Menjarah
Menjarah
Menjarah
Berita

Bukan Hanya Manusia, Satwa Liar Juga Bisa Alami ‘Mental Breakdown’

2116
×

Bukan Hanya Manusia, Satwa Liar Juga Bisa Alami ‘Mental Breakdown’

Share this article
Bukan Hanya Manusia, Satwa Liar Juga Bisa Alami 'Mental Breakdown'
Ilustrasi lutung jawa yang menjadi korban perdagangan ilegal satwa liar. Foto: Antara/Asep Fathulrahman

Gardaanimalia.com – Belakangan ini, kasus perdagangan ilegal satwa liar atau PISL sedang marak di Indonesia. PISL merupakan bentuk praktik kejahatan yang mencakup proses perburuan, penyiksaan, pembunuhan, hingga penerimaan satwa dengan tujuan eksploitasi. Berdasarkan data dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), jumlah kasus kejahatan satwa liar dilindungi telah mengalami peningkatan dalam kurun waktu 2015 hingga 2018. Hal ini akan berpotensi mengalami peningkatan di beberapa tahun ke depannya jika tidak ada kesadaran dari masyarakat dan tindakan tegas dari otoritas yang berwenang.

Indonesia saat ini telah memasuki tahap krisis yang mengancam keberlangsungan hidup satwa liar. Salah satu penyebabnya adalah adanya budaya yang menjadikan satwa liar sebagai ‘korban’. Sebagai contoh, warga di Desa Lirang, Kota Bitung, Sulawesi Utara, mewarisi budaya mengkonsumsi penyu untuk pesta adat pernikahan dari Suku Loloda Halmahera. Tak hanya itu, masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara juga dikenal sebagai pemakan satwa liar.

pariwara
usap untuk melanjutkan

Selain itu, keberadaan pasar satwa seperti Pasar Tomohon di Manado juga ikut berkontribusi dalam krisis ini. Hasil studi yang dilakukan oleh PROFAUNA yang menemukan fakta bahwa 95% satwa yang dijual di pasar adalah bukan dari hasil penangkaran, melainkan tangkapan dari alam atau perburuan ilegal (Profauna, 2015).

Bukan Hanya Manusia, Satwa Liar Juga Bisa Alami 'Mental Breakdown'
Ilustrasi anakan komodo yang diperjualbelikan. Foto: Mongabay/Petrus Riski

Tak hanya itu, fenomena pemeliharaan satwa liar oleh manusia sedang marak di Indonesia. Hal ini, dapat dilihat dari banyaknya kalangan selebritis hingga influencer yang memelihara satwa liar di rumahnya. Hal ini dapat memengaruhi orang untuk ikut memelihara satwa liar. Terlebih lagi, tidak semua satwa liar yang dipelihara mendapatkan perawatan yang baik. Seperti beberapa waktu lalu, mengutip dari laman Garda Animalia, ada kisah cukup menyedihkan dari seekor Owa (Hylobates agilis) di Kalimantan yang ditemukan dalam kandang kawat kecil, layaknya tahanan penjara setelah diambil seenaknya empat tahun lalu oleh tuan yang memeliharanya. Selain dipelihara di tempat yang tidak layak,

Mungkin masih banyak hewan yang dibiarkan mati begitu saja, karena ketidakmampuan untuk merawatnya. Melihat statistik di luar negeri juga banyak kasus kekerasan dan penelantaran hewan, mengutip dari BBC, kasus penelantaran hewan di Prancis menyentuh angka 100.000 hingga 200.000, dan di Inggris ada 16.000 hewan yang dibuang pemiliknya. Jika hanya sekadar ingin cukuplah manusia mengurungkan niatnya!

Depresi Satwa Liar

Mengetahui hewan trauma atau stress memang bukan hal yang mudah. Mengutip dari Understanding Animal Research, Professor Emma Robinson dari Universitas Bristol menjelaskan jika peneliti melakukan penelitian mengenai stres pada hewan ada dua elemen yang perlu diperhatikan, yakni apa penyebab stres, dan bagaimana mengukur konsekuensinya.

“… untuk hewan, penting untuk menemukan ukuran yang objektif. Kami tidak bisa menanyakan perasaan mereka. Kita harus mengandalkan titik akhir perilaku untuk mempelajari efek stres terkait gangguan mood,” jelas Emma.

Bagaimana hewan bisa stres dan trauma tidaklah jauh berbeda dengan manusia. Berdasarkan publikasi yang dirilis Humane Slaughter Association, stres pada hewan terjadi saat hewan harus melakukan penyesuaian fisiologis berkepanjangan untuk mengatasi lingkungannya. Hewan dapat mengalami stress fisik karena kelelahan, atau cedera. Stres fisiologis karena rasa lapar dan kontrol suhu, dan stres perilaku karena orang asing, atau perubahan lingkungan.

Baca juga: Ekosida: Kejahatan Luar Biasa Terhadap Satwa dan Lingkungan Hidup

Hewan yang mengalami penjualan ilegal biasanya mengalami perubahan tingkah laku. Dian dari Garda Animalia menjelaskan terkait perbedaan tingkah laku secara umum biasanya akan meninggalkan trauma bagi satwa itu dan sifat-sifat liarnya menjadi hilang untuk kasus satwa liar yang sudah dipelihara lama oleh manusia.

Sama halnya dengan manusia, hewan dapat mengalami gejala pasca trauma. Mengutip dari The Washington Post, Stacy Lopresti-Goodman, profesor psikologi di Marymount University mendokumentasikan gejala PTSD pada burung beo yang ditangkap di alam liar, dipelihara dan kemudian ditinggalkan.

“Mengingat kesamaan dalam struktur otak yang bertanggung jawab atas respons stres, hewan menunjukkan gejala yang mirip dengan gejala PTSD pada manusia,” jelasnya.

Atasi Depresi Satwa Liar

Beragamnya kasus satwa liar telah memberikan dampak pada kondisi psikis satwa, seperti hilangnya sifat liar pada diri satwa. Salah satu bentuk penanggulanganya dengan mengadakan program reintroduksi yang merupakan suatu kegiatan rehabilitasi modern dengan melepasliarkan kembali individu satwa hasil sitaan ke kondisi liar. Dalam hal ini Pusat Penyelamatan Satwa atau PPS memiliki peran penting dalam menjaga serta melindungi satwa liar yang terancam punah untuk dilepaskan kembali kepada habitat aslinya.

Proses reintroduksi terbagi atas dua tahapan yaitu pra-introduksi dan pasca introduksi. Pra-introduksi meliputi tiga tahap di antaranya; pemeriksaan medis kondisi satwa, survey kondisi habitat areal reintroduksi, dan pengangkutan satwa. Sedangkan kegiatan pasca introduksi meliputi, sosialisasi, adaptasi dan pelepasliaran. Satwa yang masih memiliki naluri liar yang masih baik dan satwa liar hasil sitaan dewasa yang agresif tidak melalui tahap adaptasi, melainkan langsung dilepasliarkan ke alam dan dipantau sampai mereka mampu beradaptasi dengan baik di alam. (Santosa, 2012)

Sedangkan di Tennessee, Amerika Serikat, mengutip dari Saving Earth, Komunitas Elephant Sanctuary, melakukan rehabilitasi untuk menyembuhkan trauma pada hewan. Mereka melakukan rehabilitasi pada gajah dengan gaya psikoterapi yang beragam. Proses terapi untuk menyembuhkan gajah yang stres, dan menerima kekerasan tidaklah jauh berbeda dengan menyembuhkan trauma dan depresi pada manusia.

Bukan Hanya Manusia, Satwa Liar Juga Bisa Alami 'Mental Breakdown'
Ilustrasi macan dahan yang diperdagangkan. Foto: Tirto.id/Andrey Gromico

Terapi non-dominasi dilakukan dengan cara menekankan keamanan, keterikatan pada komunitas, dan kebebasan memilih. Cara ini sering digunakan untuk mengatasi gangguan stres pasca trauma pada manusia. Ada juga terapi ketahanan. Cara ini menekankan pada penyembuhan akal, ketekunan, dan kekuatan para penyintas daripada pendekatan konvensional yang terutama menekankan pada evaluasi rasa sakit dan trauma.

Dian dari Garda Animalia juga menjelaskan bahwa pada prinsipnya bagi kita satwa liar apalagi satwa dilindungi seharusnya memang hidupnya di alam bukan di kandang dan dirawat manusia karena satwa liar bukanlah satwa peliharaan.

“Kalau mau memelihara maka wajib mengurus perizinan melalui BKSDA dan menjalankan prinsip animal welfare. Pelihara satwa hasil penangkaran legal bukan hasil tangkapan di alam. Karena satwa memiliki peran penting di alam. Memelihara satwa yang baik adalah tetap memeliharanya di alam bukan di dalam kandang,” kata Dian.

Prinsip animal welfare, yakni hewan setidaknya harus bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan lingkungan, bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit, bebas dari rasa takut dan tertekan.

Sebagai sesama makhluk hidup, sudah seharusnya kita memperlakukan hewan dengan baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang tokoh politikus India, Mahatma Gandhi bahwa, “Kebesaran suatu bangsa dan kemajuan moralnya dapat dinilai dari cara hewan-hewannya diperlakukan.”

Penulis: Arin Sutriorini, Azmah Husna Amalia, Nursyifa Afati Muftizasari, Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments