Menjarah
Menjarah
Menjarah
Edukasi

Apa Kata Hukum di Indonesia tentang Zoofilia, Kekerasan Seksual Terhadap Satwa?

555
×

Apa Kata Hukum di Indonesia tentang Zoofilia, Kekerasan Seksual Terhadap Satwa?

Share this article
Apa Kata Hukum di Indonesia tentang Zoofilia, Kekerasan Seksual Terhadap Satwa?
ilustrasi satwa domestik dengan manusia. | Foto: pixabay.com/StockSnap

Gardaanimalia.com – Kekerasan seksual tak melulu berputar pada manusia sebagai korbannya. Faktanya, tak sedikit kasus kekerasan seksual menimpa satwa sebagai objek kekerasannya. Tindakan menyimpang ini disebut dengan istilah zoofilia atau bestialitas.

Selain tak mampu meminta bantuan, perlindungan satwa terhadap kasus kekerasan seksual pun belum diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan.

Catatan Kasus Bestialitas dari Waktu ke Waktu

Kasus zoofilia di Indonesia telah terjadi sejak lama. Desember 2013, warga Tasikmalaya, Jawa Barat, dihebohkan dengan persidangan seorang remaja berusia 17 tahun yang mengaku telah merudapaksa 300 ekor ayam.

Selain itu, ia juga melakukan tindakan ini ke 150 ekor bebek dan itik, domba, serta kambing. Selanjutnya, remaja tersebut dijatuhi pidana pokok 8 tahun penjara, denda Rp60 juta, subsider 1 bulan kurungan.

Pada tahun 2010, seorang pria merudapaksa seekor sapi saat menggembala sapi di Desa Yeh Embang, Kab Jambrana, Bali. Kasus tersebut diselesaikan secara kekeluargaan.

Eksploitasi seksual terhadap satwa sempat menjadi trending saat kasus Pony, seekor orang utan kalimantan (Pongo Pygmaeus) diangkat. Pony, orang utan kalimantan di Kareng Pangi, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah diambil dari hutan sejak bayi.

Gilanya, satwa ini lantas dijadikan sebagai objek seksual bagi para pekerja di perkebunan sawit.

Tidak hanya di Indonesia, kasus serupa juga terjadi di beberapa negara. Di Songkla, Thailand, seorang pria mencoba merudapaksa seekor sapi betina di tahun 2019 lalu.

Tahun 2018, di Pennyslvenia, Amerika Serikat, 3 orang pria diduga telah melakukan kekerasan seksual terhadap sapi, kambing, anjing, hingga kuda sebanyak 1.400 kali.

Di Pakistan, seorang anak berusia 14 tahun tertangkap mencuri dan merudapaksa seekor ayam hasil curian.

Zoofilia: Dampak dalam Kehidupan Para Satwa

Kasus zoofilia menjadi ancaman terselubung yang mengancam kesejahteraan para satwa. Menurut Oswald Schwarz dalam bukunya berjudul “The Psychology of Sex” (1958) membagi Zoofilia kedalam 4 klasifikasi sebagai berikut :

  1. Zoophilic Fantasizer: Kelainan seksual yang menjadikan binatang sebagai objek fantasinya tanpa melakukan kekerasan seksual.
  2. Bestialitas: Bentuk penyimpangan seksual yang dilakukan dengan jalan melakukan kekerasan seksual terhadap satwa.
  3. Bestialitas Sadisme: Kelainan seksual yang dilakukan dengan cara menyiksa satwa demi memperoleh kepuasan batiniah tanpa perlu melakukan hubungan seksual.
  4. Zooseksual: Bentuk penyimpangan seksual dimana seseorang hanya memiliki hasrat seksual terhadap satwa.

Satwa yang menjadi korban zoofilia kerap ditemukan dalam kondisi terluka atau bahkan dalam kondisi tak bernyawa.

Dilansir dari unair.ac.id, pakar animal welfare kedokteran hewan di sekolah ilmu kesehatan dan ilmu alam (SIKIA), Prima Ayu Wibawati, drh., M.Si., mengungkapkan bahwa kekerasan seksual yang dilakukan terhadap satwa dapat menimbulkan luka ataupun masalah di organ reproduksi.

Selain itu, trauma dan stress dapat terjadi secara terus menerus. Bahkan, dalam kasus tertentu, satwa dapat kehilangan hasrat atau rangsangan bereproduksi dengan satwa lainnya hingga mengalami kematian.

Oleh karena itu, diperlukan pemulihan atau rehabilitasi bagi satwa korban zoofilia sebelum kembali dilepasliarkan.

Zoofilia dalam Perspektif Perlindungan Satwa

Secara umum, kasus Zoofilia kerap menimpa satwa domestik sebagai korbannya. Hal ini disebabkan satwa domestik lebih mudah ditemukan dan dipelihara.

Apabila menilik banyaknya kasus zoofilia hingga eksploitasi satwa, urgensi peraturan perlindungan satwa yang secara eksplisit mengatur mengenai zoofilia sangat dibutuhkan.

Di Indonesia, perlindungan dan kesejahteraan hewan atau satwa diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksananya.

Dijelaskan dalam Pasal 92 huruf (a) PP No. 95 Tahun 2012 Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan bahwa setiap orang dilarang memanfaatkan satwa diluar kemampuan kodratnya yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan, keselamatan, hingga penyebab kematian satwa tersebut.

Perlindungan satwa turut dituangkan dalam UU RI No 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU Peternakan), yang mengatur pengelolaan peternakan, termasuk didalamnya ketentuan mengenai kesejahteraan hewan hingga perlakuan dan tanggungjawab pemilik satwa.

Selanjutnya, dipertegas kembali pada peraturan pelaksana PP No 82 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Kesejahteraan Hewan. Di sini, perlindungan terhadap kekerasan pada satwa diatur lebih rinci.

Pelaku zoofilia dapat dijerat secara pidana sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Alasannya, penyimpangan ini menimbulkan kerugian pada satwa maupun pemiliknya. Satwa berpotensi memiliki rasa trauma, stress, masalah kesehatan reproduksi, hingga kematian.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 302 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pelaku dapat diancam pidana 3 bulan penjara dengan denda paling banyak Rp4,5 juta.

Hukuman ini juga mengacu pada pasal 337 UU 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan dengan ancaman pidana 1 tahun dengan denda Rp10 juta.

Dalam bukunya “Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya,” S.R. Sianturi (1983: 273) menyebutkan bahwa sebelum menjatuhkan putusan, majelis hakim akan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, apakah tindakan tersebut pantas dilakukan. Kedua, apakah bukti yang ada sesuai dengan kenyataan. Selain itu, hakim juga akan menilai apakah tindakan itu melampaui batas dan bergantung pada kebijaksanaan serta pertimbangannya sendiri.

Dalam kasus zoofilia, sebelum menjatuhkan putusan, fakta-fakta persidangan akan disajikan. Fakta-fakta ini akan menjadi dasar pertimbangan hakim, selain pembuktian dan faktor lainnya.

Adapun menurut R. Soesilo, dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (1991)” menjelaskan, suatu tindakan dapat disebut sebagai kekerasan terhadap satwa apabila:

Orang itu sengaja menyakiti, melukai, atau merusakkan kesehatan binatang;
Perbuatan itu dilakukan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan.

Dengan demikian, suatu tindakan kekerasan satwa dapat dijerat dengan ancaman pidana apabila memenuhi unsur orang, sengaja (dolus) dengan tujuan menyakiti, melukai, atau merusak kesehatan satwa, serta melewati batas yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.

Sayangnya, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus dan rinci mengatur mengenai zoofilia dan eksplotasi satwa.

Perlindungan satwa di Indonesia sendiri pada dasarnya telah didukung oleh organisasi kesejahteraan hewan serta oleh gabungan dalam gerakan anti kekerasan hewan domestik. Keduanya berperan dalam mengawal dan memberikan perlindungan terhadap satwa yang mengalami kekerasan seksual (zoofilia) atau penganiayaan pada satwa secara fisik.

Upaya tersebut masih perlu dibarengi dengan edukasi seputar hak, perlindungan, serta kesejahteraan satwa.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments