Gardaanimalia.com – Daftar satwa yang terancam punah terus bertambah setiap tahunnya. Sekitar 30,000 spesies atau 27% dari 1,120,000 spesies menghadapi kepunahan seperti yang dilaporkan IUCN. Populasi global mamalia, burung, amfibi, reptil, dan ikan telah mengalami penurunan rata-rata dua pertiga dalam waktu kurang dari setengah abad sebagian besar karena kerusakan lingkungan.
Data dari WWF Living Planet Report melaporkan bahwa jumlah populasi satwa liar mengalami penurunan hampir 70% dalam waktu kurang dari 50 tahun. Sementara, studi terbaru dari WWF yang mempelajari populasi spesies vertebrata antara 1970 hingga 2016, menemukan bahwa populasi menurun hingga 68%.
Peneliti mengatakan bahwa manusia menjadi salah satu penyebab kepunahan populasi satwa liar di alam bebas, dibandingkan dengan kepunahan satwa yang pernah terjadi sebelumnya. Manusia mempercepat kepunahan dan mengubah dunia alam dengan kecepatan yang ‘belum pernah ada sebelumnya.’
Selama 50 tahun terakhir, hilangnya keanekaragaman hayati global terutama didorong oleh aktivitas seperti pembukaan hutan untuk lahan pertanian, perluasan jalan dan kota, penebangan, perburuan, penangkapan ikan berlebihan, polusi air, dan pengangkutan spesies invasif ke seluruh dunia.
Dampak manusia begitu besar sehingga para ilmuwan mengusulkan agar era Holosen dinyatakan berakhir dan periode saat ini (dimulai sekitar tahun 1900) disebut Antroposen: zaman ketika “efek lingkungan global dari peningkatan populasi manusia dan pembangunan ekonomi” mendominasi kondisi fisik, kimia, dan biologi planet. PBB baru-baru ini menunjukkan bahwa peristiwa kepunahan keenam sedang terjadi. Ini menyatakan bahwa manusia sekarang menyebabkan kematian sekitar 200 spesies per hari.
Apa yang akan terjadi apabila satwa punah?
Dalam konsep ekosistem, tumbuhan dan hewan (termasuk manusia) bergantung satu sama lain serta mikroorganisme, tanah, air, dan iklim untuk menjaga agar seluruh sistem kita tetap hidup dan sehat. Kepunahan satwa dapat menghambat proses ekosistem dan menghasilkan masalah baru.
Hilangnya satu elemen atau satu spesies dari ekosistem, maka perubahan kecil dapat menyebabkan masalah besar yang tidak mudah diperbaiki. WWF pernah menyampaikan, “Ketika Anda menghilangkan satu elemen dari ekosistem yang rapuh, itu memiliki dampak yang luas dan bertahan lama pada keanekaragaman hayati.”
Julia Heinen dari Universitas Kopenhagen mengatakan salah satu contoh jasa penyebaran biji oleh satwa dalam regenerasi hutan. Tanpa adanya satwa penyebar biji, seperti gajah, orangutan, reptil dan banyak jenis burung, regenerasi hutan dapat terhambat atau bahkan terhenti.
“Ini karena banyak burung, mamalia, dan reptil memberikan manfaat penting bagi tanaman dengan memakan buahnya yang mengandung biji,” kata Heinan dikutip dari sciencenordic.
Menurutnya, setelah beberapa saat, benih ini akan keluar lagi dan mendarat di tempat lain. Ini adalah jumlah tanaman yang berpindah di antara area yang berbeda untuk memastikan benih kecilnya dapat tumbuh di tempat yang baik.
Perlu ambil tindakan
Marco Lambertini, Direktur Jenderal WWF International mengatakan bahwa penurunan populasi satwa liar menjadi indikator bahwa alam sedang terganggu.
“Kita tidak dapat mengabaikan bukti ini. Ini memberikan peringatan kepada kita mengenai kegagalan sistem,” katanya dilansir dari laman WWF.
Laporan WWF mengatakan tahun 2020 telah menjadi tahun penting yang memaksa kita untuk mengevaluasi kembali hubungan manusia dengan alam. Pandemi global yang sedang berlangsung, peristiwa cuaca ekstrem, kebakaran hutan yang menghancurkan, semua terjadi di tahun ini.
“Di tengah pandemi global, penting untuk mengambil tindakan global yang belum pernah dilakukan. Untuk menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati dan kepunahan satwa liar di seluruh dunia. Melindungi kesehatan dan mata pencaharian di masa depan. Kehidupan kita sangat bergantung padanya,” ungkap Lambertini.
WWF telah menerbitkan makalah di jurnal Nature bertajuk Bending the curve of terrestrial biodiversity needs an integrated strategy. Dalam jurnal ini diuraikan upaya untuk mengatasi masalah hilangnya keanekaragaman hayati.
Studi tersebut berpendapat bahwa upaya global yang terkoordinasi, lebih berani dan lebih ambisius, perlu dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menstabilkan dan membalikkan kondisi hilangnya keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh perusakan habitat oleh manusia.
Menurut mereka, caranya bisa dimulai dengan membuat produksi makanan lebih efisien, mengurangi limbah, dan memilih pola makan yang lebih ramah lingkungan.
[…] http://berita.upi.edu/capung-bio-indikator-dari-bangsa-odonata/https://gardaanimalia.com/30000-jenis-satwa-hadapi-kepunahan-karena-kerusakan-lingkungan/ […]