Gardaanimalia.com – Di balik setiap bayi orangutan yang dijual, di balik setiap potongan tubuh harimau dan gajah yang diperdagangkan, terdapat jaringan kejahatan yang rapi, terorganisir, dan terus beroperasi dalam bayang-bayang lemahnya penegakan hukum.
“Ini bukan lagi kejahatan perorangan. Perdagangan satwa liar di Aceh adalah kejahatan terorganisir,” kata Koordinator Investigasi dan Penegakan Hukum Yayasan HAkA Tezar Pahlevie, Kamis (26/6/2025).
Ia menjelaskan, jalur laut menjadi rute utama penyelundupan satwa, terutama untuk bayi orangutan sumatera yang harus dijual hidup-hidup agar memiliki nilai tinggi di pasar gelap.
“Rute yang sering digunakan adalah jalur laut, terutama di wilayah Langsa dan Aceh Tamiang,” jelasnya.
Harimau sumatera dan gajah sumatera, dua spesies ikonik yang statusnya kian terancam punah, justru sering menjadi korban. Mereka diburu dengan jerat, lalu dibunuh. Organ tubuh mereka, dari kulit hingga gigi taring, dijual sebagai komoditas.
“[Kabupaten] Bener Meriah jadi wilayah paling tinggi dalam kasus perdagangan harimau,” sebut Tezar.
Faktor utama yang memperparah situasi ini, kata Tezar, adalah lemahnya deteksi dini dan pengawasan di wilayah hutan yang sangat luas karena minim penjagaan.
“Selama kawasan hutan dibiarkan tanpa perlindungan serius, kejahatan ini akan terus berulang,” katanya.
Konflik antara manusia dan satwa liar yang muncul akibat perambahan hutan juga memperburuk keadaan.
“Masyarakat yang terganggu oleh satwa liar, bukannya dibantu, justru terdorong memburu. Ini masuk ke rantai pasok perdagangan ilegal,” tambahnya.
Yayasan HAkA menekankan bahwa edukasi dan sosialisasi belum cukup untuk menyelamatkan satwa. Diperlukan penegakan hukum yang tegas, sistematis, dan tidak kompromistis.
“Jika negara benar-benar ingin menyelamatkan satwa liar, maka jaringan pelaku harus diputus hingga ke akarnya. Perlindungan tidak bisa setengah hati,” tutup Tezar.
Foto sampul: Kulit dan tulang harimau sumatera yang berhasil disita oleh BKSDA Aceh | Foto: Mardili
Penulis: Mardili