Ulasan

Kita Usahakan Liputan Berdampak itu: Konflik Buaya Menanti 'Bangkitnya' Satgas

31 Mei 2025|By Garda Animalia
Featured image for Kita Usahakan Liputan Berdampak itu: Konflik Buaya Menanti 'Bangkitnya' Satgas

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris di laman Earth Journalism Network pada 29 April 2025 dengan judul EJN Grantees' Story Pushes Indonesian Government to Draft Decree to Curb Crocodile-Human Conflict in Bangka Belitung, ditulis oleh Harriet Crisp dan Dewi Layla Sari. Diterjemahkan dan diterbitkan ulang oleh Garda Animalia. 

Gardaanimalia.com - Serangan buaya terhadap manusia sering menjadi berita. Namun, ketika dua jurnalis Indonesia menelusuri alasan meningkatnya serangan di wilayah utama pertambangan timah Indonesia, mereka menemukan bahwa predator puncak ini—yang merupakan spesies dilindungi—justru terancam dan terusir dari habitatnya oleh aktivitas perusahaan milik negara dan para penambang ilegal.

Laporan mereka memicu sorotan publik dan mendorong perumusan keputusan gubernur. Keputusan gubernur ini bertujuan untuk mengatur masalah konflik buaya ke arah yang lebih baik serta menciptakan kawasan konservasi.

Provinsi Bangka Belitung adalah pusat industri pertambangan timah Indonesia, menghasilkan 90% timah nasional—dan mendudukkan Indonesia sebagai produsen timah terbesar kedua di dunia. Penambangan timah telah mengakar dalam budaya dan ekonomi lokal selama berabad-abad.

Setelah era desentralisasi pada 1998, perusahaan milik negara dan penambang tradisional mulai menambang hingga 40.000 ton bijih per tahun, baik di laut maupun darat. Dalam 10 tahun terakhir, angka ini meningkat menjadi rata-rata 60.000 ton per tahun.

Namun, hal ini berdampak besar pada lingkungan: erosi, polusi air, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat 275.000 hektare lahan di provinsi ini dalam kondisi kritis.

Permintaan timah juga menghancurkan habitat buaya muara—salah satu spesies terbesar di kawasan tersebut.

Uploaded content
Buaya muara di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Alobi Foundation. Buaya muara dapat tumbuh hingga panjang 7 meter. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia

Antara 2016 hingga 2023, terjadi 154 konflik antara manusia dan buaya muara (Crocodylus porosus) di Bangka Belitung, dengan 49 kasus mengakibatkan kematian atau luka serius.

Pemukiman dan tambang yang terus mendesak habitat buaya meningkatkan risiko bagi manusia dan satwa. Buaya sering kali dilukai atau dibunuh setelah terlihat atau pasca-serangan. Sayangnya, respons dari pemerintah daerah dan lembaga terkait masih minim.

Pada 2023, jurnalis Finlan Adhitya Aldan dan Bayu Asya Isminanda dari media spesialis satwa liar, Garda Animalia, menerima dana hibah dari Internews' Earth Journalism Network (EJN) dalam Asia-Pacific Project.

“Awalnya kami hanya ingin menulis straight news soal semakin maraknya satwa liar yang keluar dari habitatnya,” kata Isminanda. Namun, setelah wawancara awal, mereka menemukan peningkatan serangan buaya dan memutuskan untuk menyoroti isu tersebut.

“Dorongan kuat untuk melaporkan kisah ini, selain tingginya jumlah serangan, adalah tingginya angka kematian, baik pada manusia maupun satwa... Penambangan timah yang luas di pulau yang relatif kecil ini juga membuat premis berita menjadi lebih menarik,” lanjut Nanda.

Dengan dana hibah itu, mereka melakukan liputan lapangan selama 10 hari dan merilis laporan pada 18 Oktober 2023 di laman Garda Animalia. Versi bahasa Inggris juga dipublikasikan di situs EJN.

Laporan tersebut menarik perhatian publik, dan pada Februari 2024, mereka pun mengadakan diskusi publik.

