Investigasi

Jejak Penyelundupan Daging Penyu dari Sumbawa ke Pulau Dewata

16 Juni 2025|By Garda Animalia
Featured image for Jejak Penyelundupan Daging Penyu dari Sumbawa ke Pulau Dewata

Gardaanimalia.com - Rumah I Gede Radiase di Wonogiri, Desa Sebedo, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, tampak sepi, Agustus tahun lalu. Tak ada bongkar muat barang seperti biasa, puluhan galon air minum bertumpuk di depan rumah samping gudang besar.

Penjual air galon kelahiran Bali ini baru saja mendapatkan penangguhan penahanan dari Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat.

Akhir juli lalu, dia dan keponakannya ditangkap Polairud Polda NTB di Pelabuhan Kayangan Lombok karena diduga terlibat upaya penyelundupan tiga kuintal daging penyu dibungkus dalam 10 dus styrofoam.

“Sebenarnya saya tidak tahu apa-apa,” katanya ketika dikonfirmasi terkait keterlibatan dia dalam upaya penyelundupan daging penyu ke Bali. Dia mengaku hanya dititipi barang.

Berdasarkan cerita Radiase, bukan kali pertama dia dititipi. Dia mengaku, tak punya hubungan dengan pemilik barang selain dititipi. “Saya baru kenal tiga bulanan,” kata Radiase.

Dia membantah ketika ditanya terkait keterlibatannya dalam kasus penyelundupan daging penyu ke Bali. Dia juga mengaku tidak tahu, kalau barang titipan berupa beberapa dus styrofoam itu berisi daging penyu. Saat awal dititipi, dalihnya, berisi ikan segar.

“Saya tidak kenal lama, saya kira di dalamnya ikan. Karena waktu pertama dia nitip isinya itu,” katanya.

Menurut kepolisian yang menangani kasus itu, peran Radiase dalam penyelundupan daging penyu ke Bali sangat penting. Dia bukan saja sebagai pemilik kendaraan, diduga merupakan jaringan penyeludupan.

Sumber yang mengetahui tentang kasus ini menyatakan hal sama. Dia menuturkan, Radiase berperan sebagai penyedia truk barang, dan terkadang menjadi penghubung antara pembeli di Bali dengan pengepul di Sumbawa.

Dari penelusuran tim kolaborasi, Pulau Sumbawa merupakan salah satu pemasok daging penyu ke Bali. Dalam setahun, ratusan kilogram daging penyu berhasil diselundupkan ke Pulau Dewata.

Di Bali, daging-daging penyu dimanfaatkan antara lain untuk upacara keagamaan, maupun menjadi menu masakan yang dijual di rumah-rumah makan.

Tingginya aktivitas ilegal ini tidak banyak yang mampu dicegah penegak hukum. Tercatat, hanya beberapa kali upaya penyelundupan berhasil dicegah, yaitu pada 5 april 2016 yang melibatkan Satolah, warga Pulau Kaung, Kecamatan Buer, Sumbawa dengan barang bukti berupa 90 kilogram daging penyu segar.

Penangkapan kedua terjadi pada pertengahan 2018 oleh Kepolisian Resort Kota Bima. Dalam penangkapan itu, petugas berhasil mengamankan delapan kuintal daging dan 44 karapas penyu.

April 2019, di Pelabuhan Padangbai, Bali, petugas mengamankan daging penyu seberat 2,8 kuintal dari Bima, NTB. Terakhir, akhir Juli tahun lalu, Polairud Polda NTB, mengamankan tiga kuintal daging penyu di Pelabuhan Kayangan, Kabupaten Lombok Timur. Daging penyu tersebut akan dibawa ke Bali.

Barmawi dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar, mengatakan, Sumbawa merupakan salah satu habitat penyu di Indonesia. Lima spesies penyu di dunia, tercatat naik dan mencari makan di perairan Sumbawa. Namun, populasi penyu di Pulau Sumbawa kini mengkhawatirkan karena marak perburuan telur dan meningkatnya perburuan terhadap penyu.

Penyusutan penyu terlihat dari jumlah individu yang naik bertelur. Rinto Basuki dari Dinas Kelautan Sumbawa Barat menerangkan, pada 2010 ke bawah, penyu yang naik bertelur di Pantai Talonang dalam semalam sampai 20 ekor. Kini, paling banyak hanya tujuh penyu bahkan tidak ada. Padahal, katanya, Juni hingga Juli adalah puncak penyu musim bertelur.

Meski begitu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) NTB sebagai penanggung jawab terhadap konservasi biota laut itu tidak memiliki data terhadap aktivitas ilegal itu.

Bahkan, Nengah Sumindre dari BKSDA NTB mengaku tidak tahu menahu saat diminta informasi seputar penyelundupan penyu atau dagingnya.

Uploaded content
Penyu hijau yang keberadaannya terpantau juga di perairan Nusa Tenggara Timur. | Foto: Wikimedia Commons/Seasidesaltlife/CC BY-SA 4.0

Berawal di Sumbawa

Terik matahari seakan menembus kulit hingga tulang. Sahman, bukan nama sebenarnya, terlihat sedang mengganti cat bangunan di dermaga nelayan Pulau Bungin, Kecamatan Alas, Sumbawa. Warna cat bangunan sudah mulai kusam termakan waktu.

Angin berhembus kencang di dermaga yang besarnya tak lebih dari setengah lapangan bulu tangkis itu. Dia melepas ember cat yang dia pegang dan duduk sembari membersihkan baju.

Sahman adalah satu dari beberapa nelayan di Pulau Bungin yang masih menangkap penyu.

Dia mengaku berburu penyu hanya pekerjaan sampingan saat melaut mencari ikan, “Paling kalau ada yang memesan, baru kami tangkap. Itupun kalau terkena jaring atau pancing senggol yang kami lepas.”

Daripada penyu dilepas akan mati karena terkena pancing, katanya, lebih baik diambil dan dijual.
Uploaded content
Konferensi pers Polda NTB terkait penangkapan pelaku penyelundupan daging penyu yang berasal dari Sumbawa dan hendak dibawa ke Bali. | Foto: Ditpolairud Polda NTB
Menurut Sahman, berburu penyu tak lagi semasif dahulu sebelum ada larangan. Dia ingat betul pada 90-an, penyu di perairan Sumbawa banyak sekali. Sangat mudah ditemukan, di dalam laut maupun yang naik bertelur.

Walau begitu, dia tak percaya kalau penyu sudah jadi satwa langka, “Sekarang pun masih banyak, saya sering menemukan ketika menyelam, gerombolan penyu sedang mencari makan,” katanya.

Dia bilang, lebih mudah temukan penyu daripada gurita.

Untuk membuktikan ucapan itu, dia membawa kami ke rumah panggung di pinggir laut. Di samping rumah itu terparkir kapal Sahman.

Di bawah bangunan rumah panggung, ada ember berukuran jumbo tertutup seng bekas atap rumah. Di dalam ember, ada penyu lekang diameter sekitar 100 sentimeter.

“Ini saja saya tangkap kemarin malam, tersangkut di jaring ikan saya,” kata Sahman.

“Saya kumpulin dulu, tetapi kalau ada pesanan saya langsung jual,” lanjutnya.

Dia juga bercerita sering menjual penyu hasil tangkapan itu ke pengepul di Pulau Kaung, jauh jaraknya dari rumah Sahman.

‘Pembuktian’ dari omongan Sahman ini sekaligus mematahkan alasan mengambil penyu yang ‘tertangkap saat tangkap ikan’ karena takut mati. Penyu-penyu yang dia tangkap, tidak langsung dijual, tetapi dikumpulkan dan menunggu permintaan pembeli.

Harga jual penyu ke pengepul berfluktuasi, biasa tinggi ketika menjelang upacara di Bali. Harga dan permintaan meningkat saat jelang upacara. Ukuran dan jenis juga memengaruhi harga.

“Penyu Teluk Saleh itu paling dicari dan mahal. Katanya dagingnya berbeda,” kata Sahman. Ia menyebut, jenis yang banyak dicari adalah jenis penyu hijau.

Untuk penyu diameter 60-100 sentimeter, biasa dibanderol Rp300 ribu, dan termahal, bisa Rp1 juta-Rp1,5 juta.

“Tetapi jarang kami temukan yang besar. Paling banyak yang sedang. Kalau dijual Rp600.000-Rp700.000,” ujarnya.

Pemesanan biasa melalui para pengepul di Pulau Kaung, sekitar 1,5 jam dari Pelabuhan Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat.

Para pengepul mendapat pesanan dari Bali, kemudian yang mencari ke para nelayan, “Tidak semua nelayan, ada nelayan-nelayan khusus,” katanya.

Di bawah tahun 2015,  biasa pembeli dari Bali datang langsung untuk memesan penyu, tetapi tetap melalui perantara pengepul.

Sejak sering ada penangkapan terhadap pemburu maupun pengepul di Sumbawa, kini pemesanan hanya dilakukan via telepon. Bahkan, mereka tidak pernah bertemu dan tak saling kenal, “Hanya berbekal kepercayaan.”
Uploaded content
Pulau Bungin, selain dikenal dengan pulau terpadat juga dikenal sebagai pulau nelayan yang aktif berburu penyu. | Foto: Ahmad Hadi Ramdhani

Debut Pengepul

Dari keterangan Radiase dan Sahman, muncul satu nama pengepul sekaligus pengirim daging penyu ke Bali, yaitu Sudirman. Masyarakat Pulau Kaung mengenalnya dengan nama Haji Sudir.

Tim datang ke Desa Pulau Kaung, Februari 2024 lalu untuk bertemu Burhan, bukan nama sebenarnya. Dia pernah bekerja dengan Sudirman. Dari Burhan, tim dapatkan informasi siapa aktor perburuan dan perdagangan penyu.

“Meski tidak menangkap (penyu) lagi, tetapi saya tahu persis jalur-jalurnya,” kata Burhan.

Lokasi perburuan penyu, katanya di beberapa tempat, semisal perairan dekat dengan Pulau Panjang, Saringi, Keramat, Medang, Moyo dan Teluk Saleh. Bahkan, tidak jarang mereka juga berlayar hingga perairan Pulau Sailus dan Flores.

Hingga kini, kata Burhan, nelayan di Pulau Kaung dan Bungin masih ada yang menangkap penyu untuk dijual.

“Biasa menjelang upacara besar di Bali, permintaan makin besar,” cerita pria yang sehari-harinya beraktivitas sebagai nelayan. Mereka menangkap penyu sembari mencari ikan.

Bukan hanya penangkap, masyarakat di Pulau Kaung juga masih ada yang menjadi pengepul, “Mereka yang akan dipesan oleh pembeli di Bali.”

Dua nama, Satolah dan Sudirman, diduga selama ini menjadi pengepul daging penyu dari para nelayan. Mereka merupakan pengepul paling terkenal di kampung itu.

Keduanya kerap berurusan dengan pihak berwajib karena kasus yang sama, yaitu penyelundupan penyu.

Beberapa pemburu dan mantan pemburu penyu juga membenarkan dugaan yang dialamatkan kepada kedua orang itu.

“Mereka berdua dahulu bos besarnya di sini. Sampai sekarang pun masih,” ucap Abdul Gafur, mantan pemburu penyu.

Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) NTB, saat ditanya tentang perburuan dan perdagangan penyu Sumbawa, mengaku baru mengetahui.

Pahrul Hadi, petugas pegawai BKSDA NTB tidak menduga masih ada perburuan penyu, “Sepengetahuan kami, hanya telur yang diburu,” katanya.

Sore itu, Satolah memarkirkan sembari membersihkan kapal yang sudah tiga hari tidak berlayar. Pada Agustus 2023 itu, kepada tim kolaborasi, dia mengakui pernah menjadi pengepul penyu untuk jual ke Bali. Namun, dia mengaku sudah lama tidak melakukan bisnis haram itu lagi.

“Sejak beberapa tahun lalu. Sudah lamalah pokoknya,” kata Satolah.

Berjarak seminggu setelah pertemuan dengan Satolah, kami berusaha menghubungi Sudirman untuk mengonfirmasi dugaan sebagai pengepul penyu.

Mulanya kami akan bertemu di kediamannya. Tak berapa lama, melalui pesan WhatsApp, dia membatalkan rencana pertemuan itu. Melalui pesan juga dia membantah dugaan itu.

“Saya ada kegiatan mendadak. Saya tidak pernah terlibat bisnis seperti itu,” sangkal Sudirman.

Setelah mengonfirmasi ulang berdasarkan informasi tim, dia pun mengakui, walupun berdalih tak lagi melakukan perdagangan penyu.

Uploaded content
Penyu yang sudah dipisahkan dari kerapasnya disimban di dalam box styrofoam , setelah ditimbang beratnya mencapai 300 kg. | Foto: Ditpolairud Polda NTB
Dari informasi Burhan, daging penyu mendarat di daerah Ketewer, Gianyar, Bali.

Sayangnya, dia tidak memberikan informasi mengenai pembeli di Bali. Dia mengaku hanya diminta mengikuti barang hingga ke Bali. Dia dan sopir, katanya, tidak dapat kontak langsung dengan pembeli, hanya diberi tahu alamat tempat barang harus turun.

Daging-daging penyu yang akan kirim ke Bali, naik dulu di pinggir Jalan Kokartenong, Desa Sebedo, Sumbawa. Kondisi yang jauh dari permukiman, membuat tempat ini sering jadi tempat bongkar muat barang-barang ilegal. “Bukan hanya penyu, barang-barang gelap lain juga dinaikkan di sini,” cerita Burhan.

Pada September lalu, kami bersama Burhan mendatangi Kokartenong untuk melihat langsung lokasi yang sering jadi tempat menaikkan penyu ke truk-truk angkut antar provinsi. Hingga pukul 01.00 dini hari waktu setempat, tidak satu pun aktivitas mencurigakan terjadi. Namun, sopir truk dari Bima bernama Gilang membenarkan informasi itu.

Gilang bercerita, pernah dititipi daging penyu, yang dia ketahui ketika sudah sampai di Bali.

“Pernah sekali, dititipi daging penyu lima dus. Saya kira ikan atau lobster,” katanya.

Ketika dimintai keterangan terkait aktor yang terlibat di Bali, Satolah dan Sudirman kompak menjawab hal sama. Mereka mengaku tidak saling kenal sebelumnya dengan pembeli di Bali. Hanya berhubungan lewat telepon. Keduanya kenal dengan para pembeli rekan-rekan mereka.

“Saling percaya antara pembeli dan penjual dan dari cerita ke cerita,” ucap Satolah.

Berujung di Bali

Kasus-kasus penyelundupan penyu dari Sumbawa hingga Bali tidak pernah tuntas, pengungkapan hanya sampai pengepul di Sumbawa. Pengepul besar di Bali, faktanya seolah terkubur.

BKSDA Bali membenarkan hal itu. Kadek Adinda melalui jawaban tertulis menerangkan kenapa Bali menjadi tujuan utama perdagangan ilegal daging penyu.

Menurut dia ada dua alasan yang melatarbelakangi, yaitu permintaan tinggi dari Bali untuk alasan tradisional, budaya maupun komersial dan harga daging di Bali cukup tinggi.

“Bagi banyak orang, keuntungan finansial mungkin lebih besar daripada risiko tertangkap, hingga perdagangan daging penyu masih dilakukan sembunyi-sembunyi,” kata Kadek.

Kadek bilang, berbagai upaya BKSDA Bali lakukan untuk mencegah daging penyu ke Bali, seperti menempatkan penjagaan personel di titik-titik rawan penyelundupan di pelabuhan penyebrangan. Juga, bekerjasama dengan instansi berwenang terkait seperti Balai Gakkum LHK, Kepolisian, TNI, Badan Karanitna Indonesia dan Bea Cukai.

BKSDA Bali juga melakukan pendataan terhadap jalur-jalur lalu lintas pintu masuk dan keluar peredaran tumbuhan dan satwa liar khusus di pelabuhan kecil yang merupakan lalu litas penyelundupan penyu.

Upaya yang dilakukan hanya mampu mencegah masuknya barang, tidak sampai mencegah penangkapan dan upaya penyelundupan ke Bali.
Uploaded content
Pulau kaung sebagai salah satu lokasi penyuplai daging penyu ke Pulau Bali. | Foto: Ahmad Hadi Ramdhani

Ida Bagus Windia Adnyana, akademisi sekaligus sea turtle expert dari Universitas Udayana Denpasar mengatakan, pendekatan BKSDA belum holistik. Padahal, masalah konservasi penyu setidaknya terbagi dalam tiga hal. Pertama, perdagangan ilegal (penyu dan telurnya. Kedua, degradasi habitat. Ketiga, kematian penyu akibat interaksi dengan aktivitas perikanan.

Ketiga masalah itu, katanya, sama-sama penting dan memerlukan kapasitas mumpuni untuk menanganinya.

“Nampaknya, teman-teman BKSDA (Bali dan NTB) dan BPSPL Denpasar lebih fokus kepada poin kedua. Meski poin yang lain juga disentuh, tetapi tidak signifikan,” kata pria yang akrab dipanggil Guswin ini.

Guswin bilang, perlu pendekatan holistik dan strategis untuk menangani itu. Mesti ada kerjasama antara aparat penegak hukum di Bali dengan daerah asal seperti Jawa Timur dan NTB.

Untuk di Bali, fokus mesti ke pasar atau konsumen melalui sosialisasi terus menerus via mediasosial. Terpenting, patroli rutin terhadap warung atau resto penjual lawar penyu harus lebih intensif.  Kalau ada orang yang tertangkap tangan, harus diproses hukum agar memberikan efek jera.

Meski begitu, pelaku kemungkinan terus berupaya mencari lubang-lubang sekecil apa pun untuk menyelundupkan penyu ke Bali. Oleh karena itu, upaya pencegahan tidak bisa musiman tetapi harus terus menerus dan dengan cara lebih strategis.

“Saya kira, kita dan para pihak secara bersama-bersama harus membantu aparat untuk meningkatkan kapasitas dalam pengawasan. Tidak saja di pintu-pintu masuk ke Bali, juga di outlet-outlet lawar penyu yang tersebar di Bali.”

Kapankah perdagangan penyu akan berakhir? Perlu kesadaran semua pihak, dari pemerintah—yang punya otoritas bikin aturan–, aparat penegak hukum, para pemburu, pedagang sampai ke pembeli bahkan masyarakat umum.

Selamat Hari Penyu Sedunia!

Liputan ini pertama kali terbit di Mongabay, hasil dukungan pembiayaan program Bela Satwa Project oleh Garda Animalia. 

Foto sampul: Penyu hijau sedang menimbun telur-telurnya. | Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Penulis: Ahmad Hadi Ramdhani

Garda Animalia

Garda Animalia

Belum ada deskripsi