Cegah Zoonosis, Pengamatan Tidak Langsung Manfaatkan Ekolokasi Kelelawar Pemakan Serangga
Gardaanimalia.com - Kelelawar merupakan salah satu hewan yang menjadi reservoir alami untuk beberapa virus terkonfirmasi.
Mamalia nokturnal ini sering kali dikaitkan dengan berbagai penyakit menular yang memiliki dampak signifikan pada manusia, termasuk penyakit menular yang sudah terkonfirmasi, yaitu ebola, marburg, nipah, sindrom pernafasan akut parah (SARS - Severe Acute Respiratory Syndrome) dan Sindrom Pernafasan Timur Tengah (MERS – Middle East Respiratory Syndrome).
Beberapa tahun terakhir, kelelawar memiliki peran dalam penyebaran transmisi zoonosis. Meskipun pelaporannya tidak banyak, tetapi penyebaran virus harus tetap diwaspadai dan diminimalisir kemungkinannya.
Salah satu spesies kelelawar pemakan serangga (Sub-ordo Mircochiroptera) yang menjadi transmisi zoonosis adalah kelelawar tapal kuda (Rhinolophus affinis).
Spesies ini tersebar di Bangladesh, Bhutan, Kamboja, Cina, Hongkong, India dan beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Pada 1950-an, rabies kelelawar pertama kali terdeteksi dan dideskripsikan. Tingginya metabolik kelelawar diduga meningkatkan dan/atau membantu proses aktivasi sistem imun kelelawar.
Secara keseluruhan, kelelawar memiliki komponen sistem imun yang mirip dengan manusia, tetapi memiliki pola imun yang berbeda, di antaranya respon interferon terhadap infeksi virus.
Penelitian kelelawar terkait zoonosis di Indonesia masih terbilang rendah. Maka dari itu, pengetahuan mengenai dampak zoonosis terhadap penelitian kelelawar di Indonesia dirasa sangat penting untuk dipelajari.
Hal ini dimaksudkan agar terlihat seberapa besar potensi zoonosis yang dihadapi para peneliti terhadap objek penelitian kelelawar di Indonesia, upaya-upaya pencegahan penularan penyakit antar-peneliti dan kelelawar, serta mengetahui penggunaan teknik identifikasi dan pemantauan alternatif.
Kelelawar merupakan satu-satunya mamalia yang memiliki kemampuan terbang.
Hewan ini aktif pada malam hari (nocturnal), dimulai dari terbenamnya matahari hingga sebelum matahari terbit.
Perilaku tersebut merupakan adaptasi dari bentuk sayapnya berupa selaput tipis yang memiliki korelasi dengan kemampuan terbang dan ekolokasi.
Pada spesies kelelawar pemakan serangga, mereka mengandalkan adaptasi dan sosialisasi menggunakan ekolokasi dengan frekuensi tinggi.
Kelelawar sub-ordo Microchiroptera memiliki kemampuan ekolokasi untuk membedakan sinyal mangsa dan vegetasi.
Selain mengandalkan ekolokasi, mereka juga menggunakan bentang sayap yang sempit sehingga mudah melakukan manuver terbang di habitat hutan yang rapat.
Sebelumnya, identifikasi kelelawar yang populer digunakan adalah dengan melakukan pemerangkapan.
Pemerangkapan kelelawar pemakan serangga dapat menggunakan jaring kabut (mist-net), perangkap harpa (harp-net) dan jaring tangan (hand-net).
Dengan menggunakan alat-alat yang sudah disebutkan di atas, kemungkinan penularan penyakit antara peneliti dan kelelawar sangat besar, karena saat melakukan identifikasi menggunakan morfometrik, peneliti harus melakukan kontak langsung dengan kelelawar yang terperangkap.
Namun, kelelawar tidak hanya dapat dipantau secara langsung (in direct), khususnya pada kelelawar pemakan serangga (Sub-ordo Microchiroptera).
Saat ini, identifikasi kelelawar pemakan serangga tidak hanya melalui morfometrik atau pengukuran tubuh pada kelelawar, melainkan memanfaatkan kemampuan ekolokasi. Karakteristik suara tersebut dapat menjadi kunci identifikasi kelelawar pemakan serangga.
Dengan adanya kemampuan ekolokasi pada kelelawar pemakan serangga, peneliti dapat mengurangi kontak langsung dengan objek penelitian kelelawar.
Namun, metode ini terbilang baru untuk studi kajian kelelawar di daerah tropis, mengingat kajiannya dapat dikatakan masih sedikit.
Pemantauan kelelawar pemakan serangga dapat dilakukan menggunakan echometer (alat perekam ekolokasi kelelawar).
Sayangnya, spesies kelelawar pemakan serangga di Indonesia belum memiliki basis data rekaman ekolokasi kelelawar, sehingga pemantauan menggunakan ekolokasi belum dapat digunakan menjadi metode utama dalam pemantauan populasi di alam bebas.