Pentingnya Satwa Liar bagi Orang Ternate

Rajuan Jumat
3 min read
2025-03-05 10:25:16
Iklan
Seekor baikole atau kipasan kebun yang membuat sarang di atas kabel di areal wisata Danau Tolire. | Foto Rajuan Jumat

Gardaanimalia.com - Seekor cala ibi mencicit dari atas pohon kayu yang rindang, di bawahnya ada sepasang gosong kelam mencakar dan mencacar daun kering jatuh di dekat batu.

Di seberang gubuk berbahan kayu jati, duduk melingkar empat orang dewasa di bawah pohon jamblang yang belajar rimbun–teko dan cangkir berisi kopi Kapal Api menghiasi meja, tingginya jauh di bawah lutut.

Ditemani kue kering dari adonan terigu, musik silih berganti menjadi pengiring keempat orang itu bercerita santai–mereka khawatir; jika ke depan warisan pengetahuan dari orang-orang tua di kampung akan lenyap.

“Kearifan yang sudah torang (kita) dapat harus terus berlanjut ke generasi mendatang. Harus ada sesuatu yang tong tinggalkan untuk mereka,” kata Junaidi Abas, 30 tahun, biasa disapa Junet, pria yang paling tua dalam tongkrongan sore itu.

Ia sangat berharap agar pengetahuan yang sudah diterima dari orang-orang tua bisa diteruskan pada generasi akan datang.

Demi hal itu, Junet dan teman-teman berinisiatif membuat riset kecil-kecilan agar bisa dibaca dan diketahui banyak orang. Kearifan yang diceritakan Junet terkait orang-orang tua mereka di kampung dalam menghormati lingkungan, termasuk flora dan fauna.

Bagi Junet, hubungan semacam itu cukup penting karena telah menjadi bagian dari pengetahuan yang telah diwariskan generasi sebelumnya.

“Dulu-dulu, burung kakatua,” kata Junet, “ … kalau di kobong (kebun), dia jadi penanda akan datangnya hujan. Sementara, burung maleo (gosong kelam) dia jadi kode kalau telah tiba waktu pagi atau hari menjelang magrib,” lanjut Junet sambil memperbaiki korek kesayangan.

“Nah, kalau pohon yang ada di tempat keramat, kalau tong (kita) lewat di bawah pohon itu musti basiloloa, minta izin, permisi, tidak boleh sabarang (sembarangan). Begitu juga dengan pohon yang mau tong tebang untuk bangun rumah, bangun masjid, harus batabea (minta izin, semakna dengan basiloloa),” ungkap Junet disusul tanggapan serupa dari Asrul Mudafar.

Baik Junet maupun Asrul, lahir dan tahu melafalkan abjad di Takome–sebuah kampung di barat pulau Ternate, sekitar 10 kilometer dari pusat kota.


Sepasang gosong kelam (Megapodius freycinet) yang sering tampil dan mencari makan di areal Danau Tolire. | Foto Rajuan Jumat.


Kakatua ijo (nuri bayan) yang menjadi penanda datangnya hujan, kini marak diburu sebagai hewan peliharaan. | Foto Rajuan Jumat

Sekalipun penduduk di kampung itu muslim, ada objek tertentu yang mereka kultuskan–menganggap itu adalah tempat bersemayam para leluhur–baba se yaya (nenek dan tete) yang menjaga dan melindungi anak cucu orang Takome dari segala petaka dan bahaya.

Pada waktu tertentu upacara adat dilakukan sebagai ucapan syukur dan rasa terima kasih.

Objek yang dikultuskan adalah sebuah batu yang berada di bawah pohon besar rimbun–bisa berada di dekat kampung, pesisir atau dataran tinggi.

Larangan atau boboso semacam jangan memaki, kencing sembarangan di areal sakral apalagi menebang pohon secara brutal (sekalipun) tidak tertulis, berlaku untuk setiap orang.

Pengetahuan seperti itu jika dipandang secara emik barangkali dianggap tidak relevan oleh kalangan tertentu. Namun, secara etik cukup penting untuk mereka yang menjalankan–punyai nilai dan hubungan yang erat.

Ini serupa dengan yang dikatakan Harari (2018). Penulis Homo Deus itu mengungkapkan, jauh sebelum masyarakat terindustrialisasi, mereka punya hubungan yang erat dengan alam, nyaris tidak ada pemisah di antara mereka.

Manusia berbicara dengan batu, dengan binatang, pohon dan hatu-hantu sekaligus, dengan satu tujuan; agar muncul ‘norma’ yang mengikat manusia dengan apa yang mereka yakini–yang dalam istilah orang Arunta di Australia disebut totem.

Sebagai kota yang berdiri di atas tanah vulkanis, pengkultusan terhadap suatu objek penting bagi orang Ternate–bukan semata untuk kepentingan aktivitas kebudayaan, tetapi lebih dari itu. Ada fungsi laten yang perlu dilestarikan.

Dengan mengkultuskan suatu pohon, sama halnya dengan memberikan ruang bagi spesies lain untuk survive: burung, serangga maupun mamalia yang ketiganya ikut andil terhadap pariwisata, hasil bumi di Ternate dan barangkali bisa dijadikan alarm utama sebelum erupsi Gamalama terjadi.

Menu Favorit Wisatawan di Ternate

Kelapa muda dan pisang goreng, menu favorit wisatawan di Kota Ternate. | Foto: Rajuan Jumat.

Sebelum kelapa muda dan pisang goreng–menu favorit utama wisatawan di Kota Ternate–tersaji di atas meja, ada pergumulan antara burung dan hama di alam liar yang jarang diakui.

Burung memegang peran penting terhadap tingkat produktivitas kelapa dan pisang sekaligus menjadi pengendali alami serangga yang dianggap hama oleh petani.

Dalam sebuah pertemuan di Hutan Pulo Tareba, kawasan ekowisata di Kota Ternate beberapa waktu lalu, Benny Aladin Siregar, Koordinator Perhimpunan Burung Indonesia Wilayah Maluku mengatakan, ada banyak sekali peran burung di alam yang justru terabaikan.

Selain menjadi penyerbuk, burung berperan terhadap pengendalian populasi hama bagi sejumlah tanaman petani.

“Burung memiliki peran penting dalam ekosistem. Layanan yang diberikan oleh burung kemudian dimanfaatkan oleh manusia. Di alam, burung berperan untuk mengontrol populasi serangga agar tidak meledak dan mengakibatkan kerusakan pada daun,” kata Benny. Sekalipun tidak spesifik menyebut daun yang dimaksud, tetapi bisa ditaksir kalau peran burung di alam liar tidak bisa disangsikan.

Tanpa spesies burung, salah satu hama kelapa bisa cepat meledak karena populasi hewan pemangsa alami menurun. Dan ini pernah terjadi di sejumlah daerah di Maluku Utara, salah satunya di Ibu, Halmahera Barat.

Saat kali pertama berkunjung ke sana pada 2022 lalu, hamparan pohon kelapa seperti terserang penyekit; tidak ada daun sama sekali. Adapun buah yang tersisa kondisinya memprihatinkan; bolong sana-sini.

Dugaan atas kondisi pohon kelapa yang diserang hama tidak lepas dari habitat burung yang dirusak atau jumlahnya di alam sebagai predator berkurang karena alih fungsi lahan atau perburuan ilegal. 

Jarak antara Ternate dan Ibu hanya beberapa mil, dipisahkan oleh lautan. Agar pengalaman serupa tidak terjadi di kota yang salah satu pendapatan asli daerahnya dari sektor pariwisata, habitat spesies burung pemangsa sebaiknya diperhatikan. 

Sekalipun ada banyak jenis burung pemakan buah, tetapi di samping itu mereka mengincar serangga sebagai pakan sampingan. Seperti kata Fadila Tamnge, seorang akademisi di Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate. 

“Burung layaknya manusia,” kata Fadila.

“Sekalipun kita terbiasa makan nasi, tapi disamping itu kita akan makan papeda dan pendamping-pendampingnya. Begitu juga burung. Walaupun dia pemakan buah, pemakan ikan, tetapi pasti pendampingnya itu dia makan serangga,” lanjut Fadila pasca-Malut Bird Walk, sebuah rutinitas mengamati dan mengidentifikasi satwa liar di akhir pekan yang berlangsung di Kelurahan Tongole, Ternate Tengah pada pekan ketiga Januari. Kegiatan ini merupakan inisiatif teman-teman Halmahera Wildlife Photography (HWP), sebuah komunitas pelestarian satwa liar di Kota Ternate. 

Di samping pemakan serangga, satwa jenis cala ibi (burung madu) juga turut andil sebagai agen penyerbuk alami tanaman pisang milik petani. Tanpa mereka, mungkin manusia butuh waktu serta biaya lebih untuk merekayasa pembuahan pada segala jenis tanaman buah-buahan di planet ini. 

Pengakuan terhadap peran satwa di alam barangkali hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang beriman. Sebagaimana kata Jauhar A. Mahmud, 61 tahun, seorang Imam di Kelurahan Tongole. 

“Bagi orang yang mempelajari tanda-tanda kebesaran Allah, itu akan tahu hal-hal seperti itu. Maka Allah mengatakan dalam Alquran: Allah memberikan tanda-tanda di dunia ini bagi orang-orang yang beriman. Ketika suatu daerah tidak ada lagi satwa, maka daerah itu akan terjadi sunyi…,” katanya saat ditemui pada Jumat pekan kedua di rumahnya.

“Satwa yang sudah Tuhan ciptakan itu sebenarnya, dia membantu kitorang (kita) manusia ini. Kenapa saya bilang begitu, karena dia bisa kasih kawin tumbuh-tumbuhan,” lanjut Jauhar diiringi cicit cicak di atas ventilasi.

Tidak berakhir sampai di situ, pria yang ditemui dengan setelan kemeja piyama ini pun menuturkan, “…satwa kecil seperti cala ibi, kupu-kupu dan sebagainya, itu dia saling hinggap antara satu tumbuhan dengan tumbuhan yang lain, tujuannya supaya terjadi “perkawinan alam” sehingga pohon-pohon bisa berbuah. Jadi Allah menciptakan segala sesuatu di dunia ini tidak dengan sia-sia. Semut, nyamuk, itu semua ada dia punya tujuan masing-masing di bidangnya. Maka Allah bilang begini:  jika engkau tidak pandai mensyukuri akan nikmat yang aku berikan, maka azabku sangat pedih.”

Jauhar berharap agar perlindungan terhadap satwa liar terus digaungkan supaya menjadi rahmatan lil-alamin (menjadi rahmat bagi seluruh alam), termasuk manusia.

Satwa dan Mitigasi Dini Bencana Geologi

Jika berkeliling pulau Ternate, ada banyak rambu informasi bencana yang berdiri lebar di jalan raya–itu menunjukkan satu hal: lebih dari 193 ribu jiwa yang menempati kota ini, semuanya hidup dan bermain, beribadah dan berwisata di atas magma Gamalama–gunung berapi aktif yang kapan saja bisa mengamuk.

Untuk itu, keberadaan satwa liar perlu dijaga sebagai alarm utama mitigasi dini jauh sebelum petaka geologi terjadi.


Rambu-rambu peringatan bencana gunung berapi yang berdiri di jalan raya. | Foto Rajuan Jumat.

Hubungan antara manusia dengan satwa bisa dibilang sudah berlangsung lama dan orang Ternate sudah memulainya sejak 249 tahun yang lalu lewat cerita rakyat Tolire Gam Jaha–kampung yang tenggelam. 

Tolire sendiri awalnya nama sebuah kampung di wilayah barat Kota Ternate. Namun, karena perbuatan seorang ayah dengan anak perempuannya yang berhubungan badan, kampung itu “dikutuk” lalu muncullah air hingga menenggelamkan seluruh kampung–istilah “dikutuk” pada zaman itu barangkali dipakai untuk menyebutkan “bencana” geologi saat itu.

Beberapa hikmah bisa diambil dari legenda Danau Tolire, tetapi ada satu hal yang barangkali jarang dikaitkan dengan peran satwa: subjek “ayam” dalam legenda Danau Tolire ikut tampil. Dia menjadi binatang pertama yang berkokok memberi peringatan lebih awal kepada penduduk kampung; Tolire Gam jaha, Tolire Gam jaha… (kampung Tolire akan tenggelam, kampung Tolire akan tenggelam…) begitu suara ayam jantan memberi kabar kepada penduduk akan datangnya bencana. Hanya saja, kokok ayam itu tidak dihiraukan sehingga kampung Tolire dan seisinya hilang tertelan ke perut bumi.


Danau Tolire di kaki gunung berapi Gamalama. | Foto Rajuan Jumat

Kawasan Danau Tolire menjadi rumah bagi sejumlah satwa liar, ada jenis burung madu, julang irian, cekakak biru-putih, gosong kelam, walik kepala-kelabu (Ptilinopus hyogastrus).

Tak kalah banyak adalah jenis baikole, satwa dengan nama ilmiah Rhipidura leucophrys ini paling sering dijumpai bertengger di ranting kayu atau membuat sarang di atas kabel yang melintas di jalan raya. Jenis reptil pun ada di wilayah ini; soa layar dan buaya. Bahkan laba-laba hingga campung sangat melimpah.   

Kalau berpikir sudah ada alat deteksi gempa bumi dan letusan gunung api yang lebih canggih sehingga tidak lagi memerlukan kode dari alam terutama satwa, sepertinya perlu diragukan.

Sebab akurasi teknologi ciptaan manusia tidak sepenuhnya memberikan kepastian. Terlebih lagi, pemerintahan “gemuk” yang doyan “joget” saat ini telah memangkas sejumlah anggaran untuk membiayai makan bergizi gratis yang tentu saja berpengaruh terhadap alat operasional deteksi bencana

Tags :
satwa liar bencana alam kearifan lokal Ternate peran satwa liar
Writer: Rajuan Jumat