Menjarah
Menjarah
Menjarah
Liputan Khusus

Udang Purba Jawa: 23 Juta Tahun Bertahan di Kegelapan

889
×

Udang Purba Jawa: 23 Juta Tahun Bertahan di Kegelapan

Share this article
Cahyo Rahmadi, Peneliti BRIN sedang memasukkan udang purba jawa ke dalam tabung untuk diteliti. | Foto: Rakhanda Fatharana/Garda Animalia
Cahyo Rahmadi, Peneliti BRIN sedang memasukkan udang purba jawa ke dalam tabung untuk diteliti. | Foto: Rakhanda Fatharana/Garda Animalia

Gardaanimalia.com – Lorong gua itu tampak dingin dan tua di antara petak-petak kebun warga. Tak jarang sekali dua kali dentuman dari aktivitas pertambangan semen terdengar dan terasa dekat.

Di tengah hari itu, pada Rabu 15 Mei 2024, tiga peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), tiga pencinta alam Linggih Alam dan tim Garda Animalia menelusuri Gua Cikarae, kawasan karst Klapanunggal, Kabupaten Bogor yang konon telah ada sejak 23 juta tahun lalu.

“Gua ini horizontal,” kata Cahyo Rahmadi, Peneliti BRIN dan penemu Stenasellus javanicus atau yang dikenal sebagai udang purba jawa.

“Memiliki tiga zona, yakni zona terang, zona senja dan zona gelap abadi. Di dalamnya ada chamber (ruangan) yang luas seperti lapangan, dan setelahnya jalan terbelah menjadi dua.”

Mereka pun bergerak dalam tim. Tujuannya untuk ‘sensus’ atau menghitung kembali jumlah udang purba yang ada di Gua Cikarae setelah penelitian terakhir dilakukan pada 2018 silam.

Langkah dan pijakan harus berhati-hati. Pakaian yang dikenakan juga mesti serba panjang dan memakai sepatu boots. Kegelapan total menanti.

Kecemasan memudar setelah masuk ke dalam gua. Di dalamnya terdapat kemegahan perut bumi, dengan susunan bebatuan kapur yang tersusun dalam bentuk kerucut di langit-langit gua.

Tanah dan dinding terasa basah. Namun, dalam kegelapan dan kelembapan itu, udara terasa dingin dan sejuk.

Senter dinyalakan. Kami berhati-hati dan bergerak turun secara perlahan. Sebab di antara bebatuan yang jadi pijakan para penelusur itu, terdapat kolam-kolam kecil seperti meja di lantai, berukuran sekitar 30 sentimeter atau kurang, yang berisikan sang makhluk purba.

“Sekitar 93 plus sekarang, berarti bertambah,” kata salah satu peneliti kepada kelompok setelah mereka menelusuri gua empat jam lamanya.

“Dalam penelitian sebelumnya, kita temukan 63 udang purba.” 

“Menarik,” sahut pria yang akrab disapa Cahyo kepada tim penelusuran.

Senja semburat kuning ke perkebunan. Angin sepoi berlalu, mengingatkan Cahyo akan penelitian pertamanya 20 tahun lalu di tempat yang sama. Ia bilang, daerah perkebunan itu dahulu lebih rimbun—bahkan seperti hutan.

Apa Itu Udang Purba Jawa?

Udang purba jawa adalah salah satu satwa gua karst yang berasal dari laut dan kemudian beradaptasi. | Foto: Bolet dan Rakhanda/Garda Animalia
Udang purba jawa adalah salah satu satwa gua karst yang berasal dari laut dan kemudian beradaptasi. | Foto: Bolet dan Rakhanda/Garda Animalia

Pada 2004 silam, Cahyo bersama tim Lawalata IPB menemukan biota gua yang pertama kali ia lihat di Pulau Jawa: udang air tawar.

Udang ini berbeda dengan udang yang biasa ditemukan di pasar. Ukurannya sekitar 7 sampai 10 milimeter.

Dalam proses identifikasi selama dua tahun, temuan itu terbukti merupakan spesies baru dan diberi nama Stenasellus javanicus. Ia tergolong dalam bangsa Isopoda, Asellota, famili Stenasellidesae. 

Udang purba jawa ini konon hanya ditemukan di Pulau Jawa bagian barat. Tidak di tengah atau timur. Warnanya merah jambu, mempunyai organ perasa seperti antena dan tidak memiliki mata. Ia hidup dalam ekosistem gua yang sangat ekstrem, kegelapan total tanpa sinar matahari.

“Ia juga hidup di sebuah mikro-habitat, yakni dari kolam-kolam yang tercipta dari aktivitas rembesan yang masuk ke struktur tanah, masuk ke batu gamping dan kemudian masuk ke celah rekaan. Sangat spesifik hidup di situ. Termasuk dengan substratnya yang berlumpur. Jadi, bukan dari sungai bawah tanah yang airnya bersumber dari luar gua,” terang Cahyo yang juga tergabung dalam Indonesia Speleology Society (ISS).

Secara umum, udang purba jawa ini lebih kecil daripada udang purba lainnya. Udang purba sumatra dan udang purba kalimantan lebih besar sebab keadaan habitat dan ekosistem yang cenderung berbeda.

“Di Sumatra, ia bisa ditemukan di Aceh, Bukittinggi dan Payakumbuh. Selain itu di Kalimantan Barat dan Tengah. Namun, udang purba tidak ada di Indonesia Timur,” jelas Cahyo.

Untuk memastikan lebih detail tentang penelitiannya, Cahyo kemudian menelusuri beberapa gua yang ada di Pulau Jawa. Hasilnya, Stenasellus javanicus juga ditemukan tak hanya di Gua Cikarae. Beberapa di antaranya di Ciduren, Bojong Nangka, Ciampea (Bogor), Karst Bojonglopang (Sukabumi) di Gua Buni Ayu, Ta’l, Gunung Walat dan Cibodas.

Selain itu, di Tasikmalaya, tepatnya di Gua Sarongge Jompong. Ia mengaku tidak menemukan udang purba di kawasan karst Gombong dan kawasan karst Gunung Sewu, Jawa Tengah.

Sembari menelusuri lorong-lorong gua, Cahyo dan dua peneliti lainnya memasukkan beberapa satwa yang akan diteliti ke dalam tabung kecil. Mereka juga melihat langsung udang purba mencapit dan memakan mangsanya. Temuan baru yang menarik bagi mereka.

“Sepurba apa udang ini? Pada dasarnya udang ini berasal dari laut. Kita juga masih bisa temukan beberapa jenis Stenasellus di laut. Namun, di Indonesia, yang baru ditemukan hanya di dalam gua. Udang ini hanya ditemukan di kawasan karst. Karst ini kan terumbu karang yang terangkat oleh aktivitas tektonik. Kalo dari segi umur batuan, sekitar 23 juta tahun lalu.”

Tim penelusuran kemudian bergerak belok kanan gua setelah melewati chamber. Konon di sana jumlah udang purba jawanya cukup banyak.

Sesekali jongkok dan duduk untuk beristirahat sembari berdiskusi tentang keberlangsungan kawasan karst Klapanunggal yang berkelindan dengan kepentingan industri semen, permukiman juga wisata yang akan berpengaruh kepada biota-biota yang hidup di dalam gua.

“Secara historis udang purba ini punya nenek moyang yang hidup di laut, kemudian beradaptasi air tawar dan hidup di gua. Pasti ada proses panjang evolusi selama jutaan tahun itu,” jelas pria berkacamata tersebut.

Status Konservasi Udang Purba Jawa

Memasuki gua tidak bisa sembarangan. Peralatannya harus tepat guna sesuai dengan gua yang akan ditelusuri. Helm, lampu kepala, lampu cadangan, baterai, sepatu boots hingga baju coverall setidaknya mesti melekat di badan. Belum jika gua tersebut vertikal. Tali adalah nyawa dan hidup sang penjelajah.

Cahyo bersama dua peneliti dan tiga pencinta alam kemudian keluar dari gua setelah empat jam berada di dalam kegelapan total. Sebagian duduk dan melepas peralatan.

Mulut gua tersebut tampak kecil dari luar dengan pagar dan seng yang menutupinya. Diskusi kemudian berlanjut dengan sedikit kepulan rokok yang membubung.

“Memang dalam status konservasi biota dalam gua, hanya ikan gua Puntius microps wader goa di kawasan karst Gunung Sewu yang menyandang status rentan dan dilindungi,” kata Cahyo, sedikit lirih.

“Berbeda dengan mamalia lain yang dikenal seperti harimau, badak, gajah yang sudah publik ketahui tingkat risiko keterancamannya. Belajar dari spesies khas yang ditemukan di gua, biasanya mereka punya tingkat kerentanan yang tinggi.”

Cahyo menjabarkan bahwa risiko keterancaman udang purba jawa dengan spesifik di Klapanunggal saja sudah cukup pelik dan sempit. Jumlahnya juga tidak relatif banyak seperti satwa gua yang lain.

“Tidak seperti jangkrik atau kaki seribu yang jumlahnya lebih banyak. Tingkat kerentanannya jika disesuaikan dengan status IUCN, dengan penelitian yang lebih lengkap, bisa saja masuk vulnerable atau ke kategori critically endangered.

Bagaimana Menjaga Udang Purba Jawa?

Di sisi lain, keterancaman udang purba jawa dan biota gua yang ada di Klapanunggal memiliki tantangan yang sangat besar, yakni manusia dan selingkar kepentingannya.

Ia menjelaskan bahwa selain industri semen, ada juga permukiman yang menyisir kawasan tersebut.

“Bicara konservasi biota gua, kita juga harus bicara tentang bagaimana mempertahankan tempat hidup mereka,” jelas Cahyo, sembari duduk membelakangi cerukan batu dengan coverall merah berlumpur.

“Sebab, apapun yang terjadi di luar akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan yang ada di dalam gua, baik itu dari ketersediaan air bahkan sampai kualitas lingkungan di dalam gua itu sendiri.”

Dalam perspektif hidrologis, kawasan bentang alam karst yang didominasi oleh batuan gamping adalah fondasi bagi seperempat penduduk bumi untuk memenuhi kebutuhan air mereka.

Keberadaan sungai bawah tanah yang kemudian mengalir menuju mata air. Oleh karena itu, tak jarang ahli geologi menjuluki kawasan karst sebagai ‘tandon air terbesar di muka bumi’.

“Ketersediaan air bersih akan menjadi isu manusia juga. Karena karst secara umum amat krusial untuk menyediakan air bersih. Ketika mata airnya terjaga, habitat dan spesiesnya terjaga, manusia yang memanfaatkan kawasan karst ini juga terjaga,” tambah Cahyo, sembari membenarkan letak kacamatanya yang jatuh dari tungkai hidungnya.

Perlahan senja turun, menyisakan kegelapan dan pendar cahaya bulan di atas.

Kami pun bergerak menuju sekretariat pencinta alam Palikar tempat kami beristirahat dan menyimpan barang.

Cahyo tertatih berjalan, merasa kesemutan setelah duduk dan menjelaskan mengapa menjaga kelestarian kawasan karst Klapanunggal ini penting—di mana sebagian besar masyarakat Bogor ditopang air dari kawasan ini.

“Inti sebenarnya menjaga udang purba, biota gua, adalah menjaga vegetasi dan kehidupannya,” tambah Cahyo.

“Paling gampang, jangan sampai gundul.”

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments