Menjarah
Menjarah
Menjarah
Liputan Khusus

Cahyo Rahmadi: Penelisik Kehidupan Arthropoda di Ruang Bawah Bumi

160
×

Cahyo Rahmadi: Penelisik Kehidupan Arthropoda di Ruang Bawah Bumi

Share this article
Pencatatan Stennacius javanicus di Goa Cikarae oleh Cahyo Rahmadi, Kelapa Nunggal, Kabupaten Bogor Jawa Barat (15/05/2024). | Foto: Rakhanda Fatharana/Garda Animalia
Pencatatan Stennacius javanicus di Goa Cikarae oleh Cahyo Rahmadi, Kelapa Nunggal, Kabupaten Bogor Jawa Barat (15/05/2024). | Foto: Rakhanda Fatharana/Garda Animalia

Gardaanimalia.com – Pria berkacamata itu memasang helm dan lampu kepala pelan-pelan. Badannya tampak kurus bugar dengan coverall merah dan perlengkapan penelusuran gua yang melekat di badannya.

Di Klapanunggal, Kabupaten Bogor yang terik itu, Ia mengajak sekira 13 mahasiswa magang dan peneliti untuk bergabung dengan penelusurannya. Dua orang mengikutinya ke dalam gua, sisanya mencari serangga untuk dijadikan bahan penelitian.

pariwara
usap untuk melanjutkan

Namanya adalah Cahyo Rahmadi, peneliti arthropoda yang bekerja di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kecintaannya terhadap satwa liar yang ada di gua muncul sejak 28 tahun lalu—ketika Ia menjadi mahasiswa Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan bergabung dengan organisasi pecinta alam Matalabiogama.

Dia mengingat tentang gua-gua yang pernah Ia telusuri, “Hmmm… Dari pulau Sumatra hingga Papua pernah. Paling sulit tentunya gua vertikal yang mesti menggunakan tali yang proper. Kalau kata orang-orang dulu, tali adalah hidup dan nyawamu,” kata dia.

Bisa diceritakan perjalanan awal Anda tertarik dengan penelusuran dan satwa liar yang ada di gua?

Jadi pada masa S1 dulu, saya berkuliah di Fakultas Biologi UGM. Saya masuk pada 1995 dan bergabung dengan Matalabiogama, organisasi pecinta alam Fakultas Biologi pada 1996.

Aktivitasnya tentu seputar naik gunung, panjat tebing hingga penelusuran gua. Saya kuliah di Jurusan Biologi, karenanya saya tertarik dengan arthropoda dalam gua.

Penelitian gua saya pun dimulai dari penelitian skripsi tentang kotoran kelelawar yang ada di gua pulau Nusakambangan, Jawa Tengah, dan selesai pada tahun 2000.

Kemudian pada 2002, saya mulai bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), untuk membantu proyek penelitian di karst Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan. Dari proyek itu, saya bergabung di pusat penelitian Biologi LIPI untuk laboratorium serangga, khususnya arthropoda gua.

Nah, disitulah saya mulai tertarik, tidak hanya arthropoda khusus, tetapi juga secara umum. Dari kelompok serangga sampai laba-laba. Saya juga menyoroti upaya konservasinya.

Apa yang membuat Anda tertarik dengan biota gua?

Selain pengalaman dan ketertarikan dengan gua, penelitian tentang biota gua juga tidak terlalu banyak yang menekuni. Bahkan terhitung jari, lah.

Nah, dari situ saya coba memulai. Alhamdulillah ketika itu ada senior dari LIPI dan belajar. Saya ambil [bidang ini] karena tidak banyak orang berkecimpung di dunia itu.

Mempelajari apa yang ada di dalam gua juga menarik karena kondisi lingkungannya berbeda-beda, dengan biota yang berbeda pula. Dengan kondisi itulah satwa yang ada di dalamnya sangat spesifik, pula evolusi serta proses adaptasinya.

Tantangan meneliti satwa gua itu…

Tantangan tentu banyak, ya. Kondisi gua tersendiri juga sudah dalam tahap ekstrem, lingkungannya juga tidak biasa bagi manusia untuk keluar masuk.

Di sisi lain, perjalanan untuk mencapai guanya juga sudah menantang, apalagi sampai masuk ke dalamnya. Karena saya punya bekal. Meneliti dan dasarnya adalah penelusur gua, jadi saya memiliki teknik menelusuri gua, baik secara horizontal maupun vertikal. Artinya, secara prosedur keselamatan sudah cukup.

Ketika prosedur dasar itu sudah ada, baru peneliti bisa beranjak ke kegiatan penelitian sehingga aman. Apalagi kondisi karst di Indonesia kan relatif sulit diakses. Semacam adventure untuk sains. 

Gua mana yang cukup sulit?

Gua itu kadang terlihat mudah tapi kenyataannya susah. Satu, kita bisa saja tersesat di dalam gua. Tak hanya di dalam hutan, tetapi di gua juga bisa [tersesat]. Kadang karena kondisi lorongnya lebar dan luas, kita jadi tidak tahu arah. Apalagi jika kita sembari mencari biota, kadang buat kita juga terlena.

Nah, yang paling menantang pengalaman saya, ya, gua vertikal dalam dengan sungai bawah tanah yang besar. Ibarat kata, Sungai Ciliwung ada di dalam gua. Kemudian yang paling parah, kebanjiran. Membahayakan. Nah, itu menjadi tantangan tersendiri. Masuk gua vertikal itu yang paling berisiko. Turunnya saja fisik sudah terkuras, belum naiknya lagi.

Cahyo Rahmadi sedang berada di dalam Gua Cikarae untuk melakukan penelitian satwa gua. | Foto: Rakhanda Fatharana/Garda Animalia
Cahyo Rahmadi sedang berada di dalam Gua Cikarae untuk melakukan penelitian satwa gua. | Foto: Rakhanda Fatharana/Garda Animalia

Dalam beberapa jurnal dan penelitian, Anda disebut menemukan beberapa satwa gua, seperti udang purba. Dapat dijelaskan?

Jadi pada 2004 silam, saya bersama kolega dari Prancis menemukan udang purba atau Stenasellus javanicus. Nah, authoritynya ada di saya dan kolega saya. Kemudian karena saya menekuni pekerjaan taksonomi, pekerjaan saya, ya, menemukan spesies baru untuk saya deskripsikan.

Kalau tidak salah, total sudah ada 9 sampai 10 spesies baru yang saya deskripsikan dan authoritynya ada di saya.

Saya juga punya tabungan beberapa untuk jenis baru, tetapi sekali lagi untuk mendeskripsikan itu adalah bidang ilmu yang tidak mudah, karena kita harus tahu sejarah penemuan spesies-spesies yang menjadi kerabatnya.

Kalau dari biota gua, sekitar sepuluh yang sudah dideskripsikan. Saya juga menemukan biota dan kemudian dideskripsikan sebagai spesies baru oleh kolega-kolega saya, seperti kepiting dan udang. Hal itu juga menurut saya menjadi penting, sehingga tidak hanya dari sisi saya pribadi, tapi juga berkontribusi untuk ilmu pengetahuan untuk dieksplorasi lebih jauh. 

Siapa yang menginspirasi Anda dalam meneliti satwa gua?

Saya pertama kali mengenal tentang satwa gua itu dari senior saya di Matalabiogama. Namanya Mas Noto Winarto dan ketika itu pada tahun 1980-an sudah ada yang meneliti biologi gua, arthropoda, ekor pegas.

Kemudian mulai ketemu Professor Yayuk Suhardjono, peneliti LIPI dan mentor saya. Dia juga punya kolega asal Prancis.

Nah, mulai dari situ saya mengenal keduanya dan intens melakukan kegiatan penelitian. Kira-kira itulah yang menjadi inspirasi saya untuk berkontribusi terkait keanekaragaman hayati gua di Indonesia.

Adakah keraguan dalam meneliti satwa gua?

Kalau saya masuk gua, ya, nyemplung total. Alhamdulillah karena saya sebagai peneliti, saya bisa menekuni dalam satu bidang.

Saya suka karena ini bisa mendukung saya dalam konteks pekerjaan sebagai peneliti. Berbeda kalau misalnya saya punya minat di biologi gua, tapi saya tidak bekerja di bidang itu. Pasti ada barrier sendiri.

Tapi karena saya sebagai peneliti di bidang biologi, jadi, ya, mau gak mau ia menjadi satu hal yang mendorong saya untuk lebih banyak penelitian tentang gua.

Apa kabar dengan penelitian satwa gua di Indonesia?

Untuk sekarang yang fokus di invertebrata atau arthropoda gua sebenarnya tidak banyak. Kalau boleh dibilang, sepuluh jari pun masih belum ada. Tapi untuk kerja penelitian mamalia, seperti kelelawar yang ada di gua itu banyak. Ada lah beberapa. 

Jadi, kalau di Indonesia, bisa dibilang yang punya kemampuan untuk melakukan inventarisasi, kemudian koleksi, lalu identifikasi, kemudian publikasi masih relatif sedikit.

Dan itu mungkin perlu satu upaya besar untuk, ayolah, kita berperan mengeksplorasi kehidupan yang ada di dalam gua, sebab ancamannya juga besar. Jangan sampai ketika kita eksplorasi, satwanya sudah rusak dan habis duluan.

Karena benturan kepentingan karst sangat besar sehingga kedepannya jangan sampai kita itu kejar-kejaran. Belum sempat inventarisasi, identifikasi, tetapi kita sudah tidak punya informasi apa pun dan itu tentu sebuah kerugian.

Itu bisa jadi pengingat bahwa banyak yang belum kita ungkap, khususnya di dalam gua. Kontribusinya pun bisa dilakukan tidak hanya inventarisasi. Sekadar foto pun sebenarnya sudah satu hal sederhana.

Intinya, upaya apa pun dengan teknologi dan apa yang kita punya, bisa dimanfaatkan untuk membantu perkembangan ilmu pengetahuan. 

Bagaimana caranya menjadi profesional sebagai peneliti biota gua?

Sebenarnya jika orangnya memiliki pengetahuan biologi, seperti serangga, arthropoda, kemudian bisa mengidentifikasi ini dari kelompok apa, ordo apa, adalah salah satu hal sederhana yang bisa dilakukan. “Oh, mas, saya menemukan jangkrik di sini dengan jumlah sekian.” Itu sudah hal yang bagus.

Namun, jika kita berangkat ke arah profesional, di mana artinya kita punya benefit di situ, jalan yang paling memungkinkan kalau gak jadi peneliti, ya, dosen. Tapi bila hobi, tidak menutup kemungkinan.

Teman-teman yang tidak punya latar belakang pekerjaan secara khusus sebagai peneliti, tetapi punya pengetahuan dan kemampuan, saya kira akan menjadi penting.

Karena jika kita hanya bicara tentang peneliti, tentu jumlahnya terbatas. Tetapi jika dalam konteks citizen science, kontribusi semacam itu akan menjadi nilai lebih. Tidak profesional pun tidak masalah selama itu bisa menambah pengetahuan dan kebaruan dari informasi tentang biota gua. 

Bagaimana dengan penghobi?

Ini mungkin jadi satu upaya sederhana. Semisal, saya senang bergaul dengan kawan-kawan pecinta alam atau penelusur gua, dengan diskusi sederhana, “Oh, ya, mas, saya menemukan ini di sana, ini fotonya,” sudah menjadi dampak positif yang bisa menjadi modal untuk melakukan tahap berikutnya.

Contohnya, saya dengan teman-teman seperti di Klapanunggal ini, saya berkomunikasi dengan mereka. Baik di Leuwikaret atau arah Narogong sana. “Mas, saya menemukan ikan, nih.”, [saya balas] “Wah, cocok, nih. Nanti kita tindak lanjuti.” Itu satu hal sederhana yang sebenarnya mempermudah.

Hobi penelusuran gua boleh. Namun, juga perlu kita bicarakan terkait dokumentasi yang dapat menjadi modal untuk menambah pengetahuan.

Bagaimana regenerasi penelitian satwa gua?

Satu untuk meneliti biota gua, ya, pertama harus punya kemauan. Artinya, dengan keterbatasan pengetahuan kemudian tempat atau lokasi yang kita tuju, kan bukan hal mudah. Itu bisa menjadi tantangan tersendiri kalau teman-teman generasi muda itu bisa menembus barrier itu.

Saya kira akan banyak anak muda yang bisa mulai menekuni atau meneruskan sebagai regenerasi penelitian tentang biota gua.

Dan saya kira beberapa tahun terakhir sudah mulai banyak untuk tugas akhir kuliah dan lain-lain. Sudah mulai banyak. Tapi, ya, itu sebatas berhenti di situ.

Nah, yang menjadi tantangan bagaimana mencetak generasi baru untuk bisa konsisten meneliti. Namun, sekali lagi, jika hanya sekedar sampingan, tidak bisa.

Apa pesan konservasi yang ingin Mas Cahyo sampaikan?

Gua dan karst adalah satu ekosistem yang sangat penting dalam konteks keanekaragaman hayati, tetapi juga sekaligus sebagai penyangga kehidupan untuk penyediaan air bersih.

Ke depan, tantangan semakin besar karena benturan kepentingan antara pemanfaatan di kawasan karst sangat besar, terutama untuk kebutuhan pembangunan.

Ke depan, saya harap upaya-upaya inventarisasi dari hal-hal sederhana itu bisa dilakukan oleh siapa saja, dan banyak pihak yang tergugah.

Jangan sampai kita belum meneliti, tetapi sudah rusak duluan. Karena tantangan ke depan kawasan karst itu, kalau boleh dibilang, ekosistem kritis. Perlu kita perkuat upaya-upaya konservasinya.

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments