicara tentang “kejahatan” sawit, yang benar-benar sedang kita bicarakan adalah irresponsible palm oil industry, kegiatan industri sawit yang tidak bertanggung jawab.

Mayoritas kegiatan tersebut merupakan pelanggaran tegas terhadap peraturan yang telah ditetapkan. Pasalnya, tumpuk demi tumpuk laporan menunjukkan kalau kegiatan ini masih sangat banyak terjadi. Oknum masih berkeliaran di mana-mana.

Mari tengok dua contoh pelanggaran dari tumpukan laporan ini. Kira-kira, alat apa yang lebih efektif ketimbang ekskavator dan gergaji untuk membersihkan pohon? Api.

Dengan menggunakan api, tidak lagi dibutuhkan tenaga manusia tambahan untuk menebang pohon. Masalahnya, penggunaan api untuk membuka lahan secara tegas dilarang dalam berbagai peraturan.[6]Pramesti, T.J.A. 2021. “Bolehkan Membuka Lahan dengan Cara Membakar Hutan?”. Hukum Online.

Dan jelas saja: api bukan cuma membersihkan lahan, tapi juga seluruh kehidupan yang ditampungnya. Namun, masih banyak indikasi kalau berbagai perusahaan sawit menggunakan api untuk membuka lahan.

Salah satunya adalah kasus pada tahun 2011-2016, di mana kebakaran hutan di sekitar wilayah konsesi Korindo memiliki pola yang identik dengan perluasan wilayah konsesi tersebut.

Forensic Architecture dan Greenpeace International menggarisbawahi bahwa hal ini adalah indikasi kuat bahwa Korindo menggunakan api untuk melakukan pembukaan lahan.[7]Forensic Architecture dan Greenpeace International. 2020. Intentionl Fires in Papua.

Ironisnya, FSC (Forest Stewardship Council), sebuah lembaga sertifikasi untuk manajemen hutan sebelumnya mengatakan bahwa tidak ada indikasi bahwa Korindo memperalat api—sebuah pernyataan yang dipertanyakan oleh berbagai pihak.[8]Amindoni, A. dan Henschke, R. 2020. “The burning scar: Inside the destruction of Asia’s last rainforests”. BBC News.

Salah satu kasus lain yang sering terjadi namun jarang dilirik adalah konflik antara lahan sawit dan lahan gambut. Lahan gambut merupakan salah satu gudang karbon terbesar, di mana 30% karbon dunia tersimpan.[9]Isminanda, B.A. 2022. “Mengenal Lebih Dekat Lahan Gambut sebagai Harta yang Berharga”. Garda Animalia.

Ketika tanah ini diganggu, ratusan juta ton karbon, cikal bakal dari karbondioksida sang biang pemanasan global, akan terlepas ke atmosfer. Lahan gambut sederhananya adalah sebuah granat raksasa yang kuncinya belum dilepas.

Sejak tahun 1990, pemerintah telah melarang penanaman pada lahan dengan tebal gambut lebih dari 3 meter.[10]Indonesia. 1990. Keputusan Presiden 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Jakarta: Pemerintah Pusat. Namun, banyak perusahaan tertangkap menaruh wilayah konsesi pada lahan gambut yang tebalnya bahkan lebih dari 4 meter.

Pada tahun 2013, WWF melaporkan beberapa perusahaan ini, di antaranya wilayah konsesi milik PT Rokan Adikarya dan PT Jatim Jaya Perkasa.[11]Greenpeace. 2013. License to Kill: How deforestation for palm oil is driving Sumatran tigers toward extinction. Amsterdam: Greenpeace International, 40 hal.

Masih banyak kegiatan lain yang termasuk ke dalam irresponsible palm oil industry, mulai dari deforestasi hutan dilindungi hingga pelanggaran terhadap hak lahan masyarakat adat. Hal-hal inilah yang perlu kita tentang dengan tegas.

Sebelum kita beranjak ke bendera kuning, mari kita tilik satu lagi bendera merah bagi perkebunan sawit (dan seluruh aktivitas pembukaan lahan lainnya) yang sama sekali tidak bisa dipungkiri, yaitu mengenai biodiversitas.

Pengaruh sawit terhadap biodiversitas sudah tidak perlu didebat lagi: dia menurunkan daya tampung biodiversitas suatu wilayah (Gambar 2).[12]Aditya, F. 2022. (Bahaya) Menerima Sawit sebagai Tanaman Hutan. Garda Animalia.[13]Fitzherbert, E.B., Struebig, M.J., Morel, A., dkk. 2008. “How will oil palm expansion affect biodiversity?”. Trends in Ecology & Evolution. 23(10): 538-545.[14]Savilaakso, S., Garcia, C., Garcia-Ulloa, J., dkk. 2014. “Systematic review of effects on biodiversity from oil palm production”. Environmental Evidence. 3:4.

Gambar II. Grafik sederhana yang memperlihatkan penurunan biodiversitas di perkebunan sawit. Garis putus-putus di atas memperlihatkan proporsi jumlah spesies yang ada di hutan alam. Grafik hitam memperlihatkan jumlah spesies invertebrata yang tersisa di perkebunan sawit (kurang dari 40%), sedangkan grafik abu-abu memperlihatkan jumlah spesies vertebrata (hampir menyentuh angka 20%). | Sumber: Savilaakso dkk. (2014)
Gambar 2. Grafik sederhana yang memperlihatkan penurunan biodiversitas di perkebunan sawit. Garis putus-putus di atas memperlihatkan proporsi jumlah spesies yang ada di hutan alam. Grafik hitam memperlihatkan jumlah spesies invertebrata yang tersisa di perkebunan sawit (kurang dari 40%), sedangkan grafik abu-abu memperlihatkan jumlah spesies vertebrata (hampir menyentuh angka 20%). | Sumber: Savilaakso dkk. (2014)[15]Savilaakso, S., Garcia, C., Garcia-Ulloa, J., dkk. 2014. “Systematic review of effects on biodiversity from oil palm production”. Environmental Evidence. 3:4.

Betul, tidak seperti kota atau tambang terbuka, kebun sawit masih bisa menampung hewan liar di dalamnya. Tapi ini tidak berlaku bagi semua spesies.

Banyak spesies sensitif terhadap perubahan ekosistem dan mereka umumnya adalah spesies yang dilindungi. Harimau, gajah, dan orangutan adalah tiga contoh yang mudah.

Jumlah dari ketiga spesies langka ini menurun drastis di dalam perkebunan sawit. Dan dengan semakin meroketnya ambisi perluasan sawit, semakin meluncur jatuhlah populasi mereka.

Lalu, hewan apa yang bisa bertahan hidup dengan baik di perkebunan sawit? Tentunya hewan yang tidak sensitif terhadap perubahan ekosistem.

Mereka yang bisa berkembang biak dengan sejahtera di mana saja. Spesies-spesies kosmopolitan yang tidak jarang merupakan spesies invasif juga. Dalam bahasa yang lebih populer, kita biasa menyebut mereka sebagai hama.[16]Fitzherbert, E.B., Struebig, M.J., Morel, A., dkk. 2008. “How will oil palm expansion affect biodiversity?”. Trends in Ecology & Evolution. 23(10): 538-545.

Ini adalah satu hal yang perlu digarisbawahi: jika kita berbicara eksklusif tentang biodiversitas, seluruh aktivitas ekspansi sawit adalah bendera merah.

Dia bukan hanya menurunkan populasi hewan langka, tapi juga meningkatkan populasi hewan invasif yang tentu bisa mengganggu kehidupan manusia.

Jadi, jangan kaget kalau organisasi pro satwa liar seperti Garda Animalia berdiri di baris terdepan sebagai pengkritik industri sawit.

Bendera Kuning

Yang kita beri bendera kuning adalah hal-hal yang belum kita ketahui secara penuh dampaknya. Apakah dia akan membawa hal positif atau justru petaka? Ini seperti posisi canggung ketika lampu lalu lintas menyala kuning.

Kita sering kali ragu apakah perlu mengebut maju agar tidak terseruduk mobil di belakang atau justru mengerem agar tidak tertabrak motor dari seberang.

Salah satu contohnya bisa kita telisik dari isu yang tahun 2020 lalu marak diperbincangkan, yaitu rencana penambahan kelapa sawit ke dalam campuran biodiesel.[17]Yoshio, A. 2020. “3 Skenario Kalkulasi Dampak Ekonomi dan Lingkungan Program Biodiesel”. Katadata.

Begini cerita ringkasnya: jika kita menambahkan minyak sawit ke dalam biodiesel, emisi yang dikeluarkan bahan bakar itu secara tidak langsung akan lebih rendah.

Ini karena emisi yang keluar dari penggunaan biodiesel terkurangi dengan emisi yang diserap oleh pohon sawit (ingat, semua pohon menyerap karbondioksida). Rencana ini merupakan bagian dari andil Indonesia untuk menekan laju perubahan iklim global.

Kawasan hutan yang sudah dibabat dan yang masih utuh, sebuah pemandangan kontras perkebunan kelapa sawit. | Foto: Lili Rambe/Mongabay
Kawasan hutan yang sudah dibabat dan yang masih utuh, sebuah pemandangan kontras perkebunan kelapa sawit. | Foto: Lili Rambe/Mongabay

Masalahnya, untuk memenuhi rencana ini kita butuh banyak sawit tambahan. Berarti, harus ada kebun-kebun sawit baru yang jumlahnya tentu tidak sedikit.

Dalam salah satu skenarionya, LPEM FEB UI memprediksi bahwa kita butuh tambahan lahan sawit seluas 9,3 juta hektare untuk memenuhi kebutuhan biodiesel.[18]Yoshio, A. 2020. “3 Skenario Kalkulasi Dampak Ekonomi dan Lingkungan Program Biodiesel”. Katadata.

Luas ini hampir sebanding dengan luas wilayah Korea Selatan. Dan sebagian dari lahan yang akan dipakai tentunya berasal dari hutan alam.

Seperti contoh di atas, kebanyakan hal yang di-bendera-kuning-kan adalah kebijakan-kebijakan pemerintah.

Ini karena dalam proses pembuatan kebijakan, mereka ditarik oleh berbagai kepentingan. Maka, sering kali pemerintah terlihat “bermain aman” dalam prosesnya.

Pada hal-hal seperti ini, tentu kita tidak bisa langsung menantang keras. Tapi kita juga tidak boleh menelannya bulat-bulat.

Kita perlu berskiap vigilant, waspada, dan ikut membantu mereka untuk menerawang potensi dampak yang dapat terjadi.

Apalagi jika kita mau berbicara tentang keanekaragaman hayati. Sampai saat ini, isu-isu perihal biodiversitas dan kelestarian alam secara umum masih ada jauh di barisan belakang pada antrian prioritas pemerintah.

Rendahnya prioritas tersebut membuat kebijakan yang keluar condong tidak mendukung program-program konservasi.

Maka, lagi-lagi jangan kaget kalau para organisasi pro konservasi akan dengan mudah mengubah bendera warna kuning menjadi merah.

Tapi, pada akhirnya, kritik yang baik adalah kritik yang adil. Sebagai penggiat lingkungan, mengetahui arti tiga bendera ini merupakan landasan utama jika kita ingin memberikan kritik yang fair terhadap perindustrian sawit.

Hijau artinya maju, merah artinya berhenti, kuning artinya hati-hati. Dalam lalu lintas industri sawit, lampu-lampu ini juga perlu kita patuhi.

0 0 votes
Article Rating

Referensi[+]

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Seekor harimau (Panthera tigris) sedang beristirahat di kandangnya di Medan Zoo. | Foto: Dok. Wildlife Whisperer of Sumatra
Opini

Gardaanimalia.com – Wali Kota Medan Bobby Nasution punya rahasia. Rahasia itu berhubungan dengan keputusannya menutup Medan Zoo pasca-insiden…