Menjarah
Menjarah
Menjarah
Berita

714 Burung Sitaan Dikembalikan Balai Karantina ke Pemilik Satwa

1234
×

714 Burung Sitaan Dikembalikan Balai Karantina ke Pemilik Satwa

Share this article
Burung liar dari berbagai jenis yang sempat disita sebelum akhirnya dikembalikan kepada pemiliknya. | Foto: Istimewa/Detiknews
Burung liar dari berbagai jenis yang sempat disita sebelum akhirnya dikembalikan kepada pemiliknya. | Foto: Istimewa/Detiknews

Gardaanimalia.com – Sebanyak 714 burung ilegal yang diselundupkan dari Pulau Bali menuju Jawa sempat disita, kemudian dikembalikan oleh Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar kepada pemilik satwa.

Hal itupun menuai kritik dari Flight Protection Indonesia’s Birds yang mana pihaknya terlibat dalam melakukan penghentikan pengiriman burung ilegal tersebut bersama dengan petugas karantina setempat.

pariwara
usap untuk melanjutkan

“Burung itu disita, tetapi kemudian burung sitaan itu anehnya dikembalikan ke pedagangnya, pemiliknya. Padahal (pengiriman) burung itu jelas ilegal,” ungkap Marison Guiciano, Direktur Eksekutif Flight Protecting Indonesia’s Birds, Sabtu (29/1) dilansir dari Detiknews.

Ia mengatakan bahwa pihaknya sebagai LSM fokus membantu pemerintah dalam melakukan pemberantasan perdagangan burung liar secara ilegal.

Sehingga, sebut Marison, Flight Protecting Indonesia’s Birds pun melakukan pengumpulan informasi mengenai adanya perdagangan satwa ilegal melalui proses investigasi.

“Jadi begitu ada informasi penyelundupan burung, kita laporkan ke petugas dalam hal ini karantina atau bisa ke BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam), kepolisian,” ujarnya.

Dalam proses investigasi tersebut, pihaknya telah mengungkap upaya penyelundupan dalam dua waktu yaitu pada Jumat (21/1) dan Rabu (26/1).

Ia kemudian merincikan, penyelundupan yang pertama itu terjadi melalui Pelabuhan Gilimanuk, Kabupaten Jembrana, Bali dan berhasil menggagalkan sebanyak 338 ekor burung dari berbagai jenis.

Adapun jenis burung yang disita tersebut yaitu burung kepodang 40 ekor, burung awar-awar 37 ekor, burung kaca mata atau pleci 18 ekor, burung strawberry atau pipit benggala 105 ekor, anis kembang 2 ekor, burung decu 1 ekor, burung brangjangan 24 ekor, burung gelatik 3 ekor dan burung cendet 58 ekor.

Selanjutnya, penyelundupan kedua yang terjadi melalui Pelabuhan Ketapang, Kabupaten Banyuwangi pun berhasil digagalkan oleh pihaknya bersama Kantor Karantina Pertanian Pelabuhan Ketapang.

Saat itu burung yang berhasil disita sebanyak 376 yang terdiri dari burung pleci 182 ekor hidup dan 28 ekor mati, burung cucak kombo 48 ekor hidup dan 2 mati, burung awar-awar 27 ekor hidup dan 9 ekor mati.

Selain itu, juga ada burung anis kembang 4 ekor hidup dan 1 mati, burung anis merah 60 ekor hidup, burung kepodang 11 ekor hidup, burung anis kopi 4 ekor hidup.

Dari 376 burung ilegal yang diamankan tersebut, hanya 336 ekor yang masih hidup, dan sisanya sebanyak 40 ekor ditemukan dalam keadaan mati.

Burung-burung yang digagalkan dari dua lokasi berbeda itu, menurut Morison telah diserahkan kepada Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar.

“(Burung-burung yang disita) dilepasliarkan di Bali seharusnya. Tetapi kemudian justru dikembalikan lagi ke pemiliknya. Alasan (Balai Karantina Pertanian Denpasar) katanya karena BKSDA tidak mau menerima. Nah ini jadi pertanyaan besar begitu lho,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa penyelundupan burung tersebut setidaknya memiliki dua jenis pelanggaran. Pertama pengiriman burung pleci yang berstatus satwa dilindungi telah melanggar Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Kemudian, lanjut Morison, pengiriman burung liar yang belum berstatus dilindungi itupun melanggar Undang-Undang Nomor 21 tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan.

Pasalnya, proses pengiriman satwa lair tersebut tidak dilengkapi dengan surat angkut tumbuhan dan satwa liar dalam negeri (SATS-DN) yang seharusnya dikeluarkan oleh BKSDA Bali.

“Padahal burung itu jelas ilegal. Karena tidak ada SATS-DN, karena untuk mengambil burung di alam kan harus ada izin, harus ada izin sama untuk transportasikan ke luar pulau juga harus ada surat angkut tumbuhan dan satwa liar dalam negeri SATS-DN. SATS-DN itu dikeluarkan oleh BKSDA,” ungkap Morison.

Sementara itu, I Nyoman Ludra, penanggungjawab Karantina Pertanian Wilayah Kerja (Wilker) Pelabuhan Gilimanuk menyebut bahwa penyelundup tidak langsung bisa dikenakan pidana.

Hal itu dikarenakan dalam Undang-Undang Karantina mengatakan bahwa pihak yang mengirim mempunyai kesempatan untuk mengurus dokumen karantina selama tiga hari.

“Kalau kita taruh burungnya itu di kantor selama tiga hari, dia pasti mati semua. Nah itu alasan kita (mengembalikan) kepada pemilik. Di Undang-Undang kita ada seperti itu, ada kesempatan dari pemilik untuk mengurus dokumen karantina,” terang Ludra.

Ia menegaskan bahwa pemilik burung itu juga sudah bersedia untuk membuat surat pernyataan dan melakukan pengurusan dokumen.

Menurut Ludra, sebenarnya burung yang diselundupkan tersebut memang boleh dikirim ke luar pulau dengan syarat memiliki dokumen yang lengkap.

“Artinya burung-burung yang masuk Apendiks itu enggak ada, yang sangat dilindungi itu tidak ada, burung-burung biasa, burung-burung di hutan. Dia memang termasuk burung liar,” imbuhnya.

Kemudian berkaitan dengan satwa dilindungi yaitu burung pleci, Ludra mengatakan bahwa satwa liar tersebut sudah diserahkan ke BKSDA Bali dan telah dilepasliarkan di wilayah Gilimanuk.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments