Indonesia Jadi Episentrum Ancaman Kepunahan Antroposen

Gardaanimalia.com - Sekitar 66 juta tahun yang lalu, asteroid berdiameter 15 km menumbuk Bumi di lokasi yang saat ini menjadi Kawah Chicxulub di Semenanjung Yucatan, Meksiko. Tumbukan ini menjadi penyebab dari punahnya tiga perempat spesies hewan dan tumbuhan, termasuk di antaranya dinosaurus. Peristiwa ini, bersama dengan empat peristiwa sebelumnya, dikenal sebagai peristiwa kepunahan massal (mass extinction event) di mana biodiversitas Bumi turun secara signifikan pada waktu yang sangat singkat. Ilmuwan percaya, saat ini kita sedang berada pada kepunahan massal yang keenam.
Kepunahan massal yang keenam disebut juga sebagai kepunahan Antroposen (Anthropocene extinction) karena penyebab utamanya yang berasal dari aktivitas manusia (antropogenik). Ilmuwan memperkirakan bahwa laju kepunahan saat ini lebih cepat 100 hingga 1000 kali lipat dibandingkan dengan laju kepunahan normal (Gambar 1).((Ripple, W.J., Wolf, C., Newsome, T.M., Galetti, M., Alamgir, M., Crist, E., Mahmoud, M.I. Laurance, W.F. 2017. “World Scientists’ Warning to Humanity: A Second Notice”. BioScience. 67(12): 1026-1028. DOI: https://doi.org/10.1093/biosci/bix125))
Laporan Global Assessment Report on Biodiversity and Ecosystem Services tahun 2019 memperkirakan terdapat satu juta spesies hewan dan tumbuhan yang saat ini terancam punah, banyak dalam kurun waktu yang sangat dekat.((Staf. 2019. “Media Release: Nature’s Dangerous Decline ‘Unprecedented’; Species Extinction Rates ‘Accelerating’”. Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services. Diakses dari https://ipbes.net/news/Media-Release-Global-Assessment pada 23 Agustus 2021.)) Jika laju ini tidak dihentikan, 50% dari seluruh spesies hewan dan tumbuhan kompleks di muka Bumi akan punah pada tahun 2100.((Wilson, E.O. 2002. The Future of Life. Knopf: New York. 229 hal.))
Ilmuwan sudah tidak meragukan kalau aktivitas manusia adalah faktor utama dari kepunahan Antroposen ini. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi penyebabnya, yaitu perburuan berlebihan, penggunaan lahan yang tidak seimbang, dan pemanasan global.
Perburuan Berlebihan
Dalam ekosistem, manusia punya posisi yang unik dan berbahaya sebagai “unsustainable global super predator”.((Darimont, C.T., Fox, C.H., Bryan, H.M., Reimchen, T.E. 2015. “The unique ecology of human predators”. Science. 349(6250): 858-860. DOI: 10.1126/science.aac4249)) Karena teknologi yang dimilikinya, manusia menjadi predator puncak pada skala global yang mengancam populasi hewan dan tumbuhan di seluruh dunia. Selain itu, manusia memburu hewan dewasa dengan jumlah yang jauh lebih tinggi ketimbang predator lain. Karena jumlah hewan dewasa turun signifikan, banyak spesies tidak bisa bereproduksi dan mempertahankan populasinya. Karena itulah perburuan oleh manusia disebut unsustainable.
Hal ini bisa dilihat pada kasus overfishing, yaitu aktivitas penangkapan ikan berlebihan hingga banyak spesies ikan tidak bisa lagi mempertahankan populasinya lewat reproduksi alami.((Coll, M., Libralato, S., Tudela, S., Palomera, I., Pranovi, F. 2008. “Ecosystem Overfishing in the Ocean”. PLoS ONE. 3(12): e3881. DOI: https://doi.org/10.1371/journal.pone.0003881)) Overfishing tidak hanya mengancam spesies tertentu, tapi seluruh ekosistem laut. Metode penangkapan yang destruktif seperti penggunaan cantrang dan bahan peledak melenyapkan seluruh habitat di sekitarnya. Selain itu, overfishing yang terjadi pada predator puncak seperti hiu dan tuna menyebabkan ketidakstabilan seluruh sistem jaring-jaring makanan.
Penggunaan Lahan
Pengalihfungsian daerah alami semakin meradang terjadi dan semakin banyak hewan liar yang kehilangan habitatnya. Saat ini, lahan yang dipakai untuk kegiatan agrikultur (50%) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan total tutupan hutan (37%).((Ritchie, H., dan Roser, M. 2013. “Land Use”. Our World in Data. Diakses dari https://ourworldindata.org/land-use#citation pada 23 Agustus 2021.)) Bahkan, sebuah penelitian menunjukkan hanya 3% dari seluruh habitat daratan di muka Bumi yang masih benar-benar tidak tersentuh oleh aktivitas manusia.((Plumptre, A.J., Baisero, D., Belote, R.T., Várquez-Dominguez, E., Faurby, S., Jedrzejewski, W., Kiara, H., Kühl, H., Benitez-López, A., Luna-Aranguré, C., Voigt, M., Wich, S., Wint, W., Gallego-Zamorano, J., Boyd, C. 2021. “Where Might We Find Ecologically Intact Communities?”. Frontiers in Forests and Global Change. 4: 626635. DOI: https://doi.org/10.3389/ffgc.2021.626635)) Luasan ini hanya sedikit lebih besar dari luas daratan Indonesia.
Baca juga: Alasan Mengapa Tiong Nias Tak Boleh Punah
Pergeseran fungsi lahan ini membawa ketidakstabilan biomassa di muka Bumi. Dari seluruh mamalia yang ada di darat, 60% merupakan hewan ternak (0,1 Gigaton karbon), 36% merupakan manusia (0,06 Gigaton karbon), sedangkan mamalia liar hanya mengisi sisa 4%-nya (0,007 Gigaton karbon) (Gambar 2). Selain itu, dari seluruh burung yang ada di dunia, 70% merupakan unggas ternak sedangkan hanya 30% yang merupakan burung liar.((Bar-on, Y.M., Phillips, R., Milo, R. 2018. “The biomass distribution on Earth”. PNAS. 115(25): 6506-6511. DOI: https://doi.org/10.1073/pnas.1711842115))((Carrington, D. 2018. “Humans just 0.01% of all life but have destroyed 83% of wild mammals—study”. The Guardian. Diakses dari https://www.theguardian.com/environment/2018/may/21/human-race-just-001-of-all-life-but-has-destroyed-over-80-of-wild-mammals-study pada 23 Agustus 2021.)) Perbandingan jumlah ini semakin tidak berimbang dengan persentase hewan liar yang semakin menurun drastis.
Pemanasan Global
Saat ini, pemanasan global merupakan ancaman terkuat dan penyebab utama dari kepunahan Antroposen, melampaui perburuan berlebihan dan penggunaan lahan.((Hansen, J., Khareca, P., Sato, M., Masson-Delmotte, V., Ackerman, F., Beerling, D.J., Hearty, P.J., Hoegh-Guldberg, O., Hsu, S., Parmesan, C., Rockstrom, J., Rohling, E.J., Sachs, J., Smith, P., Steffen, K., Susteren, L.V., von Schuckmann, K., Zachos, J.C. 2013. “Assessing "Dangerous Climate Change". Required Reduction of Carbon Emissions to Protect Young People, Future Generations and Nature”. PLoS ONE. 8(12): e81648. DOI: https://doi.org/10.1371/journal.pone.0081648)) Pemanasan global terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca seperti karbondioksida (CO2) dan metana (CH4) di atmosfer yang disebabkan oleh aktivitas manusia, khususnya di bidang industri. Suhu Bumi yang meningkat mengakibatkan es kutub mencair dan menyusutnya habitat alami bagi hewan-hewan darat (Gambar 3). Di laut, tingginya suhu air dapat meningkatkan keasaman dan menurunkan kadar oksigen, membuat air laut beracun bagi organisme yang hidup di dalamnya.((Turley, C., Keizer, T., Williamson, P., Gattuso, J-P., Ziveri, P., Monroe, R., Boot, K., Huelsenbeck, M. 2013. Hot, Sour and Breathless—Ocean under stress. Plymouth Marine Laboratory, UK Ocean Acidification Research Programme, European Project on Ocean Acidification, Mediterranean Sea Acidification in a Changing Climate project,Scripps Institution of Oceanography at UC San Diego, OCEANA. 6 hal.))
Pemanasan global juga memicu bencana-bencana ekologi skala masif. Tiga miliar hewan terbunuh atau terluka karena kebakaran hutan Australia di awal tahun 2020 lalu.((2020. “New WWF report: 3 billion animals impacted by Australia’s bushfire crisis”. World Wildlife Fund. Diakses dari https://www.wwf.org.au/news/news/2020/3-billion-animals-impacted-by-australia-bushfire-crisis#gs.916aajpada 23 Agustus 2021.))
Pada Juli 2021, gelombang panas diperkirakan membunuh lebih dari satu miliar organisme laut di sekitar pesisir barat Kanada.((Yurk, V., 2021. “Pacific Northwest Heat Wave Killed More Than One Billion Sea Creatures”. Scientific American. Diakses dari https://www.scientificamerican.com/article/pacific-northwest-heat-wave-killed-more-than-1-billion-sea-creatures/pada 23 Agustus 2021.)) Dari dua kejadian ini saja, empat miliar organisme sudah terbunuh atau terluka sebagai dampak tidak langsung pemanasan global, jumlah yang setara dengan setengah populasi manusia di dunia.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia merupakan habitat paling beragam di dunia bersama dengan Brazil.((“Indonesia Biodiversity Facts”. Convention on Biological Diversity. Diakses dari https://www.cbd.int/countries/profile/?country=idpada 23 Agustus 2021.)) Dengan hanya mencakup 1% dari seluruh daratan di Bumi, Indonesia memiliki 10% dari seluruh spesies tumbuhan, 12% dari seluruh spesies mamalia, dan 17% dari seluruh spesies burung di dunia. Ironisnya, Indonesia juga memiliki jumlah mamalia terancam punah (135 spesies) dan burung terancam (114 spesies) terbanyak dibandingkan negara-negara lainnya (Gambar 4).((Staf. “Indonesia’s Rainforests: Biodiversity and Endangered Species”. Rainforest Action Network. Diakses dari https://www.ran.org/indonesia_s_rainforests_biodiversity_and_endangered_species/ pada 23 Agustus 2021.))
Indonesia tidak terlepas dari tiga faktor penyebab kepunahan Antroposen. Indonesia merupakan pengekspor produk hewan liar tertinggi di Asia dan juga menjadi tempat transit untuk produk hewan yang dijual dari Afrika.((Schmidt, P. 2019. “A race against time: combatting the illegal trade of endangered species in Indonesia”. Global Environment Facility. Diakses dari https://www.thegef.org/news/race-against-time-combatting-illegal-trade-endangered-species-indonesiapada 23 Agustus 2021.)) Perairan Indonesia merupakan salah satu yang terancam oleh aktivitas overfishing, khususnya pada lokasi di sekitar Laut Cina Selatan dan perairan di timur Indonesia.((Mordhorst, K. 2021. “In Indonesia, illegal fishing hurts more than just fish”. S. Global Leadership Coalition. Diakses dari https://www.usglc.org/blog/in-indonesia-illegal-fishing-hurts-more-than-just-fish/pada 23 Agustus 2021.))
Indonesia juga merupakan salah satu kontributor pemanasan global tertinggi di dunia. Bukan hanya karena industrinya, melainkan juga karena aktivitas perusakan hutan hujan secara besar-besaran.((“Deforestation statistics for Indonesia”. Mongabay. Diakses dari https://rainforests.mongabay.com/deforestation/archive/Indonesia.htm pada 23 Agustus 2021.))
Data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan 27,7 Mha tutupan pohonnya semenjak 2001 hingga 2020 yang sepadan dengan pengurangan tutupan pohon sebesar 17% dari tahun 2000. Hilangnya hutan akibat proses deforestasi di Indonesia setara dengan penambahan 19 Gigaton emisi karbondioksida. Walaupun, kabar baiknya, tren dari deforestasi Indonesia saat ini cenderung menurun (Gambar 5).((2020. “Tree Cover Loss in Indonesia”. Global Forest Watch. Diakses dari https://www.globalforestwatch.org/dashboards/country/IDNpada 25 Agustus 2021.))
Semua ini memperlihatkan jika Indonesia tidak terhindar dari ancaman kepunahan Antroposen. Justru sebaliknya, Indonesia merupakan salah satu episentrum di mana kepunahan ini paling parah terjadi.

WN Tiongkok jadi Tersangka Perdagangan Cula Badak di Manado
02/05/25
Uji Lab Buktikan Keaslian Cula Badak asal Tiongkok yang Disita di Manado
16/04/25
Hendak Jual Cula Badak dan "Kerupuk Udang", Empat Tersangka Diringkus Polisi
15/04/25
Orangutan Terpotret di Jendela Rumah di Thailand, Polisi Rencanakan Investigasi
14/04/25
Seorang Pria Paruh Baya Ditangkap setelah Ketahuan Berdagang Penyu
26/03/25
Petugas Gabungan Sita 72 Satwa Dilindungi di Mimika
22/03/25
Tiga Ekor Kanguru Tanah Diselundupkan di Pelabuhan Jayapura

Telaga Paring, Orangutan yang Terjebak Banjir Besar di Kalteng Berhasil Dilepasliarkan

Sebelum Indonesia Merdeka, Ternyata Trenggiling Sudah Jadi Satwa Dilindungi

Tiga Individu Baru Badak Jawa Terdeteksi di Ujung Kulon

Ternyata Amir Simatupang Pernah Tawarkan Taring Harimau Seharga Rp50 Juta

Kabar Baik, Dua Ekor Harimau Lahir di Suaka Barumun!

Hampir setiap Malam Beruang Madu Berkeliaran di Kabupaten Abdya

WN Tiongkok jadi Tersangka Perdagangan Cula Badak di Manado

Pembangunan Suaka Badak Sumatera di Aceh Timur Segera Rampung

Saksi Nyatakan Sisik Trenggiling Tidak Terdaftar sebagai Barbuk di Polres Asahan

Bukan hanya Sisik, Alex Tanyakan Kulit Harimau pada 2 Anggota TNI

Tahap Kedua Pelepasliaran, 182 Ekor Kura-Kura Moncong Babi kembali ke Alam

Dua Pelaku Perdagangan Organ Satwa Dilindungi Diserahkan ke JPU

Seri Macan Tutul Jawa: Upaya Yayasan SINTAS Selamatkan Predator Puncak Tersisa di Jawa

Perburuan Burung di TN Ujung Kulon Berujung 2 Tahun Pidana

Bripka Alfi Siregar ‘Amnesia’ di Pengadilan, Hakim Dorong Penetapannya jadi Tersangka

Batal Vonis Bebas, Willy Pembeli Cula Badak Dibui 1 Tahun

Kabar Baru, Pria asal AS Dijatuhkan Hukuman atas Kasus Penyiksaan Monyet

Jadi Saksi Ahli, Hinca Panjaitan Pakai Kaos Save Trenggiling ke Pengadilan

Konflik kembali Terjadi, Ternak Warga Ditemukan Mati di Area Sawah
