Gardaanimalia.com – Rabu kemarin (7/7/2021), Garda Animalia berhasil menyelenggarakan webinar yang mengusung tema “Mengurai Perdagangan Gelap Primata di Media Sosial”. Tema ini dipilih sebab perburuan dan perdagangan primata masih marak terjadi. Bahkan, angkanya naik selama masa pandemi, khususnya kegiatan jual beli satwa melalui media sosial. Webinar ini dilaksanakan melalui media Zoom dan disiarkan secara live di kanal YouTube Garda Animalia. Kegiatan dimulai pukul 10.00 WIB dan dihadiri oleh tiga narasumber, yaitu Rosek Nursaid, Sigit Ibrahim, dan Kyra Kiara.
Fakta Kejam di Balik Perburuan dan Perdagangan Ilegal Primata di Indonesia
Rosek Nursaid, pendiri Pro Fauna Indonesia membuka materi dengan memaparkan tentang “Fakta Kejam di Balik Perburuan dan Perdagangan Ilegal Primata di Indonesia”. Ia menjelaskan bahwa perburuan primata masih sangat masif di berbagai daerah. Fakta lapangan yang ditemukan oleh tim Pro Fauna juga menggambarkan, primata yang diburu secara ilegal seringkali mendapat perlakukan yang kejam. Seperti pada dokumentasi Pro Fauna yang ditampilkan di awal materi, tim menemukan potongan tubuh lutung yang diduga dibunuh pemburu.
Tingginya angka perburuan dan perdagangan ilegal primata disebabkan oleh tingginya permintaan pasar. Setidaknya ada dua alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, primata diburu untuk diambil dagingnya dan yang kedua untuk dijadikan pet animals. Beberapa kelompok masyarakat masih memiliki kepercayaan bahwa jenis primata tertentu dapat dikonsumsi untuk dijadikan obat serta untuk tolak bala. Di sisi lain, masyarakat yang mengatasnamakan diri sebagai pecinta satwa membeli primata liar yang masih bayi untuk dipelihara.
“Pro Fauna meyakini 100% bahwa primata yang diperdagangkan di Indonesia merupakan hasil tangkapan liar, bukan hasil penangkaran.”
Upaya Rehabilitasi dan Pelepasliaran Primata Korban Perdagangan
Materi kedua mengenai Upaya Rehabilitasi dan Pelepasliaran Primata Korban Perdagangan disampaikan oleh Manajer Operasional Pusat Rehabilitasi Primata Jawa The Aspinall Foundation, Sigit Ibrahim. Ia menceritakan ketika mendapat informasi mengenai adanya satwa yang perlu dievakuasi, akan dilakuan verifikasi informasi, koordinasi dengan pihak yang berwenang—dalam hal ini BKSDA setempat—lalu akan dilaksanakan proses rescue.
Baca juga: Gigit Warga, Owa Siamang yang Dipelihara Warga Diamankan BKSDA
Satwa yang masuk ke pusat rehabilitasi akan dikarantina. Dalam tahap ini, satwa akan melakukan cek kesehatan untuk memastikan kondisi satwa. Setelah masa karantina, akan ada proses sosialisasi. Total sejumlah 204 individu yang melalui tahap ini, terdiri dari 53% lutung jawa, 33% owa jawa, dan 14% surili. Selama masa sosialisasi akan selalu dilakukan proses stock opname (menerbitkan berita acara) serta enrichment and observation.
Rentang masa sosialisasi beragam pada tiap individu, mulai dari enam bulan hingga empat tahun. Ketika dinyatakan tidak memiliki penyakit menular dan insting liarnya sudah muncul, satwa akan masuk ke kandang habituasi di hutan yang telah memenuhi syarat. Proses habituasi atau adaptasi ini dilakukan dalam jangka waktu sekitar 14 hari. Setelah itu, barulah satwa siap dilepasliarkan.
“Bisa dipastikan, jika ada satu bayi yang beredar di pasar satwa, yang dipelihara, atau ditunjukkan di media sosial, minimal ada satu induk yang dibunuh. Karena induk primata pasti sangat melindungi anaknya.”
Fakta Perdagangangan Primata di Media Sosial dan Upaya Pemberantasannya
Materi ketiga adalah mengenai Data Perdagangan Primata di Media Sosial pada Masa Pandemi dan Upaya Pemberantasannya yang disampaikan oleh Kontributor Garda Animalia, Kyra Kiara. Dalam materi ini, Kyra menerangkan bahwa facecook menjadi salah satu media sosial yang paling banyak digunakan. Ada tiga faktor utama mengapa hal ini terjadi. Facebook secara aktif menghubungkan antar individu baik secara personal maupun grup, algortima yang mendukung melalui fitur pages related, serta kurang ketatnya pengawasan di platform ini. Namun, Facebook sudah berkomitmen untuk ikut berperan memberantas perdagangan satwa di platformnya.
Kyra juga menampilkan data terkait iklan dan jumlah satwa yang diperdagangkan di Facebook sebelum dan sesudah pandemi, yang menunjukkan angka perdagangan dan iklan cenderung naik saat pandemi. Berdasarkan analisis Garda Animalia, hal ini dikarenakan kebijakan di masa pandemi membuat orang jenuh—akhirnya meningkatkan minat masyarakat untuk memelihara satwa, alasan kedua adalah maraknya konten memamerkan satwa di media sosial yang ikut memengaruhi orang untuk memelihara. Selain itu konsentarasi aparat lebih fokus penangangan Covid-19 sehingga penegakan hukum untuk kejahatan satwa liar melemah.
Salah satu upaya untuk mengehentikan perdagangan satwa di Facebook adalah dengan take down akun dan grup Facebook yang terlibat dalam aktifitas ini. Tercatat, dalam April hingga Juni telah ada 1.381 akun yang berhasil ditutup setelah dilaporkan oleh Garda Animalia.
“Adanya permintaan pasar, walaupun dengan niat untuk memelihara, akan memicu pedagang lain untuk terus melakukan perdagangan satwa liar. Alangkah baiknya kalau kita menjumpai penjualan satwa liar, jangan dibeli, tapi dilaporkan.”
Webinar kali ini diharapkan dapat menyadarkan kita bahwa primata tidak seharusnya diburu dan diperdagangkan, baik untuk kebutuhuan konsumsi maupun satwa peliharaan. Sudah semestinya mereka hidup di alam, di habitat aslinya. Webinar yang diikuti oleh lebih dari 180 peserta ini masih dapat ditonton di kanal YouTube Garda Animalia.