Gardaanimalia.com – Konflik manusia dengan satwa liar masih menjadi polemik hingga saat ini. Dalam beberapa waktu ini, konflik manusia dengan gajah liar terjadi di Gampong Pulo Teungoh, Kecamatan Pante Ceureumen, Kabupaten Aceh Barat, Aceh.
Kasus pertama diketahui pada hari Senin (16/9/2024) silam. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Aceh Barat menerima laporan adanya gajah liar turun ke kawasan permukiman dan merusak tanaman sawit warga setempat.
Laporan ini disampaikan oleh aparatur desa Pulo Tengah, Kecamatan Pante Ceureumen.
“Gajah liar turun ke kawasan Gampong Pulo Tengah pada 16 September 2024. Menurut informasi yang diterima, kawasan ini sudah cukup lama tidak terjadi konflik gajah,” ungkap Ronald Nehdiansyah, Plt Kepala Pelaksana BPBD Aceh Barat, yang dilansir dari CATAT.CO pada Kamis (19/9/2024).
Tim Wildlife Response Unit (WRU) dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Barat segera turun ke lokasi pada keesokan harinya (17/9/2024).
Mereka melakukan patroli serta pemantauan di lapangannya. Hasil pengamatan tercatat adanya kerusakan tanaman sawit milik warga Pulo Teungoh sebanyak 300 batang.
Pulo Teungoh Jadi Kawasan Konflik Baru
Menurut Ronald, Pulo Teungoh menjadi kawasan konflik baru dengan satwa dengan sebutan po meurah ini.
“Ini menjadi kawasan konflik baru, yang terpantau ada tiga ekor tapi kita belum tahu berapa semuanya. Gerombolan gajah di kawasan ini berbeda dengan yang pernah masuk ke permukiman warga Lawet, Lango, dan Canggai”, tambahnya.
Pj Bupati Aceh Barat, Mahdi Efendi, mengimbau warga pada Kamis (19/9/2024) untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap meningkatnya aktivitas kawanan gajah liar, terutama pada malam hari.
“Tanaman sawit yang baru ditanam menjadi salah satu makanan favorit gajah,” ujarnya.
Sebagai langkah antisipatif, Mahdi telah menginstruksikan BPBD dan instansi terkait lainnya untuk terus memantau kondisi di wilayah rawan konflik gajah.
“Tim WRU harus siaga penuh, terutama di daerah yang dikenal rawan konflik satwa liar. Pemantauan intensif dan langkah-langkah mitigasi harus segera dilakukan,” tegasnya.
Tim BPBD, melalui Ronald Nehdiansyah, menegaskan pihaknya akan menindaklanjuti instruksi tersebut dengan mengintensifkan pemantauan di daerah rawan serta mengupayakan langkah preventif di lapangan.
“Tim WRU-BPBD Aceh Barat bersama dengan Tim BKSDA Aceh masih terus melakukan upaya-upaya penanganan darurat penghalauan gajah liar di wilayah perkebunan warga di gampong Pulo Teungoh, Kecamatan Pante Ceureumen. Untuk itu kami mengimbau masyarakat untuk selalu waspada dan mengikuti arahan dari petugas terkait apabila kondisi konflik satwa liar semakin memburuk,” ujar Ronald.
Ia menekankan perlunya metode penanganan yang lebih permanen, seperti pemasangan kawat kejut khusus satwa (power fence) di wilayah yang sering dilalui gajah dan pemasangan GPS pada gajah liar.
“Dengan GPS, pergerakan gajah dapat dipantau sehingga petugas dapat lebih cepat bertindak jika kawanan gajah mendekati pemukiman,” tutupnya.
Konflik Gajah Liar dan Masyarakat di Aceh Bukanlah Isu Baru
Meskipun ini merupakan kasus baru di daerah Pulo Teungoh, konflik gajah dan manusia bukanlah hal baru di Aceh.
Disebut sebagai konflik manusia dengan satwa liar ketika ada wilayah yang beririsan antara wilayah manusia dengan wilayah satwa. Manusia mau tidak mau harus berbagi ruang dengan satwa. Terlebih, gajah umumnya menyukai tanaman berpelepah dan berserat seperti pisang dan sawit.
Kemunculan gajah yang turun ke area pemukiman juga karena faktor makanan yang gajah sukai. Untuk itu, kerjasama antar pihak harus terus berjalan untuk menjaga kesejahteraan manusia maupun keselamatan satwa liar dengan tidak sebatas memandang satwa sebagai pihak yang merugikan.
Dilansir dari National Geographic, untuk diketahui bahwa setiap gajah umumnya perlu makan sekitar 330 pon (150 kg) tumbuh-tumbuhan setiap harinya. Untuk memenuhi kebutuhan makanannya yang cukup tinggi, gajah juga melakukan rute migrasi yang panjang.
Keselamatan gajah untuk bertahan hidup ini juga bergantung pada pengetahuan mereka tentang rute. Ingatan gajah cukup kuat dan sangat berperan besar dalam mengingat rute migrasi panjang yang mencakup sumber daya pohon dan air.