Menjarah
Menjarah
Menjarah
Liputan Khusus

Hutan Lindung di Batam Rusak, Mafia Lahan Ancam Lingkungan

2808
×

Hutan Lindung di Batam Rusak, Mafia Lahan Ancam Lingkungan

Share this article
Area kavling perumahan yang mencaplok hutan Lindung Sei Hulu Lanjai, Sambau, Nongsa, Batam. | Foto: Bhumi Atrbpn/Rian Akbari
Area kavling perumahan yang mencaplok hutan Lindung Sei Hulu Lanjai, Sambau, Nongsa, Batam. | Foto: Bhumi Atrbpn/Rian Akbari

Gardaanimalia.com – “Pelanduk lupakan jerat, jerat tak melupakan pelanduk,” sebuah peribahasa Melayu yang berarti orang berutang melupakan utangnya, tetapi orang berpiutang tidak akan melupakan piutangnya.

Barangkali ungkapan tersebut dapat kita maknai sebagai desakan tanggung jawab pemerintah daerah terhadap kondisi alam di Kota Batam yang semakin mengkhawatirkan.

Tiga pohon di kawasan Hutan Lindung Kecamatan Sekupang, Kota Batam lenyap ditebang oleh oknum warga setempat, tepat sehari sebelum peringatan Hari Gerakan Satu Juta Pohon pada 10 Januari lalu.

Mendapati hal itu, petugas Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit II Batam segera melakukan tindakan. Awalnya, para terduga pelaku berniat jika hasil dari ketiga pohon tersebut hendak digunakan untuk bahan baku membangun pondok, pagar, dan kandang ayam.

Dengan bukti yang diamankan, terduga pelaku tetap menyangkal bahwa perbuatannya tersebut bukan sebuah pelanggaran. Mereka berkilah tak tahu-menahu akan batasan wilayah hutan lindung dan hanya “orang suruhan” dari salah satu pengurus Kelompok Tani Hutan (KTH) setempat.

Bahkan para oknum secara sepihak menggarap kebun seluas 22 hektare yang menurut mereka telah dialokasikan sebagai pemanfaatan lain. Padahal, setelah ditelisik lagi, KTH tersebut belum mengantongi surat keputusan dan izin khusus apapun dari pihak terkait. Praktis, kegiatan itu telah melanggar peraturan yang ditentukan.

“Selagi belum legalitas SK/PSKL keluar, itu tidak boleh beraktivitas. Nah, itu yang ingin kami tekankan,” ucap petugas KPHL Unit II Batam Budi Mulia saat memberi arahan kepada oknum pengurus KTH.

Ironisnya, area hutan lindung di Dangas, Kelurahan Tanjung Pinggir, Kecamatan Sekupang ini hanya berjarak sekitar tiga kilometer saja dari kantor KPHL Unit II Batam. Terlebih, dari kantor KSDA Wilayah II Batam yang terpaut lebih dekat, tak luput dari perambahan.

Merujuk UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, disebutkan bahwa hutan lindung dapat dimanfaatkan sesuai ketentuan yang berlaku.

Meskipun begitu, tidak diperkenankan sepenuhnya menebang pohon di area kawasan hutan lindung. Sebagaimana hutan lindung berfungsi sebagai pengatur tata air, pencegah erosi, dan mencegah instrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Ulah Korporasi Nakal dalam Aktivitas Ilegal

Dulu, pulau pesisir ini masih hutan rapat dan semak belukar juga dikenal sebagai daerah sepi penghuni. Hanya terdapat rumah-rumah panggung berdinding papan kayu dan beratap rumbia yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan.

Sekitar 1970-an, kota ini hanya dihuni enam ribu jiwa. Namun, membludak menjadi 205 kali lipat setelah 51 tahun kemudian.[1]Publikasi Tahunan BPS Provinsi Kepulauan Riau: Provinsi Kepulauan Riau Dalam Angka 2022

Hasilnya dapat dilihat dari sekarang. Demi mengakomodir roda gigi pertumbuhan, karut-marut pembangunan permukiman dan industri kian kalap menggerogoti sisa-sisa wilayah hijau.

Selaras yang diungkapkan Kabid Tata Kelola Kehutanan dan Pemanfaatan Hasil Hutan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kepri Bherly Andia. Menurutnya, dari 382.000 hektare kawasan hutan di Kepulauan Riau, 47 persen tidak lagi berhutan. Artinya, hampir separuh hutan yang ada telah hilang.[2]http://database.perumahan.kepriprov.go.id/tabel_data.php

Salah satu pemicunya, yaitu kebutuhan akan ruang lahan yang tinggi turut berimbas pada penurunan daya dukung lingkungan.

Bila ditinjau, jumlah perumahan terdaftar telah mencapai 152.320 unit di atas Kota Bandar Dunia Madani yang memiliki luas sekitar 415 kilometer persegi (41.500 hektare) ini.[3]http://database.perumahan.kepriprov.go.id/tabel_data.php

Bukan tidak mungkin, peluang perluasan ruang lahan di masa datang akan semakin melebar, sedangkan daya tampung wilayah sangat terbatas.

Tentu hal itu menciptakan celah-celah yang rentan dimanfaatkan oleh pengembang nakal untuk menjebak masyarakat, yakni menyediakan hunian dengan iming-iming harga murah. Rasanya tidak sulit untuk menunjuk tapak jejak penggunaan kawasan secara ilegal di Batam ini.

Contohnya, beberapa waktu lalu diketahui tiga perusahaan membangun tanpa izin di kawasan hutan lindung. Para perusak itu di antaranya PT Kayla Alam Sentosa, PT Alif Mulia Jaya Batam, serta PT Prima Makmur Batam yang telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara 4 sampai 7 tahun dengan denda sebesar 1 hingga 6 miliar rupiah.[4]https://ombudsman.go.id/perwakilan/news/r/pwkmedia–konsinyering-ombudsman-bahas-tergerusnya-kawasan-hutan-di-kepulauan-riau

Kemudian yang sedang santer menjadi polemik di masyarakat, yaitu kawasan hutan lindung digarap menjadi kavling siap bangun (KSB). Diduga dilakukan secara ilegal oleh mafia lahan, menyeret satu nama, yakni Budi Sudarmawan yang kasusnya tengah berproses ke meja hijau.

Di dalam kawasan hutan lindung, terduga pelaku leluasa membangun kavling perumahan Pesona Bukit Sambau di Kelurahan Sambau, Kecamatan Nongsa, Kota Batam seluas 6,5 hektare.

Pemerintah daerah sudah memberi teguran terhadap kegiatannya itu. Namun, terduga pelaku bergeming tanpa mengindahkan sehingga akhirnya harus dijerat hukum.

Karena perbuatannya tersebut, terduga pelaku dijerat dengan Perda Provinsi Kepri Nomor 1 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kepulauan Riau 2017-2037 dan Pasal 17 angka 32 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Tak berhenti di situ, masih di lokasi yang sama, yakni KSB Dapur Arang dengan pengembang PT Langgeng Maju Prakarsa diduga wanprestasi terhadap konsumen.

Berada di kawasan hutan lindung, kondisi area kavling terlihat terbengkalai, tidak ada aktivitas yang sedang berlangsung. Hanya terdapat sisa-sisa pengerjaan yang belum tuntas seperti pondasi tidak menyeluruh, gundukan-gundukan tanah yang dibiarkan, dan sebuah pondok berbahan kayu tripleks tak berpenghuni.

Salah satu korban, Muhammad Sarif, yang sedang mencari lokasi petak kavling miliknya itu mengaku bahwa pihak pengembang sudah tidak bisa dihubungi lagi sejak lebaran tahun lalu.

Awalnya, Ia tertarik dengan tawaran harga kavling berkarakter berundak yang tergolong murah ini. Kemudian, dirinya membeli kavling ukuran 6 kali 10 meter persegi secara kontan pada Juli 2019 lalu. Hingga berselang satu tahun, alih-alih telah menghuni, hasil pembelian kavling malah berujung ketidakpastian.

Sederet kejanggalan timbul. Puncaknya, setelah Sarif mempertanyakan nasib kavling miliknya, mendadak beberapa nomor kontak menjadi sukar dihubungi. Tentu hal ini membuatnya semakin risau. Lantaran uang sebesar 35 juta rupiah yang susah payah dikumpulkannya terancam raib.

Terlebih, setelah mengetahui sudah terpampangnya papan pemberitahuan dari pihak instansi pemerintah bahwa di area tersebut merupakan kawasan hutan lindung Sei Hulu Lanjai. Meski rumah yang diimpikannya seakan berangsur sirna, pria asal Topang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau ini akan tetap mengupayakan haknya.

“Saya masih cari informasi di sekitar Batam, apakah PT-nya masih aktif di Batam atau sudah tutup,” ucap Sarif kepada Garda Animalia pada Senin, 16 Januari 2023.

Korban kavling bodong, Muhammad Sarif (tengah) sedang mencari petak miliknya di wilayah yang telah dipasang papan peringatan dari pihak terkait. | Foto: Rianda Akbari
Korban kavling bodong, Muhammad Sarif (tengah) sedang mencari petak miliknya di wilayah yang telah dipasang papan peringatan dari pihak terkait. | Foto: Rianda Akbari

Sebenarnya masih banyak lagi masalah-masalah serupa, yakni perumahan bodong di Batam yang didalangi oleh mafia perorangan maupun korporasi. Berkaca dari hal itu, terkesan pemerintah kurang bertaji dalam menindak permasalahan lahan dan kerusakan alam yang menahun.

Siasat Ulung Meraup Untung, Mafia Lahan Kelabui Konsumen

Ditemukan fakta lapangan beberapa penduduk kerap kali mengakui secara sepihak mengenai kepemilikan tanah. Dengan modus bercocok tanam atau membuat bangunan rumah liar (ruli) di area caplokannya.

Lebih lanjut, para terduga pelaku cenderung bersikukuh mengenai tanah yang dimiliki. Alasannya, mereka telah bermukim selama berpuluh-puluh tahun di lokasi tersebut. Sedangkan, surat-surat yang dimiliki tidak asli atau tidak terdaftar.

Walaupun telah dilakukan tindakan preventif, terduga pelaku kerap mengulangi perbuatan yang sama bahkan sedikit demi sedikit mengokupasi dengan menggeser batasan areanya. Dalam kasus ini dikenal dengan istilah konflik tenurial.

Terkadang para terduga pelaku pun menjual tanah tersebut dengan harga miring ke developer atau pengembang. Alhasil, di sinilah letak benang kusut itu sering dijumpai, yakni transaksi antara satu pihak ke pihak lainnya.

Meskipun di permukaan terlihat sederhana, tapi alur dari sebelum hingga setelah proses pembersihan lahan terbilang abu-abu. Pasalnya, disinyalir campur tangan sejumlah pihak turut bermain di dalamnya.

Bak setali tiga uang, pengembang tidak kekurangan siasat mengelabui ketidaktahuan masyarakat. Akal-akalan menyertakan keterangan bahwa lahan kavling merupakan rekomendasi dari pihak Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam).

Singkatnya, dengan surat rekomendasi tersebut, siapa pun berhak menggunakan area lahan karena sudah disetujui oleh pihak bertanggung jawab.

Namun, surat sakti yang diberikan guna meyakinkan calon konsumen tersebut terbukti palsu, setelah ditelusuri tidak terdaftar di BP Batam. Mirisnya, para mafia lahan pun kerap menyasar calon konsumen dari kelas ekonomi menengah ke bawah.

Seturut demikian, Founder Akar Bhumi Indonesia (ABI) Hendrik Hermawan menuturkan kepada Garda Animalia bahwa modus seperti yang disebutkan di atas bukanlah hal baru.

Sayangnya masih ada yang kerap menjadi korban, seolah tidak ada langkah tegas dari pemerintah. Bahkan, Ia mengungkapkan, modus tersebut pernah menimpa ke LSM-nya tempo lalu.

“Kami cek ke BP Batam itu abal-abal semuanya, bahkan kami menanam RHL (rehabilitasi hutan dan lahan) di Hutan Lindung lalu ditimbun sama pengembang dan mereka menunjukkan dokumen palsu,” ucap Hendrik.

Sebagai langkah awal, Hendrik menekankan alih-alih terlanjur membeli setidaknya masyarakat periksakan terlebih dahulu legalitas pengembang atau developer perumahan. Hal tersebut dapat diakses di Sistem Informasi Registrasi Pengembang.

