Menjarah
Menjarah
Menjarah
Berita

Kasus Perdagangan Satwa Liar Tinggi, Penegakan Hukum Dinilai Tak Maksimal

466
×

Kasus Perdagangan Satwa Liar Tinggi, Penegakan Hukum Dinilai Tak Maksimal

Share this article
Ilustrasi orangutan sumatera (Pongo abelii). | Foto: Tatang Mitra Setia
Ilustrasi orangutan sumatera (Pongo abelii). | Foto: Tatang Mitra Setia

Gardaanimalia.com – Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Center (YOSL-OIC) mencatat puluhan kasus perdagangan satwa dilindungi yang diproses hukum selama kurun waktu 6 tahun.

Data yang berjumlah 45 kasus tersebut dihitung sejak 2016 hingga akhir tahun 2022. Adapun lokasi pendataan yaitu Sumatra Utara (Sumut).

pariwara
usap untuk melanjutkan

Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang merupakan daerah dengan kasus tertinggi, yakni 21 dan 8 kasus. Kemudian disusul Tapanuli Utara dengan 4 kasus, serta Binjai, Karo dan Labuhanbatu masing-masing 1 kasus.

Hal tersebut disampaikan Deputi Direktur Perlindungan Spesies dan Habitat YOSL-OIC, Muhammad Indra Kurnia pada Catatan Akhir Tahun Sumatera Tropical Forest Joournalist (STFJ) 2022 di Medan, Kamis (29/12).

Indra mengatakan, “Meski perburuan tetap terjadi, pandemi Covid-19 menyebabkan pengiriman barang diperketat. Jadi, dengan adanya pandemi Covid-19 terdapat sedikit keuntungan dengan menurunnya perdagangan satwa liar”.

Namun, yang menjadi sorotan adalah penegakan hukum yang diberikan kepada pelaku kejahatan satwa liar. Hal ini disampaikan Kepala Divisi SDA LBH Medan, Muhammad Alinafia.

Dirinya menyebut, bahwa vonis para pelaku kejahatan satwa jauh dari undang-undang yang berlaku di Indonesia.

“Ancaman hukumannya UU Nomor 5 Tahun 1990 itu lima tahun, kenapa tidak ada yang maksimal? Begitu juga hukuman denda, kenapa hanya Rp100 juta? Ini menjadi pertanyaan,” ujarnya.

Hukuman bagi Pelaku Kejahatan Satwa Masih Ringan

Mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1990, ancaman hukuman bagi pelaku kejahatan satwa liar maksimal lima tahun penjara dan denda Rp100 juta. Beberapa kasus pada 2022 pun disorot dalam pertemuan ini.

Misalnya, kasus perdagangan orangutan sumatera (Pongo abelii) dengan terdakwa Thomas Raider Chaniago alias Thomas (18).

Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Cabang Labuhan Deli yang menjatuhkan vonis 1 tahun penjara dan denda 10 juta rupiah subsider 6 bulan, pada 17 Oktober 2022.

“Regulasi UU Nomor 5 Tahun 1990 harus direvisi, khususnya hukuman harus lebih dari 5 tahun. Juga tidak bisa lagi denda hanya Rp100 juta. Padahal kerugian satu orangutan sumatera itu mencapai Rp1 miliar,” jelasnya.

Direktur STFJ, Rahmad Suryadi juga menyampaikan bahwa putusan terhadap Thomas jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), dengan tuntutan hukum pidana penjara 1 tahun 6 bulan.

Tidak hanya itu, terdapat satu kasus lagi yang menjadi sorotan dalam pertemuan itu. Kasus yang diputus oleh Pengadilan Negeri Simpang Tiga Redelong, Bener Meriah, pada Rabu (2/11).

Yaitu hukuman pidana 1 tahun 6 bulan penjara dan denda 100 juta rupiah subsider 1 bulan kurungan terhadap terdakwa tindak pidana kasus perdagangan kulit harimau, Iskandar (48).

Edi AP, sindikat perdagangan orangutan sumatera dijatuhkan vonis ringan oleh PN Kota Binjai dengan 8 bulan penjara dan denda Rp100 juta subsider dua bulan penjara.

Menyikapi sejumlah kasus persidangan di atas, Rahmad menilai, hukuman yang ringan terhadap pelaku kejahatan satwa tidak memberikan efek jera.

“Tidak membuat efek jera bagi pelaku kejahatan karena masih terlalu ringan,” ucapnya. Hal ini tentu menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan satwa liar dilindungi.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments