Gardaanimalia.com – Pada 31 Maret 2021, WALHI Sumatera Utara dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan mendaftarkan gugatan terhadap PT. Nuansa Alam Nusantara. WALHI Sumatera Utara menuntut PT tersebut karena memelihara spesies yang dilindungi tanpa izin. WALHI meminta pertanggungjawaban PT. Nuansa Alam Nusantara atas perbaikan kerusakan lingkungan yang telah mereka sebabkan.
“Kami akan menggugat kebun binatang ilegal yang diduga memelihara spesies dilindungi yang terancam punah. Kami akan meminta pertanggungjawaban perusahaan dan kebun binatang untuk memperbaiki kerusakan dan kerugian yang mereka timbulkan,” ucap Alinafiah Matondang, kuasa hukum LBH Medan.
Gugatan diajukan di Pengadilan Negeri Padang Sidempuan terhadap Kebun Binatang PT. Nuansa Alam Nusantara di Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara. Kebun binatang tersebut telah beroperasi secara ilegal tanpa izin dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam dan diketahui memelihara beberapa hewan paling langka dan ikonik di Indonesia.
Beberapa di antara koleksi mereka ialah orangutan sumatera, naga komodo, burung cendrawasih, kakatua dan kasuari. Ada setidaknya 43 hewan dari 18 spesies berbeda dan semua hewan itu masuk dalam daftar jenis satwa dilindungi undang-undang dan tidak boleh diperdagangkan.
“Hukum Indonesia harusnya memberikan perlindungan terhadap lingkungan. Kami telah menyiapkan kasus yang beralasan baik berdasarkan pendekatan berbasis sains yang jelas untuk dipertimbangkan oleh pengadilan,” kata Alinafiah.
Ia juga memaparkan bahwa kasus ini akan menjadi langkah penting untuk menunjukkan keseriusan dalam menggugat penyelundup hewan.
Baca juga: Pelihara 2 Macan Dahan di Pekarangan, Warga Tarakan Diamankan Polisi
Dalam kesempatan yang sama, Direktur WALHI Sumatera Utara Doni Latuparisa, menjelaskan bahwa polisi menggerebek kebun binatang untuk menyita dan menyelamatkan satwa tersebut pada tahun 2019 lalu. Menurutnya, pemilik perusahaan dan orang-orang yang terlibat harus bertanggung jawab atas pelanggaran hukum. Selain itu, mereka juga harus dimintai pertanggungjawaban atas perbaikan kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh kegiatan perusahaannya.
Undang-Undang Nomor 32/1990 menyebutkan bahwa ketika seseorang secara ilegal menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, pengadilan dapat memerintahkan pihak yang bertanggung jawab untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya.
Selain itu, UU 32/1990 juga telah melarang perusahaan yang secara ilegal membakar lahan pertanian, dan diperintahkan untuk menghutankan kembali ekosistem yang mereka rusak. Proses hukum ini juga harus diterapkan kepada para pelaku perdagangan satwa liar ilegal yang serius. Para pelaku harus memperbaiki kerusakan yang mereka timbulkan pada hewan individu, kelangsungan hidup spesies dan manusia.
“Dalam hal ini instansi pemerintah yang memiliki kewenangan harus melakukan pengawasan dan penegakan hukum secara tegas oleh para pelaku perdagangan hewan ilegal. Apalagi dalam hal ini yang dipelihara adalah spesies kunci yang terancam terancam punah. Kepunahan Jika hewan-hewan ini akan punah maka bukan tidak mungkin hal ini akan berdampak pada manusia dan makhluk hidup lainnya,” imbuh Dony.
Ia juga menegaskan bahwa WALHI Sumatera Utara akan terus mengawal kasus ini ke pengadilan agar pelakunya harus bertanggung jawab atas kerugian yang mereka timbulkan. Pihaknya juga menuntut agar para pelaku memberikan kompensasi finansial untuk memungkinkan perawatan, rehabilitasi dan pelepasan orangutan yang diselamatkan dari PT. Nuansa Alam Nusantara, membiayai patroli tambahan dan pemantauan ilmiah terhadap populasi orangutan di Sumatera Utara untuk membantu pemulihan populasi mereka dan menggantikan hewan yang diambil oleh kebun binatang, meminta maaf kepada publik atas kerusakan yang ditimbulkan pada masyarakat, serta memberikan kompensasi finansial untuk mengembangkan pameran pendidikan tentang perdagangan satwa liar ilegal dan dampaknya terhadap konservasi dan kesejahteraan manusia.