Menjarah
Menjarah
Menjarah
Liputan Khusus

Sketsa Gelita Ibu Kota

1455
×

Sketsa Gelita Ibu Kota

Share this article
Burung perkici tengah bertengger di tiang besi yang disediakan oleh sang penjual di Pasar Burung Pramuka, Jakarta Timur. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia
Burung perkici tengah bertengger di tiang besi yang disediakan oleh sang penjual di Pasar Burung Pramuka, Jakarta Timur. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia

Gardaanimalia.com – Hiruk pikuk suara burung menyeruak dari kandang-kandang jeruji yang didisplai di depan-depan kios serta lapak para pedagang.

Orang berlalu-lalang keluar masuk lorong–yang tampak sedikit gelap karena sebagian tertutup oleh kandang yang bergelantungan di langit-langit.

pariwara
usap untuk melanjutkan

Tak hanya hewan, kandang kosong hingga pakannya pun tak luput dijual oleh mereka (pedagang). Beginilah kurang lebih suasana yang terlihat dan terasa ketika bersambang ke Pasar Burung Pramuka.

Berjarak lebih kurang satu kilometer dari Polsek Matraman, pasar ini berada di sudut jalan antara Siaga Raya dan Gugus Depan. Tepatnya, berlokasi di belakang Pasar Pramuka, Kecamatan Matraman, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

Kira-kira 48 tahun beroperasi, pasar burung yang diklaim terbesar se-Asia Tenggara ini tak hanya menjual burung dari berbagai jenis, tetapi juga ada primata hingga reptil yang terkandang di dalamnya.

Bagi sebagian orang, mungkin agak terkejut ketika tiba di sana. Sebab, yang berjejer di sepanjang kios tak hanya satwa pada umumnya. Namun, kerap pula dijumpai satwa langka dengan status dilindungi.

Sekumpulan burung curik bali yang ditemukan di Pasar Burung Pramuka. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia
Sekumpulan burung curik bali yang ditemukan di Pasar Burung Pramuka. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia

Ya. Beruntunglah jika melekat status dilindungi karena sudah pasti peredarannya akan dibatasi, bahkan dilarang oleh pemerintah.

Tetapi malang, jika satwa liar tak dilindungi, maka bersiap untuk dipasarkan secara bebas oleh para pedagang tanpa takut kepergok aparat penegak hukum atau dibui.

Di Indonesia, terdapat regulasi yang mengatur sedemikian rupa sehingga tak semua hewan dapat diperjualbelikan secara leluasa.

Saat ini, legislasi itu telah melindungi 787 spesies satwa liar yang tercatat dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya juga disebut secara tegas mengenai larangan mengotak-atik satwa dilindungi yang berakibat pada kepunahan.

Pada teksnya, jelas dinyatakan bahwa siapa pun tak diperbolehkan untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa dilindungi, baik dalam keadaan hidup maupun mati.

Apabila tak patuh, maka pelanggar berpotensi dipidana dengan risiko penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak sebesar 100 juta rupiah.

Satwa Dilindungi yang “Tak Dilindungi”

Gelatik jawa, burung dilindungi yang kerap ditemukan di Pasar Burung Pramuka. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia
Gelatik jawa, burung dilindungi yang kerap ditemukan di Pasar Burung Pramuka. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia

Genap 12 hari yang lalu, persis pada Rabu, 24 Januari 2024 sekira pukul 11.00 WIB. Tim Garda Animalia mendatangi Pasar Burung Pramuka untuk menengok kembali situasi terbaru.

Walaupun sedikit out of the box melihat tak ada perubahan signifikan yang terjadi–padahal lokasi pasar tak jauh dari kantor aparat penegak hukum–tetapi tak pula heran saat menemukan ratusan satwa dilindungi terpajang dan terkurung di sana.

Ya, sejatinya ini bukan hal baru.

Garda Animalia telah memantau–salah satunya Pasar Burung Pramuka–sejak 2019 hingga sekarang, dengan intensitas pantauan sekurangnya satu kali per bulan. Dan, selalu, satwa dilindungi tak pernah absen dari daftar temuan.

Kali ini, kami menjumpai setidaknya 18 jenis satwa dilindungi dengan jumlah yang tak sedikit.

  1. Cica daun besar (Chloropsis sonnerati) sebanyak 15 ekor (EN) (Non-apendiks)
  2. Cica daun sayap-biru (Chloropsis cochinchinensis) sebanyak 23 ekor (EN) (Non-apendiks)
  3. Gelatik jawa (Lonchura oryzivora) sebanyak 30 ekor (EN) (Apendiks II)
  4. Ekek geling (Cissa thalassina) sebanyak 1 ekor (CR) (Non-apendiks)
  5. Tiong emas (Gracula religiosa) sebanyak 24 ekor (LC) (Apendiks II)
  6. Nuri maluku (Eos bornea) sebanyak 12 ekor (LC) (Apendiks II)
  7. Perkici dora (Trichoglossus ornatus) sebanyak 13 ekor (LC) (Apendiks II)
  8. Perkici pelangi (Trichoglossus haematodus) sebanyak 5 ekor (LC) (Apendiks II)
  9. Nuri aru (Chalcopsitta scintillata) sebanyak 2 ekor (LC) (Apendiks II)
  10. Perkici oranye (Trichoglossus capistratus) sebanyak 7 ekor (LC) (Apendiks II)
  11. Serindit jawa (Loriculus pusillus) sebanyak 14 ekor (NT) (Apendiks II)
  12. Betet biasa (Psittacula alexandri) sebanyak 2 ekor (NT) (Apendiks II)
  13. Poksai jambul (Garrulax leucolophus) sebanyak 25 ekor (LC) (Non-apendiks)
  14. Takur api (Psilopogon pyrolophus) sebanyak 3 ekor (LC) (Non-apendiks)
  15. Jalak putih blambangan (Acridotheres melanopterus tricolor) sebanyak 37 ekor (EN) (Non-apendiks)
  16. Curik bali (Leucopsar rothschildii) sebanyak 45 ekor (CR) (Apendiks I)
  17. Tangkar centrong (Crypsirina temia) sebanyak 2 ekor (LC) (Non-apendiks)
  18. Paok pancawarna jawa (Hydrornis guajanus) sebanyak 2 ekor (LC) (Non-apendiks)

Fantastis. 262 ekor yang terpantau–dengan asumsi masih ada yang belum teridentifikasi karena tidak seluruh lorong berhasil dilewati.

Ini bukan angka yang kecil jika mengingat ancaman populasi satwa liar tak hanya bersumber dari kerusakan habitat, tapi juga perburuan dan perdagangan.

Suara Dunia

Perhatian dunia turut bergulir. Artinya, perlindungan terhadap satwa tak hanya sekadar hadir di internal negara Indonesia, tapi juga secara global.

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) merupakan perjanjian internasional antarnegara yang bertujuan untuk melindungi tumbuhan dan satwa liar dari perdagangan internasional.

Ekstra amunisi ini tentu membantu memperkuat ikhtiar dalam menjaga dan memperketat lalu lintas angkut satwa terlarang dari satu negara ke negara lain.

CITES mengategorikan spesies ke dalam tiga daftar, yaitu apendiks I, II, dan III. Masing-masing dari label tersebut akan memengaruhi tingkat ketegasan terhadap larangan memperdagangkan satwa liar di dunia internasional.

Apendiks I merupakan daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam punah dan dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional.

Sementara, apendiks II ialah daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi dapat terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan.

Apendiks III adalah daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam apendiks II atau apendiks I.

Hadirnya ketetapan secara internasional mengenai perlindungan satwa ini mengisyaratkan betapa pentingnya eksistensi fauna bagi keseimbangan ekologis dunia.

Sehingga, keberadaannya patut dijaga dan diatur tata kelola pemanfaatannya secara holistik dan berkesinambungan.

Tiong emas dalam kandang jeruji. | Foto: Liana Dee/Garda Animalia
Tiong emas dalam kandang jeruji. | Foto: Liana Dee/Garda Animalia

Disharmoni: Burung Berpindah dari Alam ke Pasar Burung

Achmad Ridha Junaid, Biodiversity Conservation Officer Burung Indonesia mengonfirmasi bahwa ada keterhubungan antara jumlah populasi di alam dan yang diperdagangkan di pasar burung.

“Jelas ada hubungannya, ya,” kata Ridha kepada Garda Animalia saat wawancara via Zoom pada Jumat (2/2/2024).

Kalau masyarakat setempat itu bilangnya, “Ngapain nyari-nyari di hutan, Mas. Di pasar burung banyak juga burungnya,” ujar Ridha menirukan perkataan warga–pernah dilontarkan kepadanya saat melakukan survei atau penelitian di salah satu kawasan hutan Indonesia.

“Jadi, kayak seolah-olah burung itu berpindah dari hutan ke pasar burung. Tetapi, secara fakta itu terjadi. Burung-burung yang di alam ini berpindah, dalam artian mereka ditangkap, kemudian diperjualbelikan sehingga mereka lebih mudah dicari di pasar burung dibandingkan di hutan,” ungkapnya miris.

Dalam penuturannya, Ridha menyebut bahwa sejauh ini memang belum ada kajian yang benar-benar bisa menjawab pertanyaan: apakah populasi burung menurun atau tidak.

Karena, menurutnya, sebagian besar belum ada yang melakukan penelitian mengenai populasi, menghitung secara betul-betul berapa jumlah burung di alam. “Itu sangat sulit dilakukan dan butuh biaya yang sangat besar,” terang Ridha.

Akan tetapi, Ia mencoba untuk menguraikan sumber yang biasa digunakan oleh cukup banyak organisasi dalam melihat keterancaman satwa liar tersebut.

“Kita sering kali bisa melihat dari cuplikan-cuplikan data atau sampel atau juga dari indikator-indikator lainnya seperti status keterancaman. Status keterancaman itu dikaji, kemudian dievaluasi setiap tahun dan melihat berdasarkan referensi populasinya atau perkiraan populasi di alam,” jelasnya.

Apabila ancaman satwa itu meningkat dan populasinya menurun, maka status atau level keterancamannya akan dinaikkan. “Status ini dievaluasi oleh badan konservasi dunia, namanya IUCN (International Union for Conservation of Nature),” ungkap Ridha.

Organisasi perlindungan lingkungan terbesar di dunia atau lekat dikenal dengan sebutan IUCN tersebut memberikan label pada spesies satwa di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Label tersebut dapat dianggap sebagai alarm bagi negara yang di wilayahnya terdapat spesies satwa yang dimasukkan ke dalam daftar merah IUCN.

Harapannya, negara yang dimaksud terdorong untuk melakukan perlindungan dan penjagaan lebih ketat sesuai dengan level keterancaman yang disematkan.

Setidaknya, ada sembilan kategori konservasi. Tujuh di antaranya paling disorot karena memiliki kejelasan data, sedangkan dua lagi adalah kategori yang menyatakan data mengenai spesies itu kurang lengkap, serta tidak dievaluasi.

Ketujuh kategori tersebut, yaitu punah (extinct; EX), punah di alam liar (extinct in the wild; EW), kritis atau sangat terancam punah (critically endangered; CR), terancam (endangered; EN), rentan (vulnerable; VU), hampir terancam (near threatened; NT), dan risiko rendah (least concern; LC).

Ridha mencontohkan, cica daun jawa. Burung ini dulunya dikenal sebagai cica daun sayap-biru. Tetapi, sekarang secara taksonominya telah dipisah sehingga menjadi spesies tersendiri.

Di bawah tahun 2010, status keterancaman cica daun jawa masih risiko rendah. Namun, kini status keterancamannya menjadi genting atau terancam (endangered).

“Dalam kategori endangered itu artinya burung-burung tersebut terancam punah secara global. Jadi, dari situ kita bisa melihat bahwa ternyata semakin banyak mereka [burung] ditangkap itu semakin berdampak juga pada risiko kepunahannya di alam,” kata Ridha.

Sedikit, Ridha juga menyinggung soal salah satu penyebab meningkatnya keterancaman cica daun jawa. Menurutnya, burung endemik Pulau Jawa itu karena pamornya yang sangat meningkat sehingga banyak dicari orang .

“Akhirnya, jalan tercepat untuk bisa mendapatkan burung itu, kan, otomatis dari penangkapan langsung di alam. Dampaknya itu juga berimbas langsung pada populasi burung di habitat alami,” tuturnya.

Satwa yang tertidur. | Foto: Liana Dee/Garda Animalia
Satwa yang tertidur. | Foto: Liana Dee/Garda Animalia

Perkataan Ridha pun diperkuat oleh Swiss Winasis, Birdpacker-Burungnesia. Ia menyebut, beberapa jenis satwa dilindungi, seperti cica daun besar dan cica daun sayap-biru sudah sangat sulit ditemukan di alam, bahkan di antaranya sudah tak tahu lagi di mana.

“Cica daun besar itu kalau di Jawa kayaknya malah sudah enggak tahu di mana. Cica daun sayap-biru, sampai tahun 2010, 2014, itu beberapa kali masih bisa ditemui. Tapi sekarang sudah sangat sulit,” katanya melalui pesan WhatsApp kepada Garda Animalia, Jumat (2/2/2024).

Dia memberikan gambaran pada jenis lainnya, yaitu gelatik jawa. Menurutnya, gelatik cenderung agak mudah ditemui terutama di kantong-kantong populasi tempat burung tersebut bersarang, seperti taman kota, Candi Prambanan, dan lain-lain.

“Tapi, di luar itu, ya, memang susah,” imbuh Swiss.

Beberapa jenis burung dilindungi lainnya yang dijumpai oleh Garda Animalia di Pasar Burung Pramuka adalah jalak putih blambangan berjumlah 37 ekor dan poksai jambul berjumlah 25 ekor.

Menurut Swiss, populasi terbesar jalak putih blambangan hanya ada di Taman Nasional Baluran. Selain itu, Swiss mengira, burung tersebut juga masih ada di Taman Nasional Alas Purwo, tapi dengan jumlah yang sangat sedikit sekali.

“Di luar Purwo dan Baluran, saya kira enggak ada catatan untuk jalak putih blambangan. Kalau poksai jambul, saya belum pernah seumur-umur lihat burung ini,” papar Swiss.

Potret monyet ekor panjang di balik jeruji. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia
Potret monyet ekor panjang di balik jeruji. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia

Zoonosis Sita Perhatian

Pada kenyataan di tengah Kota Jakarta, aktivitas perdagangan satwa liar dilindungi–sekaligus menyandang status endangered dan apendiks–sampai hari ini masih beroperasi, salah satunya di Pasar Burung Pramuka.

Namun, ketika berada di sana, kami tak dapat mengulik lebih jauh terkait legalitas kepemilikan satwa. Jika dimiliki, maka legal secara hukum, tetapi belum tentu baik bagi keberlangsungan hidup satwa liar di alam.

Lebih lagi, faktanya tak sedikit satwa dilindungi yang diperjualbelikan di Indonesia, baik melalui daring maupun luring berasal dari penyelundupan dan perburuan. Maka, jika ini yang terjadi: dampaknya bisa dipastikan akan kian gadang.

Terlepas dari legalitas–entah dimiliki atau tidak–proses niaga yang melibatkan satwa liar sebagai komoditas (dengan tata kelola yang kurang baik) berpotensi menjadi kausa penularan zoonosis.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam situs resminya menjelaskan, zoonosis merupakan penyakit yang ditularkan dari hewan–baik hewan liar, hewan ternak, maupun domestik (hewan peliharaan)–ke manusia.

Sekawanan kalong bergelantungan di pasar hewan dalam kondisi terbangun. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia
Sekawanan kalong bergelantungan di pasar hewan dalam kondisi terbangun. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia

Patogen, sebuah istilah medis yang digunakan untuk menggambarkan kuman, yaitu organisme kecil yang menyebabkan penyakit pada inangnya.

Dikatakan, bahwa patogen yang dapat ditransfer oleh hewan ke manusia beragam rupanya, mulai dari bakteri, virus, parasit, hingga jamur.

Sebuah organisasi kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) menyebut, setidaknya 6 dari 10 penyakit menular yang ada saat ini merupakan zoonosis.

Bahkan, 3 dari 4 penyakit infeksi baru pada manusia bersumber dari hewan. Pernyataan ini melansir laman web BRIN yang dipublikasikan pada 3 Agustus 2022 lalu.

Ternyata, tak usai dengan berbagai masalah atau interaksi negatif yang muncul antara satwa liar dan manusia, seperti pemeliharaan, perdagangan, dan perburuan.

Kini, risiko penyebaran penyakit dari hewan ke manusia atau sebaliknya pun menjadi lis tambahan yang mesti diberi perhatian besar. Pemerintah harusnya melihat ini sebagai problem yang tak akan dilepas jika tak tuntas.

Kehidupan burung yang di kandang. | Foto: Liana Dee/Garda Animalia
Kehidupan burung yang di kandang. | Foto: Liana Dee/Garda Animalia

Tilik secara Holistik

Dengan sejibun masalah yang muncul akibat perdagangan satwa liar, mari kita lihat: sejauh apa penertiban yang sudah dilakukan oleh para pemegang wewenang terhadap para pedagang yang memajang satwa dilindungi di Pasar Burung Pramuka?

Bukan hanya soal legal dan tidak legal, jual beli satwa liar dilindungi secara masif dapat memengaruhi penurunan populasi di alam menjadi semakin besar. Tak menutup kemungkinan, hal itu juga mendorong perburuan liar sebab adanya permintaan.

Oleh karena itu, tak cukup hanya memeriksa legalitas, tapi juga harus merumuskan suatu strategi pengaturan dan tata kelola perdagangan yang tak mengancam kelestarian satwa liar terutama dilindungi.

Koordinator Pemantauan Perdagangan Satwa Garda Animalia Robby Padma mengatakan, selama ini penindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tak menyentuh hingga ke akar permasalahan.

“Salah satu faktor utama yang memengaruhi tingkat perdagangan di pasar-pasar hewan adalah masalah perekonomian. Jadi, ketika faktor utama ini enggak diperhatikan dan enggak dibedah secara menyeluruh untuk dapat dicarikan solusinya, maka yang terjadi adalah aktivitas perdagangan akan sulit dihentikan,” jelas Robby, Kamis (1/2/2024).

Ratusan pakan burung. | Foto: Liana Dee/Garda Animalia
Ratusan pakan burung. | Foto: Liana Dee/Garda Animalia

Sepanjang 2019-2023, Garda Animalia melakukan pemantauan di 71 pasar hewan yang ada di 17 provinsi dan tersebar di 56 kota/kabupaten di Indonesia. Mereka menemukan, ribuan satwa dilindungi diperjualbelikan di tempat-tempat tersebut.

Hasil temuannya, seluruh satwa yang diperdagangkan selama empat tahun itu berjumlah 28.762 individu dengan total 109 spesies yang terdiri dari 32 famili.

Dia menilai, sosialisasi dan pengawasan yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum masih lemah dan kurang maksimal.

“Kenapa dikatakan begitu? Karena sampai hari ini, kami masih menemukan satwa dilindungi terpampang di puluhan pasar hewan di Indonesia, termasuk Pasar Burung Pramuka,” tegasnya.

Dia juga mengingat bahwa sosialisasi dan penyitaan di Pasar Burung Pramuka pernah dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) pada tahun 2021.

Namun, setelah tahun tersebut, Robby mengaku tak mengetahui lagi, apakah tindakan serupa tetap dijalankan secara berkala atau tidak.

“Seingat saya, sosialisasi dan penyitaan di sana itu pernah dilakukan tahun 2021. Nah, setelahnya enggak tahu lagi. Akan tetapi, melihat masih marak perdagangan satwa dilindungi di Pasar Burung Pramuka, saya pikir sosialisasi dan pengawasan enggak dilakukan secara maksimal,” lanjutnya.

Kaki burung tampak dirantai dan terikat di tiang. | Foto: Liana Dee/Garda Animalia
Kaki burung tampak dirantai dan terikat di tiang. | Foto: Liana Dee/Garda Animalia

Dalam temuan Garda Animalia, Robby mengungkapkan bahwa rata-rata pedagang yang menjual satwa dilindungi mengaku punya legalitas. Tetapi, ketika ditanya lebih jauh, para pedagang tak dapat menunjukkan dokumen legalitas yang dimaksudkan.

Di Indonesia, sekiranya ada tiga jenis dokumen yang berhubungan dengan legalitas kepemilikan atau pengangkutan satwa liar, yaitu SATS-DN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri), SKKH (Surat Keterangan Kesehatan Hewan), dan Surat Izin Kepemilikan Hewan yang harus dimiliki.

Selain itu, Robby juga membeberkan bahwa distribusi dari hulu [sumber satwa] ke hilir [tempat akhir persinggahan satwa, seperti pasar burung] masih masif.

Walaupun penegakan hukum dilakukan di batas-batas kepulauan, tapi modus para pelaku juga semakin berkembang.

“Upaya penegakan hukum untuk menghalau penyelundupan sudah sangat bagus. Tetapi memang, karena modus operandi yang terus berkembang, maka usaha aparat penegak hukum dalam mengendus penyelundupan itu juga harus selangkah lebih maju dari para pelaku,” tuturnya.

Satu monyet ekor panjang meringkuk di dalam kandang. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia
Satu monyet ekor panjang meringkuk di dalam kandang. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia

Menelisik hingga ke akar, memang, adalah cara jitu untuk menemukan solusi terbaik. Poin ini merupakan bagian penting yang mesti ditindaklanjuti.

Tentu saja, ini harus dilakukan melalui kolaborasi banyak pihak. Namun, tak dapat dimungkiri, pemilik wewenang mempunyai tanggung jawab lebih besar sebagai motor penggerak dari perubahan yang dinantikan.

Di Pasar Burung Pramuka, tak kurang dari 150 pedagang mencari penghidupan di atas bangunan tiga lantai tersebut.

Otomatis, dalam penetapan keputusan mestilah mempertimbangkan dan memikirkan secara menyeluruh, baik dari sisi keberlanjutan ekonomi para pedagang maupun kelestarian satwa liarnya.

Sehingga, keseimbangan sistem ekologi yang terbentuk dari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungan dapat tercapai. Setidaknya, lebih baik dari hari ini.

5 3 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments