[caption id="attachment_8425" align="aligncenter" width="620"] Ilustrasi kerusakan hutan di Indonesia. Foto: Antara/Iggoy el Fitra[/caption]
Gardaanimalia.com - Kawasan hutan menjadi aspek penting bagi pembangunan ekonomi maupun bagi keberlangsungan kehidupan satwa liar. Indonesia sendiri, pada tahun 2019, memiliki luas lahan berhutan sekitar 94,1 juta hektare atau 50,1% dari total daratan berdasarkan data yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK. Namun, dari luasan hutan tersebut masih ada beragam problematika yang turut mewarnai.
Prof. Dr. Tukirin Patmomihardjo, peneliti botani dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyebutkan tiap tahun setidaknya 13 juta hektare kawasan hutan telah dialihfungsikan menjadi kawasan pertanian atau pemukiman. Selain itu, setiap jamnya setidaknya terdapat tiga jenis biota punah serta setidaknya dalam setahun terdapat 20 ribu biota menghilang.
Sebagai contoh nyata, kerusakan parah dialami hutan bakau yang terdapat di dalam Kawasan Suaka Margasatwa Mampie, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Lebih dari 1000 hektare hutan lindung saat ini hanya tersisa beberapa persen akibat terjadinya abrasi pantai. Pemicu dari abrasi itu ialah pembabatan hutan bakau dan ada pula yang dialifungsikan oleh masyarakat menjadi kawasan tambak. Hutan bakau disepanjang Kawasan Suaka Margasatwa Mampie kini hanya tersisa 20 persen saja. Akibatnya terdapat 272 fauna telah menghilang serta kawasan pemukiman di sejumlah desa didekat kawasan lindung mengalami banjir rob.((Dikutip melalui website <a href="https://edukasi.kompas.com/read/2012/04/05/14344186/~Regional~Indonesia%20Timur"><u>https://edukasi.kompas.com/read/2012/04/05/14344186/~Regional~Indonesia%20Timur</u></a> diakses pada 24 April 2021))
Masalah diperparah dengan adanyanya deforestasi. Masih ditambah lagi dengan ekspansi sawit, perhutanan sosial, hingga karhutla. Itu menjadi persoalan lain yang harus segera diselesaikan. Pemerintah harus berkomitmen dalam mengupayakan penyelesaian permasalahan ini. Perencanaan tata ruang perlu mengedepankan perbaikan pola ruang dan struktur tata ruang yang berbasis lingkungan guna menjamin kelestarian lingkungan dan perlindungan terhadap satwa yang hidup di dalamnya.
Perlu adanya keselarasan dalam pemanfaatan ruang berkelanjutan. Pemerintah harus secara tegas mengatur regulasi yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, konvensi maupun perjanjian yang bersifat nasional dan mengikat.
Kajian Teknis dan Spasial Untuk Penataan Ruang
Di Indonesia, pengaturan tata ruang ditetapkan di dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Di dalam peraturan ini dinyatakan tujuan dari penataan ruang ialah mewujudkan keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, serta melindungi fungsi ruang dan mencegah dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Sedangkan, untuk tata ruang kawasan hutan diatur secara khusus di dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kawasan hutan diartikan sebagai wilayah tertentu yang telah ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Penetapan kawasan hutan dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi. Melalui pemaduserasian antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTWR) dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) menjadi dasar penunjukan kawasan hutan dapat disusun. Namun, sangat disayangkan ketika dalam praktiknya seringkali dijumpai berbagai tantangan yang mengancam keberadaan kawasan hutan termasuk satwa yang hidup di dalamnya. [caption id="attachment_8424" align="aligncenter" width="733"]
Alihfungsi Hutan Menjadi Ancaman Bagi Kelestarian Alam dan Kehidupan Liar
Dikutip dari Kompas.com, pada 2008 Kementerian Kehutanan telah menerima usulan alih fungsi lahan seluas 15 juta hektare dari 12 pemerintah provinsi dan enam pemerintah kabupaten. Lahan yang diusulkan itu sebagian besar telah menjadi perkebunan kelapa sawit atau pertambangan tanpa izin pelepasan hak kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Selain itu, juga muncul usulan perubahan status kawasan hutan mencapai 5.867.654 hektare dan perubahan fungsi hutan mencapai 9.417.537 hektare di Kalimantan.((Dikutip dari <a href="https://nasional.kompas.com/read/2010/02/09/19480942/~Nasional"><u>https://nasional.kompas.com/read/2010/02/09/19480942/~Nasional</u></a> diakses pada 17 April 202)) Pengalihfungsian kawasan hutan untuk areal usaha tentu berdampak pada keberadaan kawasan konservasi di Indonesia. Mayoritas kawasan konservasi ditetapkan sebagai monumen alam (natuurmonumenten) serta suaka margasatwa (wildresertvaat). Meningkatnya usulan alih fungsi lahan, kedua kawasan ini semakin terancam. Begitu pula dengan satwa-satwa yang tinggal di dalamnya. Ini yang ditegaskan di dalam Pasal 7 UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, bahwa perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia. Baca juga: Simpan 4,5 Kilogram Sisik Trenggiling, Warga Kalbar Digerebek Polisi Sistem penyangga kehidupan merupakan proses yang terjadi dari berbagai unsur hayati dan non hayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup. Aturan ini disebutkan kembali dalam Pasal 24 ayat (2) PP No. 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, perlindungan kawasan suaka alam (termasuk suaka margasatwa dan cagar alam) dilakukan melalui pencegahan, penanggulangan, serta pembatasan kerusakan yang dapat dilakukan oleh manusia, ternak, alam, dsb. Berdasarkan penilaian, pengelolaan kawasan konservasi seperti taman nasional dinilai masih belum sepenuhnya efektif. Ini ditunjukkan misalnya oleh penilaian Perangkat Pemantau Efektivitas Pengelolaan (METT). Pengelola menghadapi tantangan yang lebih besar lagi di kawasan konservasi non-taman nasional. Tantangan itu menyebabkan adanya degradasi ekosistem yang diakibatkan oleh pembalakan liar, perambahan, perburuan liar, penggembalaan ternak ilegal dan perubahan penggunaan lahan lainnya.((Dikutip dari tulisan berjudul “Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia: Manajemen yang telah ada, Pembelajaran, dan Rekomendasi” diterbitkan oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH bekerjasama dengan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)) [caption id="attachment_8423" align="aligncenter" width="642"]