Menjarah
Menjarah
Menjarah
BeritaHukum

Modus Operandi: Selundupkan Burung dalam Semangka

2507
×

Modus Operandi: Selundupkan Burung dalam Semangka

Share this article
Modus Operandi: Selundupkan Burung dalam Semangka
Petugas BKSDA Jawa Tengah mengagagalkan upaya penyelundupan 200 ekor burung kacer. Foto: Ist

Gardaanimalia.com – Berbagai macam cara dilakukan penyelundup satwa untuk mengelabuhi petugas. Mulai dari menyimpan dalam botol plastik, peralon hingga semangka.

Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah memperhatikan dengan seksama para penumpang pesawat Lion Air JT536 yang mendarat di Bandara Adi Soemarmo Surakarta pada 16 Agustus 2020 lalu. Ada kabar salah seorang penumpang pesawat yang take off dari Bandara Raja Haji Fisabilillah Tanjungpinang, Kepulauan Riau membawa satwa liar tanpa dokumen.

pariwara
usap untuk melanjutkan

Seorang pria berinisial MZA, warga Pacitan, Jawa Timur akhirnya diperiksa. Petugas menemukan 200 ekor burung kacer dalam setumpuk keranjang plastik. Sebanyak 39 ekor di antaranya dalam keadaan mati.

Kacer memang tergolong bukan hewan dilindungi. Tapi untuk membawa ke daerah lain, butuh Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN).

“Pengangkutan satwa tersebut hanya dilengkapi Sertifikat Kesehatan Satwa dari Balai Karantina Pertanian Tanjungpinang tanpa dilengkapi dokumen angkut,” kata Kepala BKSDA Jawa Tengah Darmanto.

Burung-burung yang masih hidup selanjutnya disita dan dilepasliarkan kembali ke habitatnya di tempat asalnya.

Perdagangan dan pengangkutan satwa ilegal juga ditemukan petugas Balai Karantina Pertanian kelas 1 Semarang. Berbagai modus dilakukan agar bisa membawa satwa dari luar Jawa masuk ke Jawa Tengah.

Beragam Cara Penyelundupan

Kepala Balai Karantina Pertanian klas I Semarang, Parlin R. Sitanggang menjelaskan, pihaknya pernah menemukan burung cucak hijau dimasukkan dalam peralon. Satwa-satwa tangkapan alam tersebut dipaksa masuk dalam peralon yang membuat geraknya terbatas.

Buah semangka dibelah menjadi dua. Isinya dihilangkan sehingga menjadi longgar. Bagian bawah dilubangi sebagai ruang sirkulasi oksigen. Burung selanjutnya ditaruh dalam semangka tersebut. Kondisi ini membuat burung rawan mati bila kehabisan oksigen.

“Jadi masih banyak warga yang datang ke pulau Jawa melalui pelabuhan Tanjung Emas dengan membawa burung, khususnya burung yang dilindungi seperti cucak hijau, dengan cara yang tidak masuk akal,” kata Parlin.

Cara lainnya, penumpang berusaha mencari kelengahan petugas, Yakni dengan turun belakangan dan membawa tas jinjing. Mereka berharap petugas sudah capek dan tidak lagi memeriksa barang bawaannya. Tetapi petugas biasanya sudah curiga sehingga ketika diperiksa diketahui membawa hewan dilindungi.

“Mereka itu ada yang tahu, juga ada yang tidak tahu kalau hewan itu dilindungi sehingga burung itu dibawa. Katanya untuk oleh-oleh atau souvenir,” tambahnya.

Parlin mengatakan sejak 2015 sampai sekarang belum pernah menyelesaikan perkara kepemilikan hewan dilindungi sampai ke pengadilan. Sebab pemilik hewan tersebut rata-rata tidak tahu kalau ada surat-surat yang harus dilengkapi Ketika membawa hewan dilindungi maupun tidak.

“Kalau tidak keterlaluan, kami tidak memperkarakan sampai ke pengadilan. Kalau sekali (melakukan), paling hanya diberi penjelasan dan hewannya disita,” ujarnya.

Selama Januari-Agustus 2020, BKSDA Jateng berhasil mengantisipasi enam kasus perdagangan satwa dilindungi ilegal. Sementara pada 2019, ada 11 kasus perdagangan dan pemeliharaan hewan dilindungi secara ilegal berhasil diungkap. Mulai perdagangan elang alap nipon, elang tikus, owa jawa, kakatua raja, rusa, serta jalak bali. Penyidikan kasus perdagangan ilegal ini berada di tangan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan(PPHLHK) wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Jabalnusra) Surabaya atau Kepolisian Republik Indonesia.

Kepala BKSDA Jawa Tengah Darmanto menjelaskan, sebenarnya pemerintah tidak melarang masyarakat jika ingin memelihara dan memperdagangkan hewan dilindungi. Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 19 Tahun 2015 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa liar yaitu satwa yang berada pada unit penangkaran. Satwa yang dihasilkan dari unit penangkaran dari hasil pengembangbiakan generasi kedua (F2) dan generasi berikutnya. Selain itu harus memegang izin penangkaran secara resmi.

“Untuk memudahkan penelusuran asal usul (tracking) spesimen hasil penangkaran, penandaan dilengkapi dengan sertifikat resmi,” ujarnya.

Sebagai upaya pencegahan perdagangan satwa dilindungi ilegal, BKSDA terus melakukan sosialisasi dan pendampingan. Saat ini setidaknya ada 470 penangkaran satwa dilindungi dengan 155 jenis satwa. Mulai dari mamalia, reptil serta penangkaran aves (jenis burung). “Khusus penangkaran aves jumlahnya yang paling banyak ada di Klaten,” tambahnya.

Selain melengkapi dan memiliki izin, penangkar juga berkewajiban untuk pengembalian ke habitatnya (restocking) satwa dilindungi ke alam asalnya. Pihaknya terus memantau dan mengawasi peredaran hewan dilindungi di Jateng. Sebab, jika hewan dilindungi diperdagangkan ilegal tentu mengancam spesies di alamnya.


Sumber: Radar Semarang Digital

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments