Relasi Harmonis Gajah-Manusia dalam Sejarah dan Tradisi Budaya di Aceh

Gardaanimalia.com - Konflik antara manusia dan gajah di Tanah Sumatra bukan hal yang baru.
Peneliti dan penjelajah Inggris William Marsden pernah menyebutkan dalam buku “History of Sumatra” atau “Sejarah Sumatra” yang pertama kali terbit pada abad ke 18 dan diterjemahkan oleh Komunitas Bambu pada 2008.
Menurut Marsden, berdasarkan pengamatannya di Sumatera pada 1771, gajah hidup berkelompok menjelajahi rimba.
Gajah menjadi ancaman terbesar bagi kebun-kebun rakyat. Satwa ini dapat menghabisi pisang dan tebu dengan lahap. Namun, ini fatal karena petani kemudian memasukan racun pada belahan batang tebu hingga mematikan gajah.
Marsden menyebut, kejadian konflik manusia dan gajah terjadi wilayah Lampung, tempat dia tinggal antara 1754 hingga 1836.
Meskipun demikian, konflik manusia dengan gajah lebih banyak ditunjukkan oleh orang Belanda.
Perburuan gajah untuk diambil gadingnya berlanjut pada abad ke-19 ketika Belanda sudah menduduki kerajaan-kerajaan di Sumatra, jadi bukan dilakukan orang-orang Indonesia.
Catatan Syahbandar Kesultanan Deli pada 1862 menyebutkan angka ekspor selama 12 bulan di antaranya adalah gading gajah sebanyak 400 pasang. Selain itu, ada juga komoditi lain seperti rotan 2.000 ikat, tembakau 500 pikul, lada 8.300 pikul, gambir 500 pikul.
Tak hanya itu, orang Belanda juga menjadikan perburuan gajah sebagai kesenangan.
Konflik awal manusia dan gajah setelah kemerdekaan lebih banyak terjadi di Sumatra bagian selatan.
Hal ini tercatat dalam laporan Tjoa Tjien Mo dalam artikelnya “Kebuasan Manusia Terhadap Binatang Liar Harus Dikekang” dalam Rimba Raya Januari-Februari 1957.
Dalam artikel itu, penulis menuturkan bahwa sekitar 1920-1930-an gajah di Sumatra Selatan hidup tenang dan aman. Dapat disimpulkan, relasi manusia dan gajah umumnya baik.
Namun, pada 1953, dilaporkan 200 ekor gajah mati ditembak, masuk lubang perangkap dan mati kelaparan atau mati kena ranjau.
Pada 1954, sekitar 15 ekor gajah dibunuh dan pada 1955 terdapat 100 ekor gajah dibunuh .
Diagungkan di Tanah Aceh
Sementara, berdasarkan sumber primer, relasi antara gajah dan manusia berlangsung harmonis di Aceh.
Hikayat Raja Pasai mengungkapkan, ketika Raja Ahmad berburu di hutan, ia mengatakan bahwa menginginkan anak kepada orang yang dituakan di hutan, seperti tertulis dalam buku karya Mahbub Setiawan “Islamisasi Nusantara”, terbitan 2023.
Ketika permohonan dikabulkan, muncul seorang anak laki-laki yang menunggang gajah. Anak itu kemudian dimandikan oleh gajah di sungai tepat biasa gajah itu mandi.
Anak ini dipungut oleh raja dan dinamakan ‘Merah Gajah’. Raja Ahmad juga mempunyai anak perempuan yang keluar dari betung atau bambu, maka disebut Putri Betung.
Pada 1608, orang Belanda melihat Sultan Iskandar Muda melatih sekitar 58 ekor gajah di tanah lapang.
Sementara, di bawah Iskandar Tsani, 150 gajah berkeliling di sebuah arena, berdasarkan kesaksian Peter Mundy.
Sultan Iskandar Muda berlatih menunggangi gajah setiap Senin dan Kamis, seperti dikutip dari And Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatera, terbitan 2005.
Orang Eropa pun mencatat ribuan orang dan lusinan gajah menyaksikan kedatangan Sultan salat jumat ke masjid. Pada 1613, prosesi ini melibatkan dua ratus gajah dan empat ribu orang. Halaman 151 Jajat Burhanudin Islam dalam "Arus Sejarah Indonesia dari Negeri Bawah Angin ke Negeri Kolonial" pada 2020, menuliskan bahwa Sultan Iskandar Muda menunggangi gajah putih.
Pemahaman Masyarakat Aceh terhadap Gajah
Menurut jurnalis pemerhati sejarah, adat, dan budaya Iskandar Norman dalam berbagai literasi sejarah, masyarakat Aceh dulu hidup berdampingan dengan gajah.
Sejak dulu, masyarakat Aceh malah sudah paham betul karakter setiap jenis gajah. Gajah punya tempat terhormat sebagai kendaraan tunggangan para sultan dan pembesar negeri.
Karena sangat paham dengan karakteristik gajah, maka ada pembagian gajah berdasarkan jenisnya pada masa Kesultanan Aceh.
Gajah di Aceh dibagi dalam empat jenis: Mudam, Bugam, Siawang, dan gajah Keng. Pengelompokan gajah Aceh dilakukan berdasarkan bentuk tubuh dan tabiat dari jenis-jenis gajah itu sendiri.
Gajah Mudam merupakan gajah yang badannya besar dan panjang, punggungnya tidak bungkuk, bagian depan dan belakangnya sama tinggi, telinganya lebar dan lembut, mudah dijinakkan, patuh dan mudah diajarkan.
“Gajah jenis Mudam ini juga tahan kekurangan makanan dan minuman, tidak mudah berontak, serta setia membela kawan, pekerjaannya teratur dan tidak merusak, berak dan kencing teratur tidak berserakan, tidak mau menubruk dinding atau pagar walau dipaksa,” ujar Iskandar dalam keterangan tertulis yang diterima Garda Animalia, Kamis (31/10/2024).
Gajah Mudam senantiasa mencari jalan yang biasa dilaluinya, serta suka kepada bunyi-bunyian. Karena itu pula gajah Mudam sering digunakan dalam upacara kebesaran pasukan pengiring raja.
Jenis kedua adalah gajah Bugam. Gajah jenis ini badannya tinggi besar, tetapi tubuhnya agak pendek dan bungkuk.
Jenis ketiga ada gajah Siawang yang badannya agak kecil dan pendek, serta bulunya kemerah-merahan.
Gajah Siawang agak liar dan susah diajar. Ia juga pemalas yang suka memberontak, sangat rakus dan suka merusak tanaman. Karena sifatnya itu, gajah jenis Bugam dan Siawang sering dipakai untuk gajah perang dan gajah pekerja.
Gajah yang dipakai untuk suatu pekerjaan, misalnya di perkebunan, dinamani ‘gajah tunda’. Sementara, gajah yang menjadi kepala kelompok atau pemimpin dari kawanan gajah disebut ‘gajah tunggai’.
Jenis lainnya adalah gajah Keng. Gajah ini bagian depannya lebih tinggi dari bagian belakang, daun telinganya kaku dan lebar melewati kepalanya, bulunya kemerah-merahan. Gajah Keng tidak suka berkawan, sangat liar dan beringas.
Sultan Aceh zaman dahulu juga menggunakan gajah sebagai kendaraan kehormatan, gajah putih tunggangan sultan Aceh dinamai Biramsattani.
Biramsattani berasal dari Negeri Linge (Lingga) di dataran tinggi Gayo. Gajah itu diperoleh Seungenda anak raja Linge sebagai hadiah kepada Sultan Aceh.
Gajah Biramsattani diikutsertakan pada acara-acara khusus kerajaan, seperti pada penobatan Sultan Iskandar Muda menjadi Sultan Aceh pada 8 Zulhijjah 1015 H (11 April 1660 M).
Atas kehendak rakyat, ulama, angkatan perang dan para pembesar kerajaan Iskandar Muda diangkat menjadi sultan dengan gelar Sultan Alauddin Iskandar Muda Darmawangsa Perkasa Alam Syah.
Saat menuju ke tempat penobatan, Iskandar Muda menunggangi gajah Biramsattani.
Keberadaan gajah putih Biramsattani ini juga diungkapkan dalam cerita lisan rakyat Aceh secara turun temurun dalam bentuk bait-bait hikayat Diwa Sjamsareeh.
Keberadaan gajah di kesultanan Aceh juga ditulis oleh para sejarawan barat Dr. W.A.P dalam buku Het gezantschap van den Sultan van Achin. Dalam buku ia menulis:
“Slaan wij met Valentijn, een blik op het Koningkrijk van Atsjeh, gelijk hij het noemt, dan moet de Beheerscher de grootste Vorst van geheel Soematra geweest zijn, wiens titels, onder anderen, dus luidden : Een Koning, die bezit dan getanden olifant, den rooden, den gekleurden, den zwarten, den witten, den gespikkelden olifant ; een Koning wien God-almagtig schenk kleeding voor de olifanten, met goud en edelgesteenten versierd, benevens een groot aantal strijdolifanten, met ijzeren huizen op hunnen rug, wier tanden met ijzeren scheden overtrokken, en die met operen schoenen gewapen zijn.”
Terjemahannya kurang lebih:
“Pandangan kami bersama dengan Tuan Valentijn, selayang pandang pada Kesultanan Aceh, sesuai dengan apa yang disebutnya, maka sebenarnyalah, bahwa yang berkuasa itu adalah Maharaja yang terbesar di seluruh Sumatera, yang gelarnya antara lain disebut: seorang raja yang mempunyai gajah yang bergading, yang berwarna, yang merah, yang hitam, yang putih dan yang belang; seorang raja yang kepadanya dikaruniai Tuhan Yang Maha Kuasa memberi pakaian gajah-gajah itu dengan perhiasan emas dan batu permata (ratna mutu manikam), juga sejumlah besar dari gajah peperangan dengan ketakencana di atas punggungnya, yang mana gading-gadingnya berbalutkan besi dan diberi bersepatu tembaga.”
Hukum Adat Gie
Kemudian, terkait dengan kearifan masyarakat Aceh dalam menjaga lingkungan, Kesultanan Aceh memberlakukan berlaku aturan Hukom Adat Gle, berupa peraturan terkait kehutanan dan pengelolaan dan pemanfaatan hasil rimba.
Pejabat tingkat bawah ahli kehutanan yang mengelola ini disebut “Keujruen Gle”. Ia juga mengatur pembagian hasil hutan dan mengawasi agar tidak terjadi pemotongan kayu sembarangan.
Keujruen Gle dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Pawang Gle yang ahli tentang seluk beluk kehidupan dalam rimba.
Pawang Gle ditugaskan memimpin dan melindungi para pemburu, mengatur daerah-daerah perburuan, menentukan binatang-binatang yang boleh diburu dalam rangka menjaga kelestarian hutan dan rimba.
Aturan Hukom Adat Gle juga mengatur sanksi bagi mereka yang melakukan illegal logging. Sebagai contoh, terkait kelestarian air. Dalam aturan itu disebutkan bahwa tidak boleh menebang pohon sejauh 40 dupa dari pinggir sungai. Dupa atau depa ini merupakan ukuran panjang tangan yang direntangkan dari jari tengah kiri hingga jari tengah kanan.
Bagi yang melanggar aturan 40 dupa akan dikenakan denda yang tergantung ukuran dan jenis pohon yang ditebang.
Denda terendah bisa berupa menyediakan sejumlah makanan untuk masyarakat setempat dalam bentuk kenduri yang dimakan usai beribadah, usai shalat berjamaah, atau usai gotong royong.
Selain itu, dalam regulasi tersebut ada sanksi berupa membayar pohon yang sudah ditebang dengan seekor kerbau untuk masyarakat adat. Aturan ini untuk menjaga agar tidak sembarangan menebang pohon di sekitar daerah aliran sungai.
Daerah aliran sungai yang diproteksi itu berada 40 dupa di kiri dan kanan sepanjang sungai yang mengalir dari hulu ke hilir.
“Nah, kini konfik dengan gajah dan satwa liar lainnya terjadi ketika makin masifnya pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan sebagainya. Seharusnya, perusahaan-perusahaan perkebunan itu tidak mengganggu jalur gajah agar antara gajah dan manusia bisa seterusnya hidup berdampingan seperti masa lampau,” pungkas Iskandar.

Belasan Gajah Liar Masuk Sawah, Warga Berharap ada Solusi
25/03/25
Bayi Gajah yang Tersesat di Kebun Sawit Dievakuasi ke PLG Minas
11/03/25
Harapan Baru, Gajah Septi Lahirkan Anak dalam Kondisi Sehat
20/02/25
Relasi Harmonis Gajah-Manusia dalam Sejarah dan Tradisi Budaya di Aceh
07/02/25
Ketika Kepentingan Gajah masih menjadi Prioritas ke-13
30/01/25
Infeksi dan Dehidrasi, Seekor Gajah Betina Mati di PALI
29/10/24
Seorang Pria Paruh Baya Ditangkap setelah Ketahuan Berdagang Penyu

Macan Dahan yang Masuk Gudang di OKU sudah Dievakuasi
![Berpacu dengan Kepunahan [3]](https://gardaanimalia.cloudapp.web.id/uploads/1742879417_fd2dc5f16700a5b9fff5.jpg)
Berpacu dengan Kepunahan [3]
![Ambulans untuk Harimau Sumatera [2]](https://gardaanimalia.cloudapp.web.id/uploads/1742875241_b9bd802809c6c35df99a.jpg)
Ambulans untuk Harimau Sumatera [2]
![Bisnis Cuan Berbalut Kepahlawanan [1]](https://gardaanimalia.cloudapp.web.id/uploads/1742875243_39937082cc8949808434.jpg)
Bisnis Cuan Berbalut Kepahlawanan [1]

Belasan Gajah Liar Masuk Sawah, Warga Berharap ada Solusi

Dua Opsetan Tanduk Rusa Diamankan di Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon

Akan Dibawa ke Pulau Jawa, 34 Burung Diamankan di Sampit

FATWA: Komodo Malas Merantau!

Petugas Gabungan Sita 72 Satwa Dilindungi di Mimika

Buntut Konflik di Riau, Harimau Masuk Boxtrap untuk DIevakuasi

Teka-Teki Keberadaan Baza Hitam si Predator Cilik

Gakkum Beroperasi, Puluhan Tengkorak Satwa Liar jadi Barang Bukti

FOTO: Perbedaan Orangutan Tapanuli dan Orangutan Sumatera

Labi-labi Ditemukan di Pulau Bawean, BKSDA: Penting untuk Terus Dijaga

Sebanyak 5 Penyu Diamankan dari Penyelundupan, 1 dalam Kondisi Stres

FATWA: Satwa yang 'Bangkit dari Kepunahan'

BKSDA Turun Tangan Pantau Harimau yang Melintasi Kebun

Lima Peniaga Kulit dan Tulang Harimau Diciduk Polisi

Bangkai Paus Terdampar di Simeulue, Evakuasi Terkendala Kondisi Pantai