Selama ini, ABI telah menyoroti kerusakan alam di Kota Batam termasuk kasus kavling bodong. Tercatat dalam kurun waktu 2020-2022 total sudah 23 aduan, dengan di dalamnya ada empat perusahaan perihal perusakan lingkungan yang sejauh ini tengah melalui upaya advokasi.

Dampak Kerusakan terhadap Alam

Metode cut and fill pada bukit di Sekupang, Batam. | Foto: Rianda Akbari
Metode cut and fill pada bukit di Sekupang, Batam. | Foto: Rianda Akbari

Seperti satu tarikan nafas, eksploitasi tidak hanya mengancam keberadaan hutan, tetapi tergenapi dengan laut. Ulah para mafia lahan bahkan sudah menjalar hingga ke tepian-tepian. Bukan saja membabat hutan dan mengikis perbukitan (cut and fill), mereka juga tidak kehilangan hasrat menimbun hutan-hutan mangrove di wilayah perairan sekitar menjadi daratan padat.

Akhirnya, efek domino dari aktivitas ilegal ini tidak hanya dialami korban kavling bodong, imbasnya turut dirasakan oleh masyarakat pesisir. Sebab terjadinya pendangkalan, kerusakan tanaman, dan hilangnya biota laut berimplikasi terhadap mata pencaharian mereka.

“Kami sangat sesali bahwa pembangunan di Batam itu tidak mengindahkan kearifan masyarakat lokal yang menggantungkan hidup dari hasil laut. Mereka semakin jauh melaut dan kondisi itu terus terjadi,” terang Hendrik.

Lalu, adapun tutupan lahan hutan yang berangsur menyusut, terakhir dari periode tahun 2012-2016 mengalami deforestasi. Di antaranya kategori hutan lahan kering primer seluas 292,95 hektare (penurunan drastis terjadi di periode tahun 2015-2016 seluas 169,27 hektare), hutan lahan kering sekunder seluas 589,67 hektare (penurunan drastis terjadi di periode tahun 2015-2016 seluas 527,02 hektare).[5]Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RHJP) Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit II Batam Provinsi Kepulauan Riau

“Rata-rata hutan darat di Batam di catchment area dan di pesisir. Untuk hutan darat di Daerah Tangkapan Air (DTA) Tembesi yang paling parah dan Duriangkang, serta adanya perubahan status hutan di Hutan Konservasi Muka Kuning,” tambahnya.

Ia menilai, adapun penerapan program perhutanan sosial yang tidak sepadan dengan karakter daerahnya. Sebab menurutnya, Batam adalah daerah pesisir dan program tersebut merupakan salinan dari daerah luar, maka perlu pengkajian ulang mengenai hal itu.

Di sisi lain, rupanya luas area kerusakan di Batam tidak signifikan dibanding daerah luar. Memang anggapan tersebut tidak sepenuhnya keliru. Namun, kehilangan satu hektare saja sangat berdampak bagi daratan pesisir yang berhadapan dengan negara Singapura ini.

Dampaknya semakin terasa, teriknya matahari lantas menyengat. Tak heran, pada 2021 saja rata-rata suhu udara di Kota Batam sudah menginjak 34,4 derajat celsius.

Terbentang dari Pulau Batam hingga Pulau Galang, sekitar 31.994 hektare berada dalam lingkup kerja KPHL Unit II Batam. Serta hampir seluruhnya beririsan langsung dengan permukiman dan industri.

Tetapi, jumlah petugas tidak sebanding guna mencakup total luasan tersebut. Hal itu disampaikan oleh Yuslin Taufik, petugas KPHL Unit II Batam, yakni hanya berjumlah enam personel untuk menjaga area hutan lindung Batam.

“Memang itulah kondisi kami sekarang, sementara enam orang ini tidak semua bisa fokus ke perlindungan karena mereka nanti ada kegiatan lain juga seperti ikut persidangan menjadi saksi,” ucap Yuslin.

Tidak dipungkiri, peranan backingan di balik penggunaan kawasan secara ilegal salah satunya kavling bodong, lazim ada. Dengan kata lain, faktor luar dan dalam ikut melengkapi persoalan kawasan lindung di Batam. Maka, alih fungsi kawasan hutan dalam bentuk permukiman, investasi, dan aktivitas tambang tak surut menimbulkan sederet masalah.

Kegiatan tambang pasir di dekat area permukiman, Nongsa, Batam. | Foto: Rianda Akbari
Kegiatan tambang pasir di dekat area permukiman, Nongsa, Batam. | Foto: Rianda Akbari

Bagaimana Nasib Satwa Liar di Alam?

Pada prinsipnya, pemanfaatan hasil dan lahan hutan dapat berjalan dengan keseimbangan ekologi. Terang saja, keberagaman flora dan fauna di Kota Batam memiliki potensi besar. Di antaranya terdapat 12 jenis tumbuhan dan 78 jenis satwa liar langka atau dilindungi.

Namun, bayang-bayang kehilangan habitat pun menghantui. Seperti yang sudah diulas sebelumnya, aktivitas ilegal telah terjadi sedemikian rupa. Tak ayal, satwa-satwa meresponsnya dengan keluar dari hutan.

“Ancaman di Batam ini adalah kehilangan habitat karena konversi lahan, misalkan hutan dalam artian hutan fisik tiba-tiba ditebangi semua, kemudian pantai bakau yang direklamasi,” ucap petugas KSDA SKW II Batam Rozi Sulistiyo saat ditemui Garda Animalia pada 30 Januari 2023.

Salah satunya monyet ekor panjang yang sering dijumpai datang ke wilayah perumahan. Seperti diketahui, umumnya monyet mendekati manusia karena makanan. Buah dan biji-bijian menyusun sebagian besar asupan gizi monyet, sedangkan sisanya meliputi dedaunan, bunga, akar, kulit kayu, dan kadang-kadang hewan kecil.

Persoalannya, buah dan biji hanya datang pada musim tertentu. Kalau kemarau datang sedikit berkepanjangan, maka monyet rentan kelaparan.

Sewaktu mereka tahu kalau ada yang tanpa pamrih menyodorkan pisang tanduk kukus dan kacang tanah rebus tanpa dijeda musim dan cuaca, berbondong-bondong mereka datang ke permukiman manusia layaknya sebuah gelombang urbanisasi raksasa.[6]https://gardaanimalia.com/monyet-dan-manusia-sebuah-konflik-dalam-empat-babak/

Konflik semakin nyata tatkala seekor monyet yang masuk permukiman di Batam Center akhirnya ditembak mati oleh warga setempat. Satwa malang tersebut diburu setelah dianggap mengganggu hingga menyebabkan seorang anak luka.[7]https://www.batamnews.co.id/berita-95760-serang-dan-lukai-warga-monyet-berbaju-hitam-di-batam-center-mati-ditembak.html

“Konflik yang sering terjadi di kami malah monyet ekor panjang, yang sebelumnya kebun atau hutan berubah menjadi perumahan,” terangnya.

Kendati begitu, informasi mengenai kelimpahan dan distribusi satwa amat terbatas. Termasuk soal tren populasi dan seberapa besar ancaman terhadap keberlangsungan satwa. Padahal guna upaya konservasi, dibutuhkan data yang memadai.

Dua ekor elang berada di kandang KSDA SKW II Batam hasil penyerahan dari masyarakat. | Foto: Rianda Akbari
Dua ekor elang berada di kandang KSDA SKW II Batam hasil penyerahan dari masyarakat. | Foto: Rianda Akbari

Sejauh ini, KSDA SKW II Batam baru melakukan inventarisasi secara regional di Taman Wisata Alam (TWA) Muka Kuning dan Taman Buru Pulau Rempang.

Sementara, untuk inventarisasi di luar kawasan konservasi dilakukan di Bandara Hang Nadim. Itu pun hanya berfokus pada satu jenis satwa, yakni elang bondol. Tampaknya, tidak hanya informasi yang terbatas tetapi kesenjangan data antara satu dengan lainnya.

“Karena jenis satwanya terlalu banyak dan lokasinya terlalu luas, jadi kami belum spesifik untuk inventarisasi di luar kawasan konservasi, kalau di kawasan konservasi Insyaallah kami sudah, tapi memang perlu di-update,” ucap Rozi.

3.5 6 votes
Article Rating

Referensi[+]

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments