Menjarah
Menjarah
Menjarah
Liputan Khusus

Tanjung Maleo, Surga bagi Burung Momoa Bertelur Tanpa Henti

3891
×

Tanjung Maleo, Surga bagi Burung Momoa Bertelur Tanpa Henti

Share this article
Mahyudin Usemahu saat menggali telur burung momoa di Tanjung Maleo. Ada empat tempat lokasi panen, yang digali saat itu adalah lokasi utama, kawasan dengan vegetasi hutan lebat masih asri. | Foto: Muhammad Jaya
Mahyudin Usemahu saat menggali telur burung momoa di Tanjung Maleo. Ada empat tempat lokasi panen, yang digali saat itu adalah lokasi utama, kawasan dengan vegetasi hutan lebat masih asri. | Foto: Muhammad Jaya

Gardaanimalia.com – Mahyudin Usemahu, begitu lincah dan terampil menggali telur burung momoa. Ia sudah menekuni aktivitas ini sejak 1990, sehingga jarang telur yang digalinya pecah di lubang.

Bahkan, Mahyudin mudah membedakan usia telur berukuran rata-rata 11 sentimeter, perbadingannya lima kali lipat lebih besar dari telur ayam.

pariwara
usap untuk melanjutkan

Keluarga maleo asal Maluku ini, disebut masyarakat di Pulau Ambon adalah momoa atau dalam ilmu pengetahuan burung gosong maluku (Eulipoa wallacei).

“Telur baru menetas cangkang licin, sementara yang lama kasar,” cerita Mahyudin kepada Garda Animalia saat berkunjung ke sana pada Selasa (5/4) malam.

Sebelum menggali telur di pagi hari, sejak malam Mahyudin dan lima orang lainnya yang bertugas membantu untuk menutup bekas galian dan memadatkan pasir sudah berada di lokasi tempat burung momoa bertelur.

Warga Negeri atau Desa Kailolo, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, menyebut lokasi itu sebagai Tanjung Maleo.

Lokasinya seluas 6,7 hektar, terhampar pasir putih berpadu butiran mirip kristal dengan vegetasi hutan rimbun lebat. Tumbuh berbagai jenis pohon, di antaranya pohon mangga barabu, kamboja, kenari, ketapang dan beringin.

Di sanalah, tempat bagi gosong maluku untuk bertelur dan menetaskan anak-anaknya. Setidaknya, ada empat tempat bagi momoa bertelur di lokasi ini. Tak pelak, Tanjung Maleo seakan menjadi surga bagi kawanan burung momoa.

Dalam buku Ekologi Megapoda Maluku (Heij, 1997) disebutkan, selain burung lokal, kawanan burung momoa dari Pulau Ambon, Pulau Kasa, Pulau Babi, Pulau Pombo dan Pulau Seram juga bertelur di hutan pantai tersebut.

Perjalanan Hari Berikutnya

Saat Garda Anamalia menyambangi lokasi, Rabu (6/5) pagi, Mahyudin sedang menggali telur di tempat utama. Luasnya hampir setara dengan luas lapangan bola.

Terdapat ratusan kaki burung momoa tertancap di pasir menuju lubang, di mana telurnya selesai dikuburkan.

Burung endemik ini mengubur telur sedalam 25 sentimeter, 50 sentimeter, 75 sentimeter hingga satu meter dalam pasir. Lubangnya berbentuk terowongan, dengan memanjang ke kiri dan kanan.

Hingga telur menetas, perlu suhu tanah 32-35 derajat Celsius, dengan pengeraman membutuhkan 62-85 hari.

Dari lubang yang digali, 5-10 lubang terdapat dua telur. Bagi Mahyudin tak sukar mengetahui hal tersebut.

Ia mengatakan, ada tanda khusus di cangkang telur. “Kalau telur pertama ada cakaran kuku di cangkang, dalam satu lubang telurnya dua,” jelasnya.

Mahyudin mengatakan, sehari telur burung momoa bisa panen 90-100 butir lebih. Kata dia, semuanya diambil dan dijual ke masyarakat seharga Rp2.500. Ketentuannya, satu orang hanya membeli dua butir telur.

Namun, 4 hingga 11 butir telur dikuburkan kembali karena usia telur dua hari tak bisa dikonsumsi lagi. Tindakan demikian, sudah secara turun-temurun dilakukan guna menjaga habitat spesies Megapoda tersebut.

Latif Marasabessy, warga Negeri Kailolo, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, kembali menguburkan telur burung momoa yang usianya lebih dari dua hari. Rutinitas itu sudah dilakukan turun-temurun menjaga habitat burung momoa di Tanjung Maleo. | Foto: Muhammad Jaya
Latif Marasabessy, warga Negeri Kailolo, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, kembali menguburkan telur burung momoa yang usianya lebih dari dua hari. Rutinitas itu sudah dilakukan turun-temurun menjaga habitat burung momoa di Tanjung Maleo. | Foto: Muhammad Jaya

Pantangan, Cerita Rakyat yang Sakral dan Perjanjian Tanpa Warkat

Tanjung Maleo sudah ada sejak dahulu kala dan terdapat pantangan ketika berada dalam kawasan. Masyarakat mempercayai jika melanggar maka burung momoa nanti akan kurang bertelur.

Selain itu, tidak bisa sembarangan orang masuk dalam kawasan tanpa izin, hak sepenuhnya untuk mengelola hanya ada pada pemenang lelang.

Warga Negeri Kailolo, Latif Marasabessy mengatakan, sejumlah pantangan, dua di antaranya tidak bisa kencing sembarangan dan anjing dilarang masuk.

“Bahkan jika ada orang punya niat tidak baik juga berpengaruh ke burung maleo. Biasanya, kurang bertelur,” kata Latif, yang setiap harinya membantu Mahyudin memadatkan pasir usai telur dipanen.

Selain pantangan, ada cerita rakyat mengenai Tanjung Maleo. Dahulu kala saat Negeri Kailolo terbentuk, para leluhur bermain bola yang terbuat dari emas dan salah seorang leluhur menendang bola dan hilang dalam pasir.

Namun demikian, bola emas tersebut tidak dicari lagi dan ditinggalkan untuk anak cucu. Dari cerita ini, hutan pantai ini dianggap sebagai hadiah dari para leluhur.

Olehnya itu, Negeri Kailolo, bertanggung jawab melindungi burung momoa dan berhak atas telur yang dihasilkan satwa dilindungi tersebut.

Abdullah Marasabessy, Sekretaris Negeri Kailolo menjelaskan, meskipun telurnya dikonsumsi, tapi habitat burung momoa tetap dijaga dan dilestarikan. Masyarakat juga sadar betul, tidak mengambil kayu sembarangan dan merusak.

Bayi burung gosong maluku atau momoa usai menetas di Tanjung Maleo, pemandangan demikian kerap dilihat setiap harinya. | Foto: Muhammad Jaya
Bayi burung gosong maluku atau momoa usai menetas di Tanjung Maleo, pemandangan demikian kerap dilihat setiap harinya. | Foto: Muhammad Jaya

Tiap tahun Pemerintah Negeri Kailolo mengalokasikan Dana Desa. Uang dipergunakan membangun pagar lingkar Tanjung Maleo.

“Pagar dari batang pohon yang bisa bertunas kembali dan dipasang jaring,” jelasnya. Cara tersebut dilakukan, kata Abdullah, agar sesuai habitat aslinya.

Selain itu, tiap tanggal 31 Maret setiap tahunnya, Pemerintah Negeri Kailolo menggelar rapat melibatkan masyarakat. Agendanya, mempertanggungjawabkan Dana Desa, pendapatan dan sasi melalui proses lelang pengelolaan Tanjung Maleo.

Awalnya, dibuka dengan harga yang disepakati lalu penawaran dilakukan oleh masyarakat. Bila seseorang menawar lebih tinggi dan tidak ada penawaran lanjutan maka pemenang ditetapkan.

Abdullah merincikan, pemenang lelang 2020 dengan penawaran tertinggi senilai Rp26 juta, 2021 Rp18 juta dan 2022 Rp35 juta.

Uang hasil lelang ditransfer ke rekening Masjid Nandatu. Digunakan untuk pemeliharaan masjid dan lainnya.

Ujar Abdullah, mayoritas masyarakat yang mengelola Tanjung Maleo, kepentingan utama lebih ke amal, keuntungan tidak menjadi prioritas.

“Jadi pesan para leluhur masjid dengan burung maleo sehingga uang hasil lelang tanpa potongan sepersen pun,” ujarnya.

Pemenang lelang berhak mengelola Tanjung Maleo setahun penuh. Kewajiban mereka, melestarikan habitat termasuk menentukan para penggali telur. Orang diluar pemenang lelang dilarang beraktivitas kecuali ada izin.

Misalnya kebutuhan penelitian, pemenang lelang wajib melapor kepada pemerintah negeri. “Sampai saat ini, mereka sadar melapor,” tegasnya.

Walaupun secara tertulis tidak ada peraturan terkait aset yang dimaksud, seperti peraturan negeri. Tapi masyarakat menyadari segala sesuatu di lahan itu tidak bisa diganggu gugat.

Penangkaran ‘Alami’ dan Kawasan Ekosistem Esensial

Telur burung momoa usai dipanen di Tanjung Maleo. Lokasi panen tersebut, habitat dijaga warga sejak dahulu kala karena menjadi tempat bertelur burung momoa. | Foto: Muhammad Jaya
Telur burung momoa usai dipanen di Tanjung Maleo. Lokasi panen tersebut, habitat dijaga warga sejak dahulu kala karena menjadi tempat bertelur burung momoa. | Foto: Muhammad Jaya

Abdullah menjelaskan, dalam satu tahun, bulan September, Oktober, November, Desember, Januari, Februari, April dan Maret, burung momoa akan terus bertelur. Selain di bulan tersebut, panen telur sedikit sekali.

Berdasarkan jurnal data panen dari penelitian (Radios Simajuntak-2018) berjudul Komunikasi Singkat: Pengambilan Telur dan Konservasi Lokal Maluku, menyebut panen telur momoa alami penurunan pada Juni, Juli dan Agustus.

Menurut penuturan Abdullah, penangkaran ‘alami’ juga dilakukan demi menjaga habitat burung momoa. Karena tidak semua telur momoa per hari dipanen keseluruhan -pasti tersisa.

Selama 5 tahun menjabat Sekretaris Negeri Kailolo, dirinya terus mengamati aktivitas burung momoa. “Tidak semua berhasil dipanen, per hari bisa 10 ekor menetas. Bahkan kenyataan sampai 100 ekor,” ungkapnya.

Abdullah berujar, burung yang menetas dari cangkang itu di luar telur yang dikubur ulang oleh para penggali.

Dia memantau dengan melihat ciri-ciri lubang dengan pola yang sama saat burung keluar dari lubang. Uniknya burung ini, setelah menetas, rehat satu dua menit, setelah itu terbang lagi.

“Jika per hari menetas 10 ekor, sebulan 300 ekor dan setahun 3.000-an ekor,” jelasnya.

Jadi, dalam sehari ada tiga waktu burung maleo bertelur, yaitu pada waktu jelang magrib, dini hari dan puncak jam 4 sampai jam 5 pagi.

Keunikan lain dari burung momoa ini adalah paling susah ditemukan di waktu siang hari. Setidaknya hanya terlihat satu-dua ekor. Tapi kalau malam bisa ribuan ekor.

Dia menambahkan, isi dari telur burung momoa di Kailolo ada tiga warna. Umumnya, warna seperti biasa telur, kemudian warna merah darah, dan hijau.

”Kalau masyarakat Kailolo mempercayai isi telur berwarna merah darah dan hijau biasa digunakan untuk obat dan langsung diminum secara mentah,” kata Abdullah.

Sementara, Penyuluh Balai KSDA Wilayah Maluku dan Maluku Utara, Budi Ardiansyah mengatakan, nilai-nilai budaya masyarakat menjaga dan melindungi habitat burung gosong maluku di Tanjung Maleo, bernilai konservasi tinggi.

Atas hal demikian, maka di tahun 2019, kawasan tersebut ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Esensial. Sebagaimana SK Bupati Maluku Tengah Nomor : 522-5-272 Tahun 2019 Tanggal 3 September 2019 dengan luas 7,56 Ha.

“Padahal kawasan ini bukan wilayah konservasi, berada Areal Peruntukan Lain (APL). Tapi melalui nilai budaya dianut masyarakat, bernilai konservasi tinggi karena melindungi keragaman hayati,” terangnya.

Ia menyebut, salah satu contohnya masyarakat tidak menebang kayu untuk merusak dan menganggu habitat melainkan hanya mengambil telur.

Akan tetapi, para penggali juga menguburkan kembali telur sebagai upaya proses regenerasi burung gosong maluku.

5 3 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Burung perkici tengah bertengger di tiang besi yang disediakan oleh sang penjual di Pasar Burung Pramuka, Jakarta Timur. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia
Liputan Khusus

Gardaanimalia.com – Hiruk pikuk suara burung menyeruak dari kandang-kandang jeruji yang didisplai di depan-depan kios serta lapak para…