Opini

Satwa Diperdagangkan, Integritas Institusi Digadaikan?

23 Juni 2025|By Garda Animalia
Featured image for Satwa Diperdagangkan, Integritas Institusi Digadaikan?

Sebuah opini untuk mengkritisi alibi Bripka Alfi dalam kasus perdagangan 1,2 ton sisik trenggiling di Kabupaten Asahan.

Gardaanimalia.com - Trenggiling duduk di posisi pertama sebagai mamalia yang paling banyak diperdagangkan, melampaui perdagangan mamalia darat terbesar yang masih hidup, yaitu gajah. Pada trenggiling, sisiknya terus menjadi target buruan, dipasok dari berbagai daerah, dikumpulkan dalam jumlah besar dan dijual dalam nominal yang menggiurkan.

Kejahatan yang berulang terus-menerus mencoreng wajah penegakan hukum di Indonesia. Masih ingat kasus di Sumatra Utara yang melibatkan dua anggota TNI, satu anggota Polri, dan satu warga sipil?

Rahmadani Syahputra, seorang anggota aktif TNI, berkontribusi dalam menerima transfer uang dari pembeli. Uang itulah yang digunakan untuk packing dan pengiriman sisik. Amir Simatupang, seorang warga sipil menjadi perantara antara tiga oknum dan pembeli sisik yang disebut-sebut berasal dari Aceh. Selain Rahmadani Syahputra, ada satu orang anggota TNI yang terlibat, yaitu Muhammad Yusuf. Ia bekerja sama dengan Rahmadani Syahputra untuk menampung dan memindahkan barang bukti berupa sisik trenggiling dari Gudang Polres Asahan menuju kios milik Muhammad Yusuf. Pemindahan sisik trenggiling ini dilakukan atas perintah Alfi Hariadi Siregar, seorang anggota Polri aktif.

Ketika Muhammad Yusuf dan Rahmadani Syahputra tiba di Polres Asahan melalui jalan belakang, Alfi membuka gudang di Polres Asahan. Dalam gudang itu, terdapat sebuah mobil pickup L.300 warna hitam yang ditutupi terpal dan berisi 25 karung sisik trenggiling. Mobil tersebut kemudian dikendarai oleh Muhammad Yusuf dengan arahan langsung oleh Alfi Hariadi Siregar sampai ke luar dari Polres Asahan.

Dua anggota TNI dan satu warga sipil telah masuk proses persidangan. Tak lama lagi, Amir Simatupang akan memasuki tahap tuntutan di Pengadilan Negeri Kisaran. Begitu juga dengan dua anggota TNI, Muhammad Yusuf dan Rahmadani Syahputra, yang sedang diadili di Pengadilan Militer I-02 Medan. Namun, Alfi Hariadi Siregar justru mengajukan praperadilan untuk menggugurkan status tersangkanya.

Langkah praperadilan ini disertai dalil panjang, yang jika dicermati, bukan hanya lemah secara hukum, tetapi juga membahayakan upaya konservasi dan melemahkan integritas institusi penegak hukum di mata publik.

Uploaded content
Jadwal sidang Serka Muhammad Yusuf dan Serka Rahmadani Syahputra di Pengadilan Militer I-02 Medan pada 30 April 2025. | Foto: Arifin Al Alamudi

Alibi yang Bertolak Belakang dengan Fakta

Dalam permohonan praperadilan yang diajukan Bripka Alfi dalam Nomor Perkara 3/Pid.Pra/2025/PN.Kis, ia menyatakan bahwa penetapannya sebagai tersangka oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) KLHK tidak sah karena hanya didasarkan pada keterangan dua tersangka lainnya tanpa dukungan alat bukti lain.

Ia juga menyebut bahwa dirinya tidak memiliki keterkaitan dengan sisik trenggiling yang disita, tidak mengenal Amir Simatupang (sipil yang terlibat), dan tidak pernah menyerahkan barang bukti kepada siapa pun.

Namun, argumen ini bertabrakan dengan keterangan dua tersangka anggota TNI yang menyatakan bahwa Alfi adalah pihak yang menawarkan sisik trenggiling kepada mereka. Berdasarkan fakta persidangan yang sudah dipublikasikan oleh beberapa media, disebutkan bahwa Alfi berkomunikasi secara aktif dengan Muhammad Yusuf melalui WhatsApp.

Bripka Alfi mencoba membingkai proses hukum sebagai penyalahgunaan wewenang oleh PPNS, yang dalam hal ini adalah Gakkum. Ia menyebut bahwa dirinya diperiksa sebagai saksi dalam konteks yang tidak jelas, lalu “tiba-tiba” ditetapkan sebagai tersangka. Namun, dalam sistem penegakan hukum, penetapan tersangka tidak perlu bergantung pada temuan barang bukti di tangan pelaku langsung. Keterangan dua saksi yang konsisten, diperkuat dengan bukti digital, sudah memenuhi asas dua alat bukti permulaan yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2) KUHAP.

Terlebih, saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang Amir Simatupang pada 28 April 2025, Alfi membantah semua keterangan dari dua TNI yang dibeberkan pada sidang sebelumnya

Ketua Majelis Hakim Yanti Suryani bertanya apakah benar Alfi yang meminta Yusuf dan Dani untuk datang ke gudang Polres Asahan untuk mengambil sisik trenggiling, lalu meminta menyimpannya di kios milik Yusuf?

Alfi menjawab dua TNI itu bohong.

Uploaded content
Bripka Alfi Hariadi Siregar hadir sebagai saksi pada sidang Amir Simatupang di PN Kisaran, Senin (28/4/2025). Dalam sidang, Alfi lebih banyak menjawab 'lupa', 'tidak tahu', dan 'mereka bohong' saat ditanya hakim. | Foto: Arifin Al Alamudi

Penegak Hukum yang Menolak Diperiksa adalah Preseden Buruk

Jika aparat penegak hukum dapat dengan mudah menggunakan dalih prosedural untuk membatalkan status tersangka, maka penegakan hukum dalam isu konservasi akan mandek total.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Bripka Alfi mencoba menggunakan struktur hukum untuk menghindari tanggung jawab moral dan hukum, bukan sebagai pembelaan substansial, melainkan sebagai strategi penundaan.

Padahal dua anggota TNI telah diproses oleh peradilan militer, dan warga sipil yang terlibat tengah menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Kisaran. Mengapa hanya Alfi yang lolos dari jerat hukum sejauh ini?

Di sinilah persoalan integritas institusi menjadi penting. Publik berhak bertanya: Apakah hukum berlaku setara pada aparat penegak hukum dan warga negara lainnya? Ataukah keadilan sekarang pakai sistem seleksi? Yang kuat lolos, yang lemah diborgol?

Satwa Tidak Bisa Bicara, maka Hukum Harus Bertindak

Praperadilan bukanlah ruang impunitas. Ia seharusnya menjadi mekanisme korektif terhadap penyidikan yang sewenang-wenang, bukan ruang berlindung bagi aktor pelanggar hukum yang memiliki kekuasaan atau jabatan. Apalagi ketika yang dipertaruhkan adalah kelestarian satwa dilindungi yang populasinya terancam terus menurun.

Trenggiling tidak bisa hadir di pengadilan untuk membela diri. Akan tetapi, masyarakat dan institusi harus berpihak pada mereka melalui hukum yang tegas dan aparat yang jujur.

Dalam konteks ini, gugatan Bripka Alfi bukan hanya bentuk pembelaan hukum, tetapi ujian nyata atas komitmen negara terhadap konservasi lingkungan yang berada di ujung tanduk, serta bagaimana netralitas institusi penegak hukum seharusnya terjadi. Jika aparat aktif bisa lepas begitu saja melalui celah prosedural, maka perjuangan melindungi satwa liar di Indonesia akan kehilangan legitimasi dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum akan makin runtuh.

Saatnya institusi kita membuktikan bahwa seragam bukan tameng pelindung pelanggaran hukum, dan bahwa trenggiling serta seluruh satwa liar Indonesia layak diperjuangkan, bukan diperjualbelikan. Kawal terus kasus ini!


Foto sampul: Sidang Amir Simatupang, sipil yang terlibat dalam perdagangan sisik trenggiling di Kabupaten Asahan. | Arifin Al Alamudi
Penulis: Vania Safira 
Garda Animalia

Garda Animalia

Belum ada deskripsi

Related Articles