Ketika Kepentingan Gajah masih menjadi Prioritas ke-13

Irvan Sjafari
3 min read
2025-01-30 04:21:36
Iklan
Berbagai upaya solusi dan mitigasi untuk mengatasi konflik manusia dengan gajah sudah dilakukan, tetapi kuncinya adalah pada penegakan hukum yang tegas.

Gardaanimalia.com - Berbagai upaya solusi dan mitigasi untuk mengatasi konflik manusia dengan gajah sudah dilakukan, tetapi kuncinya adalah pada penegakan hukum yang tegas.

Masuknya segerombolan gajah sumatra liar ke lahan padi dan jagung seluas enam hektare milik warga di Desa Arul Pinang, Kecamatan Peunaron, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh pada Sabtu, 19 Oktober 2024 menunjukkan bahwa hubungan antara manusia dan gajah masih tidak baik-baik saja, dan itu terjadi sejak puluhan tahun lalu.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Ujang Wisnu Barata mencatat konflik gajah dengan manusia selama Januari hingga September 2024 sebanyak 42 kejadian. Sementara, pada 2023 jumlah kejadian mencapai 149 kasus.

Data yang diungkapkan Ujang melengkapi data yang disampaikan BKSDA Aceh, seperti dikutip dari Mongabay.

Tercatat, bahwa konflik gajah manusia pada 2022 sebanyak 136 kasus, 2021 sebanyak 145 kasus, 2020 sebanyak 111 kasus dan 2019 sebanyak 106 kasus.

Ujang dan umumnya para peneliti serta aktivis lingkungan sependapat bahwa saat ini terjadi penggunaan ruang yang sama antara manusia dan gajah. Hal inilah yang menyebabkan adanya interaksi negatif atau konflik.

Sebagian besar gajah memiliki wilayah jelajah di luar kawasan hutan konservasi, dalam hal ini adalah Areal Penggunaan Lain (APL). Khusus di Kabupaten Aceh Timur, 80 persen gajah berada di APL termasuk areal Hak Guna Usaha (HGU).

“Lahan-lahan HGU yang tidak dimanfaatkan sehingga menjadi semak belukar merupakan wilayah yang disukai gajah. Penanaman jenis komoditi yang disukai gajah pada areal perkebunan, termasuk kebun masyarakat yang merupakan wilayah jelajah gajah menjadi salah satu penyebab seringnya gajah masuk dan bertahan di areal tersebut,” papar Ujang melalui WhatsApp kepada Garda Animalia, Senin (28/10/2024).

Menanggapi konflik yang kerap terjadi, pihak BKSDA telah melakukan berapa langkah mitigasi, yaitu:

  1. Penggiringan gajah
  2. Pembentukan dan pelatihan masyarakat peduli konflik gajah (MPKG) sebanyak 13 kelompok di Pidie dan Pidie Jaya
  3. Pemasangan 4 GPS Collar di Aceh Timur, dengan rincian 3 aktif dan 1 unit dipasang bulan November 2024
  4. Pembangunan Artificial Barrier sepanjang 27.700 meter berupa parit dan 67.380 meter berupa power fencing atau pagar kejut di Pidie, Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Timur, Aceh Selatan, Subulussalam. Lalu, di Aceh Timur akan dilakukan tambahan pemasangan power fencing sepanjang 80 km
  5. Patroli pencegahan konflik gajah
  6. Sosialisasi dan edukasi
  7. Patroli bersama masyarakat peduli konflik gajah
  8. Penanaman komoditi yang tidak disukai gajah, tetapi bernilai ekonomi sebanyak 29.900 bibit (jeruk nipis, salak, akar wangi, jeruk lemon, lemon grass) di Aceh Jaya, Aceh Timur, Bener Meriah, Bireuen, Pidie
  9. Delineasi koridor satwa liar di Aceh sebanyak sepuluh koridor satwa liar

Selain itu, lanjut Ujang, peningkatan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat masih harus dilakukan secara terus menerus agar pemahaman terkait dengan konservasi satwa liar, khususnya gajah sumatra sampai kepada masyarakat.

Penanaman komoditi yang berkesesuaian, yaitu tidak disukai gajah, tetapi bernilai ekonomi tinggi, misalnya kopi dan pohon jeruk, di wilayah jelajah gajah menjadi salah satu alternatif meminimalisir tingkat interaksi gajah, harus diatur melalui program daerah sehingga terkawal dari mulai pemilihan komoditi, penanaman, hingga pemasaran.

Gajah Butuh Ruang Jelajah


Pakar gajah dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Prof. Dr. drh. R. Wisnu Nurcahyo memberikan pandangan yang sebangun bahwa konflik terjadi karena habitatnya memang semakin menyempit.

Gajah adalah satwa yang tidak hanya membutuhkan habitat di suatu tempat, tetapi juga membutuhkan ruang lain untuk jelajah bahkan tempat untuk mandi. Inilah hal unik dari spesies yang kita sebut gajah.

"Gajah punya insting kalau merasa makanan [ada] di suatu tempat, maka mereka berkelompok mondar-mandir ke wilayah itu secara rutin. Masalahnya, beberapa daerah jelajah ditanami sawit, ladang baru, pemukiman, pertambangan," ungkap Wisnu ketika dihubungi Garda Animalia, Senin (28/10/2024).

Menurut Wisnu, semua pihak sudah tahu perilaku gajah, bukan saja BKSDA, tetapi juga pengusaha kelapa sawit dan tentunya masyarakat. Namun, kebutuhan ekonomi rupanya menjadikan kepentingan konservasi  gajah menjadi seolah-olah menjadi prioritas ke-13.

“Mustinya  dari awal sudah ada zona kelapa sawit, ladang, pemukiman hingga pertambangan yang tidak merebut lahan gajah,” cetus Wisnu.

Solusi sudah banyak diupayakan, seperti membuat pagar pakai listrik, membuat buffer zone daerah penyangga yang ditanami makanan tidak disukai gajah sehingga kalau gajah datang ke tempat itu dia akan berbelok.

Ada juga solusi seperti membuat parit, tetapi biayanya terhitung mahal. Begitu juga dengan solusi seperti yang dilakukan di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBTP) Jambi, yaitu pemasangan GPS Collar atau kalung dengan GPS pada gajah untuk mengetahui pergerakan gajah.  

Lanjut Wisnu, di sisi lain, jumlah tenaga patroli jawana yang terbatas dan tidak sebanding dengan luasnya hutan Sumatra. Terlebih, ia sebutkan, BKSDA tidak punya wewenang untuk mencegah perluasan lahan sawit dan pembukaan pertambangan. Hal itu merupakan wewenang lintas kementerian.

Kemudian, bagaimana jika dibuat rekayasa, yaitu disiapkan daerah khusus sebagai koridor gajah mondar-mandir selain habitat aslinya?

Menurut Wisnu, solusi ini sudah diterapkan di Way Kambas dan Bengkulu. Rombongan gajah dibiasakan untuk melewati rute yang baru. Tentunya, koridor baru ini harus dikawal dan disertai dengan upaya penegakan hukum.

Wisnu membenarkan kalau Aceh sebetulnya punya kearifan lokal dan sejarah yang baik dalam hubungan manusia dengan gajah, seperti waktu zaman Sultan Iskandar Muda, ketika gajah dihormati sebagai bagian dari kemegahan.

Sayangnya, kearifan lokal terkikis oleh masalah ekonomi dan kebutuhan sehari-hari. Siapa yang tidak tergiur dengan uang dari perkebunan kelapa sawit dan pertambangan? Sementara, dongeng dan cerita tentang gajah mulai dilupakan. 

Itu sebabnya kini Wisnu rajin berkeliling perguruan tinggi mendidik generasi muda untuk peduli satwa liar sehingga di masa mendatang diharapkan mereka akan memberikan tempat pada satwa liar.

Revisi Tata Ruang Aceh


Kepala Divisi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh Afifuddin Acal memperkuat apa yang diungkapkan BKSDA Aceh dan Wisnu Nurcahyo bahwa koridor gajah putus akibat peralihan fungsi hutan menjadi perkebunan sawit, karet, dan tanaman lainnya.

Namun, bukan hanya perkebunan, tetapi juga pembangunan proyek-proyek skala besar, seperti jalan raya, pembangkit listrik tenaga air dan lainnya. Pembangunan-pembangunan ini juga berdampak pada habitat gajah.

WALHI Aceh juga mengingatkan rencana pembangunan 12 ruas jalan baru yang melalui hutan Peureulak – Lokop, Kabupaten Aceh Timur yang tembus ke Kabupaten Gayo Lues bisa menambah masalah.  

“Habitat gajah terfragmentasi dapat memicu meningkatnya konflik dengan manusia,” kata Afifuddin kepada Garda Animalia, Senin (28/11/ 2024).

Selain itu, maraknya Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) tanpa ada penegakan hukum, karena sudah menyasar hingga dalam kawasan hutan, juga menjadi penyebab terjadi konflik.

Menurut Afifuddin, upaya perbaikan tata kelola lingkungan hidup harus dimulai dari Revisi Tata Ruang Aceh yang mengakomodir isu konflik satwa dan manusia.

Ini diharapkan menjadi solusi, atas tumpang tindihnya pemanfaatan ruang yang tidak memperhatikan habitat satwa.

Upaya penegakan hukum lingkungan pun harus dilakukan tegas, tidak reaksioner hanya saat ada kejadian luar biasa.

Jadi, jangan sampai kepentingan gajah (dan satwa lain) seolah-olah menjadi nomor 13, kalah dengan prioritas dari kebutuhan ekonomi manusia. 

Tags :
Gajah Sawit Aceh Gajah Sumatra Elephas maximus sumatranus
Writer: Irvan Sjafari