Seorang pejabat provinsi mengumumkan bahwa pihaknya akan mengajukan rancangan keputusan gubernur untuk membentuk ulang satuan tugas pengelola konflik buaya-manusia, dengan anggaran dan rencana kawasan konservasi khusus untuk buaya di pulau tersebut.


Laporan Finlan dan Nanda mengungkapkan bahwa konflik sering terjadi di “kulong”—danau buatan bekas tambang timah yang kini mencapai 12.000 titik di lanskap tersebut.

Danau ini digunakan oleh penambang liar untuk mencari sisa timah, sekaligus menjadi habitat baru buaya yang tertarik oleh ikan-ikan terjebak setelah banjir.

Saat buaya muncul setelah serangan atau terlihat di sekitar manusia, masyarakat biasanya mengandalkan Yayasan Alobi, sebuah LSM penyelamat satwa untuk mengevakuasi dan kemudian merehabilitasi buaya.

Menurut Endi R. Yusuf dari Alobi, tempat rehabilitasi buaya mereka—di lahan reklamasi PT Timah—kewalahan oleh meningkatnya panggilan untuk menyelamatkan buaya.

Dengan menggabungkan analisis satelit dan data serangan, laporan konflik dari masyarakat, serta wawancara dengan perwakilan PT Timah, pakar konservasi, dan pejabat pemerintah, Finlan dan Nanda menyoroti kompleksitas masalah di Bangka Belitung. 

Sejumlah 67 sungai di Bangka Belitung—habitat alami buaya—hampir semuanya terdampak besar dan tidak lagi bisa menjadi habitat yang aman bagi buaya karena aktivitas tambang.

Enklosur buaya di Alobi seluas 250 meter persegi kini dihuni 35 ekor buaya—beberapa di antaranya memiliki panjang 7 meter—dan tidak ada tempat aman untuk melepasliarkan reptil itu.

“Melepas buaya ke habitat alaminya di Pulau Bangka tidak mungkin dilakukan karena habitat tersebut telah sangat rusak,” kata pendiri Alobi, Langka Sani.

Laporan juga menyoroti bahwa PPS itu butuh lebih banyak dukungan dari pemerintah dan para pemangku kepentingan. 

Dua jurnalis tersebut juga mengkritisi kurangnya tanggung jawab dari PT Timah, maraknya tambang ilegal, ketiadaan data populasi buaya, dan lemahnya koordinasi antara perusahaan tambang, dinas lingkungan, dan BKSDA.

Usai laporan terbit, mereka memutuskan mengadakan Diskusi Publik pada 28 Februari 2024 bersama Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, khususnya dengan Jurusan Konservasi Sumber Daya Alam,. 

Kegiatan ini dihadiri hampir 50 peserta, termasuk para pembicara, yaitu Kepala Dinas Lingkungan Hidup Fery Afriyanto, herpetolog senior BRIN Hellen Kurniati, Langka Sani, dan korban gigitan buaya. 

Uploaded content
Finlan memaparkan hasil liputan dalam Diskusi Publik yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia

“Kami percaya bahwa laporan berdampak tidak hanya diseminasi yang luas, tetapi juga harus menjangkau target yang relevan, dalam kasus kami adalah para pemangku kepentingan yang kami undang ke diskusi publik,” kata Aldan.

Dalam Diskusi Publik, pejabat DLHK, Fery Afriyanto, berkomitmen untuk mengaktifkan kembali satuan tugas konflik buaya-manusia.

Satuan tugas versi awal beranggotakan DLHK, BKSDA, dan Yayasan Alobi. Namun, minimnya koordinasi dan tanggung jawab yang tidak jelas, antarpihak membuat beban konflik buaya hampir sepenuhnya ditanggung Alobi. 

Kini, DLHK berupaya menambah anggota, termasuk PT Timah dan sejumlah perusahaan tambang dan sawit swasta yang beroperasi di Bangka Belitung, serta BRIN, untuk menyumbangkan keahlian, dan mengalokasikan dana baru untuk mengatasi konflik buaya. 

“Satgas ini dibentuk pada 2020 melalui keputusan gubernur. Namun, setelah dilakukan Diskusi Publik, kami melakukan revisi. Pada keputusan sebelumnya, pemerintah daerah tidak mengalokasikan dana untuk satgas, tidak dicantumkan. Dengan adanya revisi ini, kini ada dukungan dana untuk satgas. Pertemuan di Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung juga menjadi ajang untuk mendorong satgas agar lebih giat bekerja,” ujar pejabat DLHK Bangka Belitung, Hasanudin, saat diwawancarai EJN.

Peraturan gubernur yang direvisi itu hingga April 2025 masih "di meja gubernur", menunggu persetujuannya, kata Hasanudin. Namun, tidak ada jangka waktu yang ditetapkan berapa lama hal ini seharusnya berlangsung. 

Uploaded content
Pimpinan Seksi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, DLHK, Hasanudin, menunjukkan salinan draf keputusan gubernur saat melakukan panggilan video dengan Dewi Sari dari EJN. | Foto: Dewi Sari/EJN

Kolaborasi Lapangan dan Dampaknya

Sebelum terjun ke lapangan, Finlan dan Nanda berkoordinasi dengan jurnalis dari BBC Indonesia, Raja Eben Lumbanrau.

"Nanda berbagi ide dengan saya untuk meliput isu tentang serangan buaya di Bangka. Kami berkoordinasi untuk menyiapkan rencana masing-masing," kata Raja Eben kepada EJN.

Raja Eben menerbitkan laporanya dua minggu sebelum Garda Animalia, yaitu pada 4 Oktober 2023, dengan fokus pada masyarakat yang terdampak serangan buaya, NGO lokal, dan budayawan setempat.

“Sebagian besar media yang menerbitkan ulang berita kami awalnya menemukan isu ini melalui artikel BBC. Sebagai organisasi kecil dengan fokus pada isu satwa liar, berkolaborasi dengan jurnalis yang bekerja di media besar adalah salah satu strategi kami untuk memastikan berita kami menjangkau khalayak yang lebih luas,” ujar Finlan.

Raja Eben sepakat, ia menambahkan, "Penguatan jaringan antarjurnalis dapat membuat liputan lingkungan lebih berdampak karena ada eksplorasi ide yang lebih mendalam dan kemudian dilaporkan oleh berbagai platform media jurnalis tersebut.”

Finlan dan Nanda juga menyerahkan laporan yang telah mereka buat kepada pemerintah yang berisi rekomendasi dari para ahli.

Selain itu, mereka menerbitkan siaran pers dan menyebarkannya ke media lokal dan nasional.

Cerita tersebut menyebabkan lonjakan liputan dari media nasional dan internasional, kata tim di Alobi Foundation.

“Pada bulan Oktober 2023, banyak permintaan wawancara datang kepada kami dari media lokal atau nasional tentang buaya air asin yang terancam punah,” kata Endi Yusuf kepada EJN.

Aldan mengingat bahwa surat kabar dari negara lain turut menghubungi mereka.

Setidaknya 10 artikel diterbitkan tentang topik tersebut, menurut pemantauan media Garda Animalia.


Artikel yang Diterbitkan Finlan dan Nanda

  1. Membagi Muara untuk Buaya dan Manusia, terbit di Garda Animalia pada 18 Oktober 2023
  2. The island fast becoming the 'crocodile attack capital of the world’, terbit di Telegraph UK pada 30 Desember 2023 dengan Finlan Adhitya Aldan sebagai penulis kedua
  3. Perebutan yang Menghancurkan, terbit di Historia.id  pada 11 Januari 2024
  4. Timah dan Tuan Besar, terbit di Historia.id pada 11 Januari 2024
  5. Urun Daya Menyelesaikan Masalah Buaya dan Manusia, terbit di Garda Animalia pada 28 Februari 2024 untuk merangkum jalannya Diskusi Publik

Artikel yang Terbit setelah Laporan Utama Garda Animalia

  1. Konflik buaya dan manusia di Indonesia terparah di dunia, ratusan orang kehilangan nyawa - "Tangan Ibu sudah cacat dan lihat gambar buaya takut', diterbitkan BBC Indonesia pada 4 Oktober 2023
  2. Bangka Belitung Peringkat 3 Konflik Buaya dan Manusia, Tambang jadi Faktor Utama Terjadinya Serangan, terbit di Bangka Pos pada 28 Februari 2024
  3. Dalam 5 Tahun Terakhir, 40 Warga Babel Tewas Diserang Buaya, terbit di Kompas pada 28 Februari 2024
  4. Unmuh Babel Gelar Diskusi Publik Konflik Buaya Muara dan Manusia di Bangka Belitung, terbit di Tribun News Bangka Belitung pada 28 Februari 2024
  5. Indonesia Peringkat 1 Konflik Buaya dan Manusia, Penambangan Rusak Sungai, terbit di Kompas pada 28 Februari 2024
  6. Buaya & Manusia di Surga Timah, terbit di CNN Indonesia pada 26 Februari 2024
  7. Konflik Buaya dan Manusia di Bangka Belitung Meningkat Akibat Ekspansi Tambang Timah, terbit di Tempo pada 4 Maret 2024
  8. Buaya Muara: Permasalahan dan Saran Solusi, opini oleh Hellen Kurniati yang terbit di Garda Animalia pada 2 April 2024
  9. Konflik Manusia vs Buaya di Bangka Belitung Meningkat karena Kasus Korupsi PT Timah Harvey Moeis CS, terbit di Pikiran Rakyat pada 2 April 2024
  10. Sungai, Timah, dan Buaya Muara Terkait Gadget Kita, terbit di Mongabay Indonesia pada 16 Juni 2024
  11. Crocodile attacks in Indonesia have increase and experts say illegal tin mines are to blame, terbit di ABC News pada 15 Juni 2024
  12. Pemprov Babel bentuk satgas tangani konflik manusia dan satwa liar, terbit di Antara News pada 14 Maret 2024
  13. Alobi Bersama Jejak Petualang, tebit di Trans 7 pada 15 April 2024
  14. Your smartphone might be linked to crocodile attacks in Indonesia. Here's how, terbit di The Conversation pada 27 Mei 2024
  15. Konflik Buaya dan Manusia, 1 Korban Jiwa per Bulan di Bangka Belitung, terbit di Kompas pada 29 November 2024
  16. Membagi muara untuk buaya dan manusia, terbit di Ekuatorial pada 27 Oktober 2024

Pengakuan dari Akademisi

Buaya muara pernah ditemukan di seluruh Indonesia, hidup di muara sungai dan hutan bakau dari Sumatra hingga Papua, tetapi dengan hilangnya habitat dan perburuan selama bertahun-tahun, jumlah mereka menyusut di pulau-pulau terpadat di negara ini.

Menanggapi lonjakan permintaan kulit buaya pada tahun 80-an dan 90-an, pada tahun 1999, pemerintah Indonesia menjadikan buaya muara sebagai spesies yang dilindungi, yang berarti mereka tidak dapat dibunuh.

Sementara, beberapa penelitian sejak saat itu mencatat peningkatan penampakan buaya. Akan tetapi, pemerintah tidak memiliki data tentang populasi buaya muara di negara ini sehingga sulit untuk memantau dan menyesuaikan upaya konservasi.

Di daerah seperti Bangka Belitung, buaya bersaing untuk mendapatkan ruang dengan manusia dan mesin pertambangan, hal ini menimbulkan masalah bagi masyarakat dan buaya.

Serangan buaya memang menjadi berita lokal, tetapi cerita-cerita ini biasanya tidak memiliki analisis yang lebih mendalam tentang penyebabnya—seperti penambangan ilegal—atau solusi yang mungkin.

Para peneliti dan praktisi yang terlibat dalam konservasi buaya mengatakan mereka lega bahwa cerita Finlan dan Nanda tampaknya berdampak.

"Saya telah mengikuti dan mengumpulkan data serangan buaya dari Bangka Belitung (dan seluruh Indonesia) selama bertahun-tahun ketika Finlan menghubungi saya mengenai artikel tersebut. Saya merasa lega karena akhirnya ada yang mau memperhatikan masalah ini," kata Brandon Sidelau, pakar buaya muara dari Universitas Charles Darwin.

Brandon yang menjadi narasumber cerita tersebut kemudian menghubungi Yayasan Alobi melalui Finlan. Saat ini, ia tengah menunggu izin penelitian untuk melanjutkan studinya tentang konflik manusia-buaya di Bangka Belitung dan di seluruh Indonesia.

Ia mengatakan bahwa ia senang melihat bahwa artikel tersebut ternyata menjadi "karya jurnalisme yang fantastis dan telah membantu mengungkap masalah konservasi, ekologi, dan pengelolaan yang besar ini."

Kepada EJN, Yusuf dari Alobi bercerita tentang perjuangan PPS yang ia kelola dan perlunya visibilitas yang lebih besar terhadap situasi tersebut.

“Semakin banyak platform media yang melaporkan masalah ini, semakin banyak orang akan menyadari bahwa ada masalah serius di sini. Dengan lebih banyak laporan media, mudah-mudahan akan ada langkah menuju solusi konkret untuk mengatasi masalah tersebut—karena jika ini terus berlanjut seperti ini, akan sulit bagi kami sebagai lembaga nirlaba mengatasi masalah tersebut sebaik mungkin dengan keterbatasan yang ada,” kata Yusuf.

Meskipun Alobi menerima sejumlah pendanaan dari PT Timah—yang mengendalikan 90% pertambangan timah di Indonesia, dengan hampir semua konsesinya berada di Bangka Belitung—sebagai upaya rehabilitasi yang wajib lakukan, dan terkadang bermitra dengan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) milik pemerintah, laporan Garda Animalia menyoroti kurangnya sumber daya memadai yang mereka miliki.

Setelah rancangan keputusan tersebut diumumkan, Hellen Kurniati, yang merupakan herpetologis senior di BRIN, menulis opini tentang konflik tersebut di Garda Animalia pada Maret 2024. Pada Mei di tahun yang sama, Brandon menulis artikel di The Conversation untuk menarik perhatian internasional terhadap situasi di wilayah pertambangan tersebut.

Pada bulan Juli 2024, Kurniati memberi tahu EJN bahwa ia berencana untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang habitat ideal untuk rehabilitasi buaya, tetapi ia meninggal sebelum penelitian—atau relokasi—itu dapat terwujud.

Terus Mendorong Perubahan

Finlan menilai bahwa laporan yang ia tulis bersama Nanda memberikan dampak positif. Ia juga menyoroti manfaat pendanaan hibah EJN dan bimbingan mentor mereka, Florence Armein (mantan koordinator EJN di Indonesia).

“EJN telah memberikan dukungan yang besar bagi kami dalam membuat laporan yang berdampak,” ujar Finlan, yang berharap dapat melanjutkan kolaborasi dengan peneliti.

Keinginan untuk menindaklanjuti liputan juga disampaikan Nanda, “Saya berencana menulis liputan lanjutan ‘dua tahun setelah liputan buaya’, dan menagih komitmen pemerintah,” katanya.

Yusuf dari Alobi menyesalkan minimnya kemajuan, "Seolah pemerintah tak serius menanggapi, padahal banyak korban adalah rakyatnya sendiri."

Setelah liputan-liputan mengenai konflik buaya ramai diterbitkan, PT Timah terlibat dalam salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia, yang melibatkan penambangan di hutan lindung yang tersisa. Finlan menduga  bahwa hal ini telah "secara signifikan membayangi" upaya konservasi buaya.

Sampai saat ini, karena keputusan tersebut masih belum dilaksanakan, penambangan liar yang tidak terkendali terus merambah habitat buaya dan konflik terus berlanjut.


Empat kematian manusia akibat serangan buaya kembali dilaporkan selama 2025 sedang berjalan. 

Garda Animalia

Garda Animalia

Belum ada deskripsi

Related Articles