Berkarya dengan Visi: Merekam Kekerasan di Balik Topeng

Shahnaz D.
3 min read
2025-04-07 10:31:15
Iklan
Poster film dokumenter The Chain That Bind, yang merekam fakta di balik pertunjukan monyet ekor panjang.

Gardaanimalia.com - Bandung, 21 Maret 2025. Ini adalah cerita singkat untuk kalian yang tak menyangka akan jatuh hati dan tergerak pada dunia satwa. 

Ketika sekelompok pembuat film dokumenter memutuskan untuk mengeksplorasi sebuah isu, mereka tak hanya membawa kamera dan perekam suara. Mereka membawa rasa ingin tahu, kepekaan, dan sering kali sebuah perjalanan emosional yang mengubah cara mereka memandang dunia. Itulah yang terjadi pada tim dokumenter ini.

Tim yang beranggotakan lima orang ini memulai produksi pertama terkait isu satwa liar bertajuk “The Chain That Bind”. Sebuah dokumenter yang menyorot isu kejahatan terhadap satwa liar, khususnya eksploitasi monyet ekor panjang. 

“Kita awam banget, semuanya [pertama kali],” ungkap Produser Dokumenter The Chain That Bind, Meilia. 

Sabtu (21/3/2025) adalah pertama kali dokumenter garapan mahasiswa Program Studi Film dan Televisi Universitas Pendidikan Indonesia ini ditampilkan secara umum di Bandung Creative Hub—sebuah tempat yang menjadi wadah dan pusat kegiatan kreatif di Kota Bandung. 

Topeng Monyet: Isu yang Menjadi Prioritas



Eksploitasi monyet ekor panjang ternyata lebih luas dari yang mereka duga.

Banyak monyet yang dijadikan atraksi jalanan, dipaksa memakai kostum, dan dilatih dengan metode kekerasan agar bisa melakukan gerakan-gerakan tertentu. Meski tampak menghibur bagi sebagian orang, ada penderitaan tak terlihat di balik topeng monyet.

Salah satu anggota tim dokumenter, Bima Andra sebagai Director of Photography (DOP) menyoroti bahwa praktik ini sering kali disalahartikan sebagai bagian dari budaya.

“Topeng monyet ini isu yang menarik untuk dibahas, karena sudah menjadi hiburan di kalangan masyarakat bahkan menyebut itu adalah budaya. Padahal sebenarnya bukan budaya, itu cuma hiburan yang dibuat oleh orang Belanda dulu. Sebenarnya di beberapa daerah sudah enggak ada. Tapi ternyata di Bandung masih ada, jadi ini menarik untuk dibuat dan ditujukan kepada orang-orang agar lebih teredukasi terkait eksploitasi satwa,” ujar Bima.

Bagi sebagian orang, daya tarik monyet sebagai satwa peliharaan sering kali menjadi pintu masuk ketertarikan terhadap isu ini.

Meilia sebagai Produser The Chain That Bind mengaku awalnya justru ingin memelihara monyet karena menganggapnya lucu. Namun, pemahamannya berubah setelah melakukan riset mendalam.

“Awalnya aku tertarik karena simpati. Dari dulu malah pengen melihara monyet karena selucu itu. Terus penasaran dan makin tertarik, pasti ada sesuatu di balik itu semua. Setelah riset dan lihat berita, oh ternyata dilarang. Karena belum ada peraturannya, jadi harus bikin film. Aku juga pengen bikin film yang bermanfaat buat banyak orang,” jelas Meilia.

Bagi Mu’min sebagai soundman, isu ini lebih dari sekadar keingintahuan. Ia pernah melihat topeng monyet di desanya dan bertanya-tanya mengapa monyet-monyet itu dirantai dan dilatih.

“Di desa aku juga ada topeng monyet, biasanya seminggu dua sampai tiga kali. Tapi aku juga mikir, kok ada, dirantai gitu, itu kenapa sih? Setelah dicari tahu, ternyata harusnya dilepasliarkan, jangan dipelihara. Pas dilihat lebih lanjut, monyet juga bisa membawa penyakit buat manusia, ada zoonosis [salah satunya] rabies. Harus diberantas,” tegas Mu’min.

Di Balik Produksi: Cerita dan Tantangan di Lapangan



Membuat dokumenter ini bukan perkara mudah. Tim harus menghadapi berbagai kendala di lapangan, mulai dari mencari narasumber hingga keterbatasan alat produksi.

Syifa Anten atau yang kerap disapa Lili sebagai sutradara berbagi pengalamannya saat mencari informasi di Cirebon.

“Waktu cari narasumber di Cirebon, tantangannya lumayan besar. Begitu kita datang, kepala desanya kayak berusaha nutup-nutupin, bilang enggak tahu soal topeng monyet. Padahal, dari gerak-geriknya, kita yakin mereka tahu,” tukasnya.

Mereka juga menghadapi keterbatasan alat produksi. Bima, yang bertanggung jawab sebagai DOP harus putar otak agar hasil visual tetap maksimal meski dengan peralatan yang terbatas.

“Beberapa shot yang dramatis tuh sebenarnya bisa lebih bagus kalau alatnya memadai. Tapi karena dana terbatas, kita harus kreatif dalam memanfaatkan alat yang ada.” ungkap Bima

Proses pengambilan gambar juga dibatasi oleh peraturan ketat, terutama saat mereka merekam di pusat rehabilitasi satwa. Hanya DOP dan sutradara yang diperbolehkan mendekati kandang monyet untuk memastikan keselamatan satwa dan kru.

Dari segi penyusunan cerita, Arif, yang bertanggung jawab dalam editing, menyatakan bahwa menyusun alur film ini bukan hal mudah.

“Informasi yang kita dapat banyak banget, dan itu bikin kita bingung mau naruh [informasi] apa di mana. Penyusunan alurnya jadi PR besar. Selain itu, dari segi visual dan audio juga ada tantangan karena keterbatasan alat.” beber Arif

Meski menghadapi banyak kendala, tim ini tetap bersemangat untuk menyelesaikan proyek mereka. Dokumenter ini bukan hanya sekadar film bagi mereka, tapi juga sebuah langkah nyata untuk meningkatkan kesadaran publik tentang eksploitasi satwa.

Meilia menambahkan, ia berharap dokumenter ini bisa mengubah mindset masyarakat soal topeng monyet, "Kalau bisa, pemerintah juga ikut turun tangan supaya ada aturan yang lebih jelas.”

Harapan untuk Sebuah Tayangan

Bagi tim, dokumenter ini bukan sekadar proyek, tetapi juga bentuk kepedulian mereka untuk meningkatkan  kesadaran publik. Meilia berharap film ini bisa sampai ke banyak orang dan bahkan masuk festival.

“Dari dulu pengen bikin film yang berguna dan bisa diterima masyarakat. Kalau bisa, ini masuk festival juga biar jangkauannya makin luas.”

Lili sebagai sutradara berharap dokumenter ini bisa diputar di sekolah-sekolah supaya anak-anak yang menjadi salah satu target “hiburan” topeng monyet dapat teredukasi sejak dini.

“Ini edukasi penting, makanya pengen banget bisa diputer di sekolah. Banyak yang belum tahu kalau kenyataannya sekejam ini,” tegasnya. 

Bima turut mengungkapkan harapannya agar melalui visual dan informasi yang ditampilkan, dokumenter ini bisa menjadi pemicu perubahan di masyarakat.

“Cuma pengen dipublikasikan di masyarakat supaya orang-orang tau kalau topeng monyet salah dan kalau bisa enggak ada lagi, karena setelah ditelusuri banyak masalah di situ,” ucap Bima.

Meilia menambahkan, tanpa dukungan pemerintah, perubahan ini bakal sulit terjadi.

“Percuma kalau kita bikin dokumenter, tapi aturan masih abu-abu. Harapannya sih ini bisa dilirik pemerintah biar ada langkah nyata. Gue juga pengen bahas isu hewan lain, karena masih banyak banget yang belum diketahui orang,” ungkapnya.

Buat Mu’min, eksploitasi monyet juga berkaitan dengan kondisi ekonomi. Ia berharap ada solusi untuk para pelaku usaha topeng monyet.

“Mereka ini kan awalnya enggak punya pekerjaan. Harus ada solusi biar mereka enggak balik lagi ke eksploitasi monyet. Mungkin bisa dialihin jadi pengurus hewan atau dikasih pekerjaan lain,” tutur Mu’min.

Dengan harapan yang besar, mereka sadar bahwa proses menuju perubahan yang diinginkan tidaklah instan, tetapi mereka yakin bahwa setiap langkah kecil tetap berarti.


Tags :
monyet ekor panjang monpai Macaca fascicularis film dokumenter The Chain That Bind UPI
Writer: Shahnaz D.