[caption id="attachment_12683" align="aligncenter" width="692"] Hutan lebat yang terkikis habis oleh perkebunan kelapa sawit. | Foto: Lili Rambe/Mongabay[/caption]
Gardaanimalia.com - Ingat ketika kita dulu mengerjakan ujian matematika? Soal-soal yang paling sulit sering kali adalah yang terlihat paling singkat dan sederhana.
Hal yang sama juga terjadi pada hampir semua permasalahan lingkungan. Di permukaan solusinya terlihat sederhana. Hewan terancam punah? Berhenti diburu! Laut kotor oleh plastik? Berhenti pakai plastik! Pemanasan global? Jangan merokok!
Namun, yang muncul di permukaan adalah ujung dari gunung es saja. Akarnya tidak jarang melibatkan permasalahan di luar masalah lingkungan sendiri, mulai dari isu ekonomi, budaya, hingga politik.
Pasalnya, perdebatan kita di ruang publik, khususnya di platform media sosial acap kali tidak mampu menelisik permasalahan ini sampai ke akarnya.
Dampaknya, kita sering kali mendapatkan misinformasi yang bukan hanya salah, tapi juga berbahaya jika tersebar luas. Sehingga kita tidak boleh memberikan ruang toleransi bagi misinformasi, bahkan jika informasi itu pro terhadap lingkungan.
Dalam tulisan ini, kita akan coba memereteli salah satu isu lingkungan yang sangat khas bagi Indonesia: sawit.
Bukan berita baru kalau sawit adalah subjek bagi berbagai misinformasi. Para pegiat bisnis sawit menegaskan kalau sawit bukan penyebab deforestasi (spoiler: tidak benar).
Di kolom-kolom komentar Twitter dan Instagram, banyak yang meneriakkan kalau solusinya adalah menghapuskan bisnis sawit sepenuhnya (spoiler: tidak bijak).
Sebagai usaha mengadili sawit dengan adil, mari kita lihat apa saja yang membuat industri sawit jadi bermanfaat, yang membuatnya jadi berbahaya, dan apa saja yang belum kita ketahui secara penuh tentangnya.
Untuk ketiga hal ini, mari ktia taruh bendera merah, kuning, dan hijau seperti bagaimana kita menaruh lampu lalu lintas di perempatan jalan.
Bendera Hijau
Tidak dapat dipungkiri, kelapa sawit adalah bahan bakar peradaban negeri ini. Sejak empat bijinya dibawa dari Amsterdam pada Februari 1848, sawit telah menghamparkan dirinya pada lahan seluas 14,6 juta hektare (per 2019) di berbagai pulau besar Indonesia.((Supriyono, J. 2018. “Sejarah Kelapa Sawit Indonesia”. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia.))((Annur, C.M. 2020. “Luas Areal Perkebunan Sawit di Indonesia Capai 14,60 Juta Hektare”. Katadata.)) Dahulu, kelapa sawit ditanam di tepi jalan sebagai tanaman hias menuju rumah-rumah gubernur Belanda. Saat ini, dia penyumbang tertinggi devisa negara (220 triliun rupiah per 2019).((Natalia, M. 2021. “Ekspor Capai Rp200T, BPDPKS: Kelapa Sawit Jadi Penyumbang Besar Devisa”. IDX Channel.)) Dengan ini, dia menyediakan lahan pekerjaan bagi 4,42 juta jiwa (per 2018)—sekitar 6% dari seluruh populasi tenaga kerja Indonesia.((Tim Publikasi Katadata. 2019. “Perkebunan Sawit Mampu Menyerap 4,42 Juta Tenaga Kerja”. Katadata.)) [caption id="attachment_12756" align="aligncenter" width="682"]

Bendera Merah
Ketika kita berbicara tentang “kejahatan” sawit, yang benar-benar sedang kita bicarakan adalah irresponsible palm oil industry, kegiatan industri sawit yang tidak bertanggung jawab. Mayoritas kegiatan tersebut merupakan pelanggaran tegas terhadap peraturan yang telah ditetapkan. Pasalnya, tumpuk demi tumpuk laporan menunjukkan kalau kegiatan ini masih sangat banyak terjadi. Oknum masih berkeliaran di mana-mana. Mari tengok dua contoh pelanggaran dari tumpukan laporan ini. Kira-kira, alat apa yang lebih efektif ketimbang ekskavator dan gergaji untuk membersihkan pohon? Api. Dengan menggunakan api, tidak lagi dibutuhkan tenaga manusia tambahan untuk menebang pohon. Masalahnya, penggunaan api untuk membuka lahan secara tegas dilarang dalam berbagai peraturan.((Pramesti, T.J.A. 2021. “Bolehkan Membuka Lahan dengan Cara Membakar Hutan?”. Hukum Online.)) Dan jelas saja: api bukan cuma membersihkan lahan, tapi juga seluruh kehidupan yang ditampungnya. Namun, masih banyak indikasi kalau berbagai perusahaan sawit menggunakan api untuk membuka lahan. Salah satunya adalah kasus pada tahun 2011-2016, di mana kebakaran hutan di sekitar wilayah konsesi Korindo memiliki pola yang identik dengan perluasan wilayah konsesi tersebut. Forensic Architecture dan Greenpeace International menggarisbawahi bahwa hal ini adalah indikasi kuat bahwa Korindo menggunakan api untuk melakukan pembukaan lahan.((Forensic Architecture dan Greenpeace International. 2020. Intentionl Fires in Papua.)) Ironisnya, FSC (Forest Stewardship Council), sebuah lembaga sertifikasi untuk manajemen hutan sebelumnya mengatakan bahwa tidak ada indikasi bahwa Korindo memperalat api—sebuah pernyataan yang dipertanyakan oleh berbagai pihak.((Amindoni, A. dan Henschke, R. 2020. “The burning scar: Inside the destruction of Asia’s last rainforests”. BBC News.)) Salah satu kasus lain yang sering terjadi namun jarang dilirik adalah konflik antara lahan sawit dan lahan gambut. Lahan gambut merupakan salah satu gudang karbon terbesar, di mana 30% karbon dunia tersimpan.((Isminanda, B.A. 2022. “Mengenal Lebih Dekat Lahan Gambut sebagai Harta yang Berharga”. Garda Animalia.)) Ketika tanah ini diganggu, ratusan juta ton karbon, cikal bakal dari karbondioksida sang biang pemanasan global, akan terlepas ke atmosfer. Lahan gambut sederhananya adalah sebuah granat raksasa yang kuncinya belum dilepas. Sejak tahun 1990, pemerintah telah melarang penanaman pada lahan dengan tebal gambut lebih dari 3 meter.((Indonesia. 1990. Keputusan Presiden 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Jakarta: Pemerintah Pusat.)) Namun, banyak perusahaan tertangkap menaruh wilayah konsesi pada lahan gambut yang tebalnya bahkan lebih dari 4 meter. Pada tahun 2013, WWF melaporkan beberapa perusahaan ini, di antaranya wilayah konsesi milik PT Rokan Adikarya dan PT Jatim Jaya Perkasa.((Greenpeace. 2013. License to Kill: How deforestation for palm oil is driving Sumatran tigers toward extinction. Amsterdam: Greenpeace International, 40 hal.)) Masih banyak kegiatan lain yang termasuk ke dalam irresponsible palm oil industry, mulai dari deforestasi hutan dilindungi hingga pelanggaran terhadap hak lahan masyarakat adat. Hal-hal inilah yang perlu kita tentang dengan tegas. Sebelum kita beranjak ke bendera kuning, mari kita tilik satu lagi bendera merah bagi perkebunan sawit (dan seluruh aktivitas pembukaan lahan lainnya) yang sama sekali tidak bisa dipungkiri, yaitu mengenai biodiversitas. Pengaruh sawit terhadap biodiversitas sudah tidak perlu didebat lagi: dia menurunkan daya tampung biodiversitas suatu wilayah (Gambar 2).((Aditya, F. 2022. (Bahaya) Menerima Sawit sebagai Tanaman Hutan. Garda Animalia.))((Fitzherbert, E.B., Struebig, M.J., Morel, A., dkk. 2008. “How will oil palm expansion affect biodiversity?”. Trends in Ecology & Evolution. 23(10): 538-545.))((Savilaakso, S., Garcia, C., Garcia-Ulloa, J., dkk. 2014. “Systematic review of effects on biodiversity from oil palm production”. Environmental Evidence. 3:4.)) [caption id="attachment_12757" align="aligncenter" width="572"]
Bendera Kuning
Yang kita beri bendera kuning adalah hal-hal yang belum kita ketahui secara penuh dampaknya. Apakah dia akan membawa hal positif atau justru petaka? Ini seperti posisi canggung ketika lampu lalu lintas menyala kuning. Kita sering kali ragu apakah perlu mengebut maju agar tidak terseruduk mobil di belakang atau justru mengerem agar tidak tertabrak motor dari seberang. Salah satu contohnya bisa kita telisik dari isu yang tahun 2020 lalu marak diperbincangkan, yaitu rencana penambahan kelapa sawit ke dalam campuran biodiesel.((Yoshio, A. 2020. “3 Skenario Kalkulasi Dampak Ekonomi dan Lingkungan Program Biodiesel”. Katadata.)) Begini cerita ringkasnya: jika kita menambahkan minyak sawit ke dalam biodiesel, emisi yang dikeluarkan bahan bakar itu secara tidak langsung akan lebih rendah. Ini karena emisi yang keluar dari penggunaan biodiesel terkurangi dengan emisi yang diserap oleh pohon sawit (ingat, semua pohon menyerap karbondioksida). Rencana ini merupakan bagian dari andil Indonesia untuk menekan laju perubahan iklim global. [caption id="attachment_12685" align="aligncenter" width="709"]