Harimau dan Manusia, Berebut Ruang dari Dongeng Sampai Alam Nyata

Gardaanimalia.com - Sebagai individu yang lahir di tahun 90-an, dongeng tentang sosok harimau dan manusia yang berkonflik untuk tujuan hidupnya masing-masing, sangat lekat diperdengarkan pada anak-anak masa itu. Dalam dongeng tersebut digambarkan bagaimana perkasanya manusia sebagai mamalia yang cerdas dan menguasai alam raya ini. Salah satu kisah yang cukup populer kala itu adalah kisah ini.
Suatu hari di kawasan hutan ada manusia yang sedang menebang pepohonan untuk membuka lahan pertanian. Sebelum memulai menebang pohon, manusia yang sudah bersiap-siap dengan mengasah kapaknya didatangi monyet yang kebetulan sedang berteduh di atas pohon tersebut. Dengan penasaran monyet tersebut menegur manusia yang sangat bersemangat tersebut, “Manusia, sedang apa kamu?” sapa monyet.
“Aku sedang mengasah kapak untuk menebang pohon ini.” jawab manusia tersebut sambil tetap mengasah kapaknya. “Apa kamu tidak tahu kalau pohon ini adalah tempat harimau si raja hutan yang ganas itu?” lanjut monyet. “Oh ya, saya kira saya lebih ganas dari harimau itu,” jawab manusia itu dengan culas dan melanjutkan tujuannya. Akhirnya tumbanglah pohon dan semak ditempat itu hingga rata dengan tanah.
Setelah beberapa lama, manusia itu pun kembali dan datanglah raja rimba itu dengan terkaget-kaget. “Siapa yang menebang tempat saya ini?” tanyanya. Monyet yang kebetulan melihat kejadian manusia tadi pun langsung menjawab kebingungan raja rimba itu. “Saya tadi melihat manusia menebang untuk lahan pertanian, raja.” tuturnya. Dengan nafas marah, harimau itupun bergegas mencari manusia yang menebang tempatnya tadi.
Di tengah perjalanan, harimau tersebut bertemu sapi liar di hutan. “Mau kemana, raja?” sapanya. “Saya mencari manusia yang merusak tempat saya,” jawab harimau dengan nada marah. “Waduh, jangan raja! manusia itu cerdik. Kemarin kawan saya dicucuk hidungnya,” himbaunya. “Ah, kamu kan memang lemah” balas harimau sambil melanjutkan perjalanan.
Di persimpangan jalan juga terjadi hal yang sama. Kali ini harimau dihimbau oleh kuda, “Jangan raja, kemarin kawan saya di kekang dengan tali dan disuruh menarik pedati!” dan jawaban harimau pun sama seperti ketika menjawab sapi.
Setelah beberapa saat, sampailah harimau itu di tempat tinggal manusia. “Hai manusia, apakah benar kamu yang merusak tempatku?” tanyanya. “Loh loh, kok menuduh. Manusia disini itu banyak, bukan hanya saya. Lagi pula saya ini kurus, mana mungkin bisa menebang pohon itu,” jelasnya. “Lalu siapa? Manusia yang mana?” desak harimau pada manusia itu. “Begini saja, kamu tunggu disini dulu saya kumpulkan manusia di sana agar ke sini dan kamu tanya sendiri siapa yang merusak tempatmu,” jawab manusia itu menenangkan. “Tapi kamu tunggu di sini ya, nanti saya bawa banyak manusia kesini, biar sama-sama enak kamu masuk kandang ini dulu biar saya tidak ragu kamu hilang,” pinta manusia sambil membuka pintu kandang yang disiapkan manusia itu.
Masuk lah harimau itu ke dalam kandang. Ia tidak sabar akan menerkam manusia yang berani merusak tempatnya. Tak lama menunggu, manusia itu pun datang dengan membawa manusia-manusia yang lain. Dengan bergegas, harimau pun bangkit setelah mengasah kukunya sambil menunggu manusia itu datang. “Hai, kawan-kawan lihat saya baru saja menangkap harimau si raja hutan. Lihat!” seru manusia yang tadi bersama harimau. Harimau pun bingung dan tidak habis pikir. Manusia-manusia itu pun segera mengangkut harimau ke perkampungannya. Dalam hati harimau menyesal dan marah, ia pun berucap “Ya, benar kata sapi dan kuda, manusia itu sungguh licik.”
Baca juga: Memahami Bahaya Polusi Suara di Bawah Laut
Bukan Sekedar Dongeng Belaka
Dari situasi dongeng masa kecil ini tergambarkan bahwa manusia dan satwa liar khususnya harimau telah saling berebut ruang baik di dongeng maupun di alam nyata. Perlu disadari bahwa persinggungan harimau atau satwa liar lainnya dengan manusia itu sangat kompleks. Perebutan ruang antara harimau dengan manusia tidak hanya menyisakan konflik namun juga kekejaman dari mamalia yang paling kuat dan licik, yaitu manusia.
Perebutan ruang yang kemudian menciptakan kejahatan dan terbukanya pasar ilegal untuk menjual harimau dan bagian-bagian tubuhnya. Seperti laporan TRAFFIC pada 2008 tentang terungkapnya pasar ilegal domestik terbuka di Sumatra bahwa memanfaatkan bagian-bagian tubuh satwa liar telah dilakukan sejak dahulu. Tidak mengherankan jika hingga saat ini ditemukan kasus perburuan liar dengan jerat atau jebakan, dikarenakan bagian tubuh harimau tersebut memiliki pasar tersendiri dan berkembang subur.
Perdagangan bagian tubuh satwa liar dengan alasan apapun untuk kepentingan individu maupun kelompok merupakan sebuah kejahatan yang merugikan alam secara universal. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 20 ayat 2 huruf a secara tegas melarang penjualan, kepemilikan, pemeliharaan, dan membunuh satwa liar yang dilindungi.
Kasus matinya induk dan dua anak harimau sumatera (Phantera tigris sumatrae) akibat jerat kawat baja yang terjadi di Desa Ie Buboh, Kecamatan Meukek, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh, pada 24 Agustus 2021 silam perlu mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak untuk menindak tegas dan mengusut motif pelaku. Atau kasus ditemukan di Desa Kapa Sesak, Kecamatan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan dalam kondisi mati akibat memakan kambing yang ditaburi racun, dalam pemberitaan Mongabay.co.id (01-07-20), yang tidak dilanjutkan kasus hukumnya karena polisi tidak menemukan bukti yang kuat.
Dua kejadian tersebut menegaskan bahwa harimau sumatra tengah menghadapi ancaman kepunahan. Jumlah populasi harimau sumatra menurut World Wide Fund For Nature atau WWF berjumlah kurang dari 400 ekor dengan status kritis. Keberadaanya tersebar di seluruh hutan yang sebagian besar kawasannya terancam oleh pembukaan lahan pertanian, perkebunan komersil, aktivitas pembalakan, dan pembangunan.
Di ujung kepunahan ini seolah dapat diilustrasikan dengan situasi peperangan antara harimau melawan manusia untuk sama-sama memperjuangkan tempat tinggalnya. Meningkatnya populasi manusia akan berpengaruh dengan meningkatnya kebutuhan pokoknya yaitu sandang, pangan, papan, dan kebutuhan lain seperti teknologi yang dieksploitasi dengan istilah yang populer ‘masa Anthropocene’ yaitu masa ketika aktivitas hidup manusia berdampak besar terhadap ekosistem dan makhluk hidup lainnya, sehingga terjadi fragmentasi habitat satwa liar akibat dari aktivitas manusia tersebut.
Maka dari itu, perlu kesadaran bersama bahwa kehidupan manusia yang bersinggungan dengan alam beserta isinya adalah fitrah dari yang maha pencipta. Hal tersebut bisa kita mulai dengan merubah paradigma lama antroposentrisme memposisikan lingkungan hidup sebagai pemenuh kebutuhan manusia saja, menjadi paradigma biosentrisme dan ekosentrisme yang menempatkan manusia sebagai bagian dari organisme yang sangat bergantung dengan lingkungan dan memiliki kepedulian terhadap ekologi.

Orangutan Viral di Kawasan Tambang Akhirnya Dievakuasi

Beruang Madu di Perbebunan, BKSDA: Itu Habitatnya

Konflik Gajah di Aceh Barat Terulang, Perubahan Habitat Menyulitkan Penghalauan

Akhirnya, Enam Pemburu Badak Jawa Divonis 11 dan 12 Tahun Penjara

Dikirim Tanpa Dokumen, 67 Satwa Diamankan di Pelabuhan Tanjung Priok

Memisahkan dengan Jelas: Pemeliharaan Satwa Liar Bukan Penyelamatan!

Tiga Orangutan Kelaparan Mencari Makan di Kebun Sawit, BKSDA Lakukan Pemantauan

Harimau yang Masuk Kandang Jebak di Aceh Timur akan Direlokasi

Lagi, Seekor Dugong Mati Terdampar di Kupang

Relasi Harmonis Gajah-Manusia dalam Sejarah dan Tradisi Budaya di Aceh

Pagar Terbuka! 15 Rusa Timor Berlari Bebas di TN Baluran

Dagangkan Cula Badak dan Gading Gajah, Dua Terdakwa Divonis 4 Tahun

Terjerat Jaring, Lumba-Lumba di Kenjeran Berhasil Kembali ke Laut

Bayi Bekantan Terpisah dari Induk, Diduga karena Habitat Rusak

Kesalahan Penanganan Diduga Sebabkan Kematian Orangutan yang Tersengat Listrik

Cegah Zoonosis, Pengamatan Tidak Langsung Manfaatkan Ekolokasi Kelelawar Pemakan Serangga

Petugas Amankan 30 Kilogram Sisik Trenggiling di Atas Kapal Cepat

Soa Payung, Kadal dengan Leher Berjumbai yang Unik

Dugong Fitri yang Terjerat Jaring Berhasil Dilepasliarkan

Gajah Betina Berusia 8 Tahun Ditemukan Mati di Aceh Timur